Jumat, 30 Desember 2016

PERAN IMUNITAS HUMORAL DAN LIMFOSIT B

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kekebalan tubuh. Imunologi berasal dari bahasa Latin yaitu immunis yang berarti kebal dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, imunologi diartikan sebagai studi tentang mekanisme biologis dari seluler, molekular, serta fungsional sistem imun. Sedangkan sistem imun itu sendiri adalah suatu sistem yang terdiri dari molekuler, seluler, jaringan, dan organ yang berperan dalam proteksi/kekebalan tubuh (imunitas). Sistem ini membentengi tubuh dari segala sesuatu yang dianggap asing dan pembawa penyakit infeksi. Imunitas adalah perlindungan dari penyakit, khususnya penyakit infeksi. Sel-sel dan molekul-molekul yang terlibat di dalam perlindungan membentuk sistem imun. Sedangkan respon untuk menyambut agen asing disebut respon imun. Jadi agen asing atau antigen adalah substansi yang dapat menyebabkan terjadinya respon imun, misalnya virus. Tidak semua respon imun melindungi dari penyakit. Beberapa agen asing seperti alergi yang ditemukan pada debu, bulu kucing dan lain-lain, dapat menyebabkan penyakit sebagai konsekuensi akibat menginduksi respon imun. Sistem imun spesifik adalah suatu sistem yang dapat mengenali suatu substansi asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat memacu perkembangan respon imun yang spesifik terhadap substansi tersebut. Sistem imun spesifik disebut pula dengan sistem imun yang didapat (adaptive immunity), dimana sel-sel imun yang berperan penting adalah sel limfosit B dan limfosit T. Substansi yang dapat merangsang respon imun spesifik disebut dengan antigen. Sedangkan respon tubuh terhadap masuknya antigen tersebut adalah dengan pembentukan antibodi. Antibodi adalah suatu protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B sebagai respon terhadap adanya antigen. Antibodi bersifat spesifik terhadap jenis tertentu dari suatu antigen. Ribuan jenis antigen yang masuk ke dalam tubuh akan merangsang pembentukan ribuan jenis antibodi yang spesifik terhadap antigen tersebut. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan unuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang segera dikenal sistem imun spesifik, akan mensensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Sehingga bila sel sistem tersebut terpapar ulang dengan benda asing yang sama, akan dikenali lebih cepat dan dihancurkannya. Oleh karena itu sistem tersebut disebut spesifik. Imunitas spesifik di perlukan untuk melawan antigen dari imunitas nonspesifik. Antigen adalah substansi yang berupa protein dan polisakarida yang mempunyai kemampuan merangsang munculnya sistem kekebalan tubuh (antibodi), tubuh dapat dengan cepat merespon infeksi suatu penyakit, apabila tubuh terdapat antibodi untuk jenis antigen tertentu yang berasal dari kuman, sistem imun spesifik terdiri dari sistem imun spesifik humoral dan selular. Di dalam imunitas humoral yang berperan adalah limfosit B atau sel B berasal dari stem sel. Fungsi utamanya adalah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan melakukan netralisasi toksin. Dibuat di sumsum tulang yaitu sel batang yang sifatnya pluripotensi (pluripotent stem cells) dan dimatangkan di sumsum tulang (Bone Marrow). Limfosit B menyerang antigen yang ada di cairan antar sel. Terdapat 3 jenis sel limfosit B yaitu: limfosit B plasma memproduksi antibodi, limfosit B pembelah menghasilkan limfosit dalam jumlah banyak secara cepat, limfosit B memori mengingat antigen yang pernah masuk ke tubuh. 1.2. Tujuan Mengetahui fungsi dari sistem imunitas humoral dan peran limfosit B dalam proses pembentukan antibodi PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Sistem Imun/Kekebalan Tubuh Beberapa devinisi dari sistem imun/kekebalan tubuh, yaitu antara lain: a. Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. b. Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker. 2.2. Imunitas Humoral Imunitas humoral menghasilkan pembentukan antibodi yang disekresikan oleh sel limfosit B. Antibodi ini berada dalam plasma darah dan cairan limfa (dahulu disebut cairan humor) dalam bentuk protein. Pembentukan antibodi ini dipicu oleh kehadiran antigen. Antibodi secara spesifik akan bereaksi dengan antigen. Spesifik, berarti antigen A hanya akan berekasi dengan dengan antibodi A, tidak dengan antibodi B. Antibodi umumnya tidak secara langsung menghancurkan antigen yang menyerang. Namun, pengikatan antara antigen dan antibodi merupakan dasar dari kerja antibodi dalam kekebalan tubuh. Terdapat beberapa cara antibodi menghancurkan patogen atau antigen, yaitu netralisasi, penggumpalan, pengendapan, dan pengaktifan sistem komplemen (protein komplemen) Mekanisme imunitas ini tidak melibatkan produksi antibodi. Tahap pertama yaitu pengenalan antigen asing, yang dilakukan oleh sel B serta makrofag dan sel T helper. Sel T helper yang tersensitisasi menyajikan antigen asing pada sel B, yang memberikan stimulus kuat bagi aktivasi sel B yang spesifik untuk antigen ini. Sel B teraktivasi mulai membelah berkali-kali dan membentuk dua jenis sel. Beberapa sel B baru yang dihasilkan adalah sel-sel B memori, yang akan mengingat antigen spesifik. Sel-sel B lain menjadi sel-sel plasma yang menghasilkan antibodi spesifik bagi antigen asing. Antibodi kemudian berikatan dengan antigen, membentuk kompleks antigen-antibodi. Ikatan kompleks ini menyebabkan opsonisasi yang berarti bahwa antigen sekarang dilabel untuk di fagosit oleh makrofag atau neutrofil. Kompleks antigen antibodi juga menstimulasi proses fiksasi komplemen. Komplemen adalah suatu kelompok yang terdiri atas 20 protein plasma yang bersirkulasi dalam darah sampai teraktivasi atau terfiksasi oleh suatu kompleks antigen-antibodi. Fiksasi komplemen bisa komplet atau parsial. Jika antigen asingnya seluler, protein komplemen mengikat kompleks antigen-antibodi, lalu saling berikatan satu dengan lainnya, dan menyusun cincin enzimatik yang membentuk satu lubang dalam sel, yang dapat menyebabkan kematian sel. Ini adalah fiksasi komplemen komplet ( menyeluruh) dan merupakan keadaan yang terjadi pada sel-sel bakteri (yang bisa terjadi pada reaksi transfusi, juga dapat meyebabkan hemolisis). Apabila antigen asing bukan sel, misalnya virus, maka akan berlangsung fiksasi, komplemen parsial, yakni beberpa protein komplemen berikatan dengan kompleks antigen-antibodi. Hal ini merupakan faktor kemotaktik. Kemotaksit berarti Pergerakan kimiawi dan sebenarnya merupakan penanda yang menarik makrofag untuk memangsa dan merusak antigen asing. Bila antigen asing telah dirusak, sel T supresor tersensitisasi untuk menghentikan respon imun. Hal ini penting dalam membatasi produksi antibodi sampai jumlah yang diperlukan untuk mengeliminasi patogen tanpa memicu respons autoimun 2.3. Peran Limfosit B Pada sistem imun spesifik humoral yang berperan adalah limfosit B atau sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten dalam sumsum tulang. Bila sel B dirangsang benda asing, sel tersebut akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum yang jika dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi (imunoglobulin). Selain itu juga berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells (APC) Sel B berfungsi untuk menghasilkan antibodi spesifik terhadap antigen. Antibodi ini diproduksi dalam jumlah besar, terutama dengan paparan berulang terhadap antigen. Reseptor antigel sel B adalah molekul antibodi pada permukaan sel B dan mengenali semua patogen tanpa perlu adanya proses antigen. Tiap keturunan sel B memiliki antibodi yang berbeda, sehingga kumpulan resptor antigen sel B yang lengkap melambangkan semua antibodi yang dapat diproduksi oleh tubuh. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE. Semua immunoglobulin ini memiliki tugas dimana IgG yang mengikat mikroba dengan sangat efisien, IgM yang mengikat bakteri, IgA yang terdapat pada interstitium, saliva, lapisan mukosa dan saluran pencernaan untuk mencegah infeksi oleh antigen. IgE yang mengikat parasit dan merupakan penyebab utama terjadinya gejala alergi, IgD yang selalu terikat pada sel B dan memainkan peran untuk menginisiasi respon awal sel B 2.4. Maturasi Limfosit B Prekursor sel B berkembang menjadi sel B immature di dalam sumsum tulang kemudian terjadi proliferasi dan deferensiasi yang ditandai dengan pembentukan BCR atau BCR somatic gen rearrangement, yaitu pembentukan reseptor yang dipresentasikan pada permukaan membran. Setelah terbentuk IgM dalam tahap immature dalam sumsum tulang, sel B immature bermigrasi ke limpa atau disebut dengan sel B transisional, kemudian mengalami deferensiasi menjadi limfosit B mature. Pengembangan sel B terjadi melalui beberapa tahapan, setiap tahap mewakili perubahan genom pada lokus antibodi. Antibodi ini terdiri dari dua rantai identik Light (L) atau light chain dan dua rantai identik heavy (H) atau heavy chain, dan gen-gen ditemukan di daerah V (Variable) dan daerah C (Constant) . Dalam heavy chain, daerah V memiliki tiga segmen; V, D dan J, yang dikombinasikan secara acak, dalam proses yang disebut rekombinasi VDJ, untuk menghasilkan sebuah variabel unik imunoglobulin domain di masing-masing sel B. Sebagian besar sel B immature mati serta sisanya terus berdeferensiasi, setelah itu terjadi seleksi negatif yaitu bila reseptor mengenali sel antigen atau self reactif cell maka sel B immatur akan mati, bila tidak mengenali, maka akan tetap hidup. Sel B mature/naive melewati dinding venule postkapilar mencapai sirkulasi sistemik dan menempati organ limfoid perifer. Seleksi positif bila sel B mampu masuk ke organ sekunder tersebut. Ketika sel B mengalami kegagalan dalam setiap langkah dari proses maturasi, sel B akan mati melalui mekanisme apoptosis, dalam hal ini disebut clonal deletion. Jika telah mengenali self Antigen selama proses maturasi, sel B akan mengalami apoptosis ( seleksi negatif). Setelah teraktivasi, sel B akan terbentuk menjadi sel B memori sebagai bagian dari sistem imun adaptif. 2.5. Imunitas Diperantai Antibodi Untuk respon imun yang diperantarai antibodi, limfosit B berperan dalam proses ini, dimana limfosit B akan melalui 2 proses yaitu respon imun primer dan respon imun sekunder. Jika sel limfosit B bertemu dengan antigen dan cocok, maka limfosit B membelah secara mitosis dan menghasilkan beberapa sel limfosit B. Semua Limfosit B segera melepaskan antibodi yang mereka punya dan merangsang sel Mast untuk menghancurkan antigen atau sel yang sudah terserang antigen untuk mengeluarkan histamin. 1 sel limfosit B dibiarkan tetap hidup untuk menyimpan antibodi yang sama sebelum penyerang terjadi. Limfosit B yang tersisa ini disebut limfosit B memori. Inilah proses respon imun primer. Jika suatu saat, antigen yang sama menyerang kembali, Limfosit B dengan cepat menghasilkan lebih banyak sel Limfosit B daripada sebelumnya. Semuanya melepaskan antibodi dan merangsang sel Mast mengeluarkan histamin untuk membunuh antigen tersebut. Kemudian, 1 limfosit B dibiarkan hidup untuk menyimpan antibodi yang ada dari sebelumnya. Hal ini menyebabkan kenapa respon imun sekunder jauh lebih cepat daripada respon imun primer. Suatu saat, jika suatu individu lama tidak terkena antigen yang sama dengan yang menyerang sebelumnya, maka bisa saja ia akan sakit yang disebabkan oleh antigen yang sama karena limfosit B yang mengingat antigen tersebut sudah mati. Limfosit B memori biasanya berumur panjang dan tidak memproduksi antibodi kecuali dikenai antigen spesifik. Jika tidak ada antigen yang sama yang menyerang dalam waktu yang sangat lama, maka Limfosit B bisa saja mati dan individu yang seharusnya bisa resisten terhadap antigen tersebut bisa sakit lagi jika antigen itu menyerang, maka seluruh proses respon imun harus diulang dari awal. 2.6. Cara Kerja Antibodi Cara kerja antibodi dalam mengikat antigen ada empat macam. Prinsipnya adalah terjadi pengikatan antigen oleh antibodi, yang selanjutnya antigen yang telah diikat antibodi akan dimakan oleh sel makrofag. Berikut ini adalah cara pengikatan antigen oleh antibodi: 1) Netralisasi Antibodi menonaktifkan antigen dengan cara memblok bagian tertentu antigen. Antibodi juga menetralisasi virus dengan cara mengikat bagian tertentu virus pada sel inang. Dengan terjadinya netralisasi maka efek merugikan dari antigen atau toksik dari patogen dapat dikurangi. 2) Penggumpalan Penggumpalan partikel-partikel antigen dapat dilakukan karena struktur antibodi yang memungkinkan untuk melakukan pengikatan lebih dari satu antigen. Molekul antibodi memiliki sedikitnya dua tempat pengikatan antigen yang dapat bergabung dengan anti-gen-antigen yang berdekatan. Gumpalan atau kumpulan bakteri akan memudahkan sel fagositik (makrofag) untuk menangkap dan memakan bakteri secara cepat. 3) Pengendapan Prinsip pengendapan hampir sama dengan penggumpalan, tetapi pada pengendapan antigen yang dituju berupa antigen yang larut. Pengikatan antigen-antigen tersebut membuatnya dapat diendapkan, sehingga sel-sel makrofag mudah dalam menangkapnya. 4) Aktifasi Komplemen Antibodi akan bekerja sama dengan protein komplemen untuk melakukan penyerangan terhadap sel asing. Pengaktifan protein komplemen akan menyebabkan terjadinya luka pada membran sel asing dan dapat terjadi lisis. Gambar 1. Imunitas humoral PENUTUP 3.1. Kesimpulan Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme.dan sistem imun berfungsi sebagaipelindung tubuh dari invasi penyebab penyakit, menghancurkan dan menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh. 3.2. Saran Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis, demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya. DAFTAR KEPUSTAKAAN Baratawidjaja, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar Edisi ke-7 . Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Dinejad, Ahmad. 2005. Sistem Kekebalan Tubuh. Jakarta: Cv.Swasada Murphy, Travers, Walport. 2008. Janeway’s Immunobiology.7th Ed. Garland Sciene. Sheeler, P. dan D.E. Bianchi, 1982, Cell Biology Structure, Biochemistry, and Function, 2 ed., John Wiley & Sons Inc, New York. Yahya, Harun. 2002. Sistem Kekebalan Tubuh dan Keajaiban didalamnya. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media.

Kamis, 29 Desember 2016

USAHA PREVENTIF PRIMER, SEKUNDER DAN TERTIER TERHADAP PENYAKIT TIDAK MENULAR



Pencegahan Penyakit Tidak Menular
Baik individu maupun masyarakat dapat memberikan kontribusi bermakna dalam pencegahan dan pengedalian penyakit berpenyebab ganda. Masyarakat dapat menyediakan lingkungan yang pro-kesehatan-fisik, ekonomi, dan sosial yang di dalamnya setiap orang akan lebih mudah mencapai derajat kesehatan yang lebih tinggi.

1.   Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah peningkatan kesehatan dan perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu adalah usaha-usaha yang dilakukan sebelum sakit (pre pathogenesis), dan disebut dengan pencegahan primer.
Pencegahan primer dilakukan pada masa individu yang belum menderita sakit. Pencegahan primer terdiri dari promosi kesehatan (health promotion) dan perlindungan khusus (spesifiic protection).
A.    Pencegahan Primer Penyakit Tidak Menular
Upaya pencegahan primer untuk penyakit tidak menular mencakup persediaan makanan dan energi yang kuat, kesempatan yang baik dalam pendidikan, pekerjaan, dan perumahan dan layanan komunitas yang efisien.
Setiap individu dapat mempraktikan upaya pencegahan primer dengan mendapatkan tingkat pendidikan yang tinggi yang mencakup pengetahuan tentang kesehatan dan penyakit dan perjalanan penyakit anggota keluarga lain. Secara khusus, individu harus mengambil tanggung jawab dalam hal makan dengan tepat, olahraga yang cukup, mempertahankan berat badan yang sesuai, dan menghindari penggunaan alkohol dan obat-obatan lain. Masing-masing individu juga dapat melindungi dirinya dari cedera dengan mengenakan sabuk pengaman, kacamata pengaman, dan lotion tabir surya.

2.   Pencegahan sekunder
Penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, disebut pencegahan sekunder (seconder preventive). Pencegahan sekunder dilakukan pada masa individu mulai sakit. Pencegahan sekunder bentuknya upaya diagnosis dini dan pengobatan segera ( early diagnosis and prompt treatment ).

B.     Pencegahan Sekunder Penyakit Tidak Menular
Upaya pencegahan sekunder yang dapat dilakukan masyarakat mencakup pelaksanaan skrining massal untuk penyakit kronis, upaya penemuan kasus, dan penyediaan tentang fasilitas, perlengkapan, dan tenaga kesehatan yang memadai bagi masyarakat. Tugas individu di dalam pencegahan sekunder mencakup skrining pribadi, misalnya periksa sendiri payudara atau testis (untuk kanker pada organ tersebut), bemocult test (untuk kanker kolon dan rektum), dan skrining medis seperti pap test (untuk kanker servik), tes PSA untuk kanker prostat, mammografi dan skrining untuk diabetes, glukoma, atau hipertensi. Keikutsertaan dalam skrining kesehatan dan pemeriksaan kesehatan dan gigi secara rutin merupakan langkah awal dalam pencegahan sekunder untuk penyakit tidak menular. Langkah-langkah itu harus diikuti dengan diagnosis pasti dan pengobatan segera untuk penyakit apapun yang terdeteksi.

3.   Pencegahan tersier
Pembatasan kecacatan dan pemulihan kesehatan disebut pencegahan tersier (tertiary prevention). Pencegahan tersier bentuknya membatasi ketidakmampuan/kecacatan (disability limitation) dan pemulihan kesehatan (rehabilitation). Pada proses ini diusahakan agar cacat yang diderita tidak menjadi hambatan sehingga individu yang menderita dapat berfungsi optimal secara fisik, mental dan sosial.
C.    Pencegahan Tersier Penyakit Tidak Menular
Upaya pencegahan tersier bagi masyarakat mencakup ketersediaan fasilitas, layanan, dan tenaga medis kedaruratan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang di dalamnya upaya pencegahan primer dan sekunder sudah tidak ampuh. Contohnya mencakup layanan ambulan rumah sakit, dokter dan dokter bedah, perawat, dan tenaga professional kesehatan yang lain.
Pencegahan tersier bagi individu kerap membutuhkan perubahan perilaku atau gaya hidup yang signifikan. Contohnya mencakup kepatuhan mengikuti pengobatan yang diresepkan, program olahraga, dan diet. Contoh, seorang pasien serangan jantung dapat mengikuti program pendidikan dan konseling gizi dan di dorong untuk perpartisipasi dalam program olahraga. Kegiatan itu dapat membawa pasien kembali meneruskan pekerjaannya dan mencegah serangan jantung kedua. Untuk tipe tertentu masalah kesehatan tidak menular, misalnya masalah yang melibatkan penyalahgunaan zat, kedatangan yang rutin pada pertemuan kelompok pendukung atau sesi konseling dapat menjadi satu bagian penting dalam program pencegahan tersier.


PENANGANAN DAGING YANG AMAN, BERMUTU



PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food). Beberapa penyakit hewan yang bersifat zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan kepada manusia) dapat ditularkan melalui daging (meat-borne disease). Selain itu, daging juga dapat mengandung residu obat hewan dan hormon, cemaran logam berat, pestisida atau zat-zat berbahaya lain, sehingga daging juga dikategorikan sebagai pangan yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan manusia (potentially hazardous food/PHF). Agar daging tetap bermutu baik, aman dan layak untuk dikonsumsi, maka perlu penanganan daging yang aman dan baik mulai dari peternakan sampai dikonsumsi. Konsep tersebut dikenal sebagai safe from farm to table concepts. (Lukman, 2004).
Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem product safety pada RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan.
Penerapan product safety pada RPH ditujukan untuk memberikan jaminan keamanan dan mutu daging yang dihasilkan, termasuk kehalalan, dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen, serta turut menjaga kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu, sistem tersebut berfungsi sebagai pengawasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis di RPH sebagai bagian dari sistem kesehatan hewan nasional. (Luning dkk, 2003).
Penyediaan pangan yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi di Indonesia telah diatur oleh peraturan perundangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Khusus untuk pangan asal hewan (daging, susu dan telur) diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu, kebijakan pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, terhadap penyediaan daging di Indonesia harus memenuhi konsep penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). (BSN, 1999).

1.2.   Tujuan
Memberikan informasi tentang pentingnya sanitasi dan hygiene untuk menghasilkan daging yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi, maka perlu diterapkan sistem jaminan mutu dan keamanan pada rantai penyediaan daging mulai dari peternakan sampai ke meja makan.


















TINJAUAN PUSTAKA

2.1.   Penyediaan Daging  
Penyediaan daging di Indonesia dipasok dari pemotongan hewan di dalam negeri (lokal) dan impor (pemasukan) daging dari luar negeri. Seiring dengan peningkatan penduduk di Indonesia, konsumsi daging di Indonesia pada lima tahun terakhir (1999-2003) terus meningkat, dengan rata-rata peningkatan rata-rata konsumsi daging sebesar 15,0% per tahun.
Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia, maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan. Dalam peraturan tersebut, persyaratan RPH dibagi menjadi empat kelas (A, B, C dan D) berdasarkan peredaran dagingnya. Pengelompokan tersebut mengatur fasilitas yang harus dimiliki oleh suatu RPH, bukan mengatur persyaratan minimum yang menyangkut aspek teknik higiene, sanitasi dan kesehatan masyarakat veteriner. (Lukman, 2004)
Berdasarkan sistem jaminan keamanan pangan yang dikenal dengan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), maka penyembelihan di RPH dapat dikategorikan sebagai titik kendali kritis (critical control point). Beberapa bahaya-bahaya yang mungkin terdapat pada daging dapat dikendalikan (dihilangkan atau diturunkan sampai tingkat yang dapat diterima) di RPH. Selain itu, RPH memegang peran penting dalam pengawasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis, sebagai bagian dari sistem kesehatan hewan nasional. Sehingga peran dan fungsi RPH dalam mata rantai penyediaan daging perlu mendapat perhatian. (Bolton dkk. 2001)
2.2.   Keamanan Produk Pada Rumah Pemotongan Hewan
Untuk menghasilkan daging yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi, maka perlu diterapkan sistem jaminan mutu dan keamanan pada rantai penyediaan daging mulai dari peternakan sampai ke meja makan. Salah satu programnya adalah penerapan jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH
Proses penanganan hewan sebelum, sesaat dan setelah penyembelihan perlu memperhatikan aspek halal, higiene dan sanitasi, serta kesejahteraan hewan. Sebelum penyembelihan, hewan sebaiknya diistirahatkan minimum selama 12 jam dan dipuasakan (tetapi tetap diberikan minum). Kesehatan hewan harus diperiksa oleh dokter hewan atau tenaga paramedis yang dilatih dan di bawah pengawasan dokter hewan maksimum 24 jam sebelum penyembelihan. Hanya hewan yang sehat dapat disembelih. Penyembelihan hewan harus memperhatikan syariat agama Islam (halal) dan ditangani dengan baik, hewan tidak menderita dan disakiti sebelum mati (kesejahteraan hewan). Penerapan sistem rantai dingin (cold chain system) pada penanganan daging selanjutnya sangat perlu untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan proses autolisis daging oleh enzim-enzim dalam daging. Sistem rantai dingin adalah penerapan suhu dingin selama peyimpanan daging. Daging sebaiknya tidak disimpan pada suhu lebih dari 4 oC dengan harapan suhu bagian dalam daging tetap terjaga di bawah 4 oC untuk daging segar atau suhu –18 oC untuk daging beku. (Lukman, 2004).
Menurut Bolton dkk. (2001) terdapat empat titik kendali kritis dalam proses penyembelihan di RPH, yaitu (1) pelepasan kulit, (2) eviserasi atau pengeluaran jeroan, (3) pemisahan sumsum tulang belakang (pada daerah tidak bebas penyakit sapi gila atau mad cow), dan (4) pendinginan. Pada pelepasan kulit, yang perlu diperhatikan adalah ketajaman dan kebersihan pisau. Sebaiknya pisau senantiasa dibersihkan dan didisinfeksi menggunakan air panas (suhu >82 oC). Dalam proses penyembelihan, sebaiknya setiap pekerja yang menangani daging memiliki dua pisau, pisau pertama digunakan dan pisau kedua direndam dalam air panas >82 oC, kemudian ditukar, sehingga memperkecil terjadinya pencemaran silang pada daging. Hal ini dikenal dengan sistem dua pisau (two knives system). Pada eviserasi, pengikatan esofagus (rodding) dan anus sangat penting agar isi (cairan) bagian dalam saluran pencernaan tidak keluar dan mengenai daging. Pemisahan sumsum tulang belakang perlu dilakukan secara hati-hati, karena sumsum tulang belakang dapat mengandung prion sebagai penyebab penyakit sapi gila (mad cow; Bovine Spongiform Encephalopathie/BSE) yang dapat masuk ke dalam rantai pangan manusia.
Penerapan higiene untuk personal di RPH mencakup kesehatan dan kebersihan diri, perilaku/kebiasaan bersih, serta peningkatan pengetahuan/pemahaman dan kepedulian melalui program pendidikan dan pelatihan yang terprogram dan berkesinambungan. Setiap pegawai yang menangani langsung daging harus sehat dan bersih. Higiene personal yang buruk merupakan salah satu sumber pencemaran terhadap daging.
2.3.   Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri pada Daging
Daging merupakan pangan bergizi tinggi, dengan kandungan air sekitar 75%, protein 19%, lemak 2.5%, nitrogen terlarut non protein 1.65% dan bahan-bahan anorganik 0.65%. Ketersediaan nutrisi yang lengkap ini menyebabkan daging menjadi media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba.
Pembusukan daging bisa dikarenakan faktor sebagai berikut :
1.     Kelembaban: kelembaban yang tinggi akan mengakibatkan pertumbuhan mikroba yang berlebihan. Pada kelembabab rendah mengakibatkan pengkerutan yang berlebihan. Kelembaban relative 85% memperlambat pertumbuhan mikroba dan kehilangan cairan daging akan menurun
2.      Suhu: pada suhu yang tinggi akan mempercepat perkembangan keempukan namun pertumbuhan mikroba juga meningkat
3.      Kecepatan udara: pada kecepatan udara rendah akan mengakibatkan kondensasi air berlebihan pada produk yang mana akan menghasilkan aroma dan flavor yang menyimpang (off-flavor), dan pembusukan. Sedang pada kecepatan udara tinggi akan mengakibatkan pengeringan permukaan karkas yang berlebihan. (Lukman, 2004).
2.4.   Proses Pembusukan Daging
Pembusukan daging dapat disebabkan oleh aktivitas enzim-enzim dalam daging (autolisis), kimiawi (oksidasi) dan mikroorganisme. Mekanisme pembusukan ini sangat kompleks. Bakteri tumbuh/berkembang pada daging dengan memanfaatkan komponen-komponen (dengan berat molekul rendah) yang terlarut dalam daging. Konsentrasi komponen tersebut dalam daging dan penggunaannya oleh jenis mikroba tertentu yang akan menentukan waktu terjadinya (onset) pembusukan.
Jumlah mikroorganisme pada daging sapi saat bau muncul sebesar adalah 1,2 X 106 s/d 1,0 X 108 cfu/cm2 dan lendir akan muncul saat jumlah mikroorganisme sebesar 3,0 X 106 s/d 3,0 X 108 cfu/cm2. Pada daging unggas, bau akan muncul saat jumlah mikroorganismenya sebesar 2,5 X 106 s/d 1,0 X 108 cfu/cm2 dan muncul lendir saat jumlah mikroorganisme sebesar 1,0 x 107 s/d 6,0 X 107cfu/cm2.
Autolisis merupakan proses terjadinya penguraian daging hewan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh hewan. Proses autolisis ditandai dengan melemasnya daging hewan. Lembeknya daging hewan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan daging hewan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri.
Autolisis dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Mula-mula protein dipecah menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan dehidrasi protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi protease, lalu pecah menjadi pepton, polipeptida, dan akhirnya menjadi asam amino. Selain itu dihasilkan pula sejumlah kecil pirimidin dan purin basa yang dibebaskan pada waktu asam nukleat memecah. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Pemecahan penyusun jaringan hewan juga akan berakibat pada penurunan sifat organoleptik seperti bau, rasa, tekstur, dan kadang-kadang warna. (Luning dkk, 2003). 
Pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi sebelum masa rigor mortis berakhir. Pada akhir fase rigor saat hasil penguraian makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Bila fase rigor telah lewat (badan hewan mulai melunak) maka kecepatan pembusukan akan meningkat. Bakteri masuk ke otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi seperti protein, karbohidrat, dan lemak menjadi senyawa-senyawa busuk berupa indol, skatol, merkaptan, amonia, asam sulfida, dan lain-lain. Bakteri yang umum ditemukan pada daging adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio, Flavobacterium, Serratia, dan Bacillus.
Berbagai kondisi suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap kandungan total koloni bakteri. Adapun kerusakan kimiawi yang sering kali terjadi adalah proses oksidasi lemak yang mengakibatkan rasa pahit dan bau tengik serta perubahan warna. Proses oksidasi lemak menghasilkan sejumlah substansi yang dapat menyebabkan timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Proses ini dipercepat dengan adanya logam-logam berat, enzim-enzim lipooksidase, cahaya, dan panas. Senyawa hasil pemecahan hidroperoksida merupakan produk sekunder yang sebagian besar berupa aldehid, keton, alkohol, asam karboksilat, dan alkana yang menyebabkan timbulnya diskolorisasi atau bau tengik pada hewan. (Bolton dkk. 2001)
2.5.   Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kontaminasi Patogen Pada Daging dan Produk Olahannya
Patogen yang mengkontaminasi daging bisa menyebar keseluruh bagian daging pada berbagai tahap penanganan daging dan dengan melalui berbagai jalan. Mikroba pada karkas hewan besar dan unggas terutama bakteri, yang berasal dari hewan itu sendiri (kulit, rambut, bulu, saluran pencernaan, dan sebagainya), lingkungan peternakan (pakan, air, tanah, kotoran hewan) dan lingkungan tempat pemotongan (peralatan, udara, air dan pekerja). Jumlah bakteri pada karkas dari hewan yang sehat sekitar 101-3 koloni/inch2 daging.  
Tahapan proses penghilangan tulang, pemotongan dan juga penggilingan daging menyebabkan resiko kontaminasi mikrobial pada daging meningkat, karena terjadinya kontaminasi silang melalui pekerja, air dan peralatan pengolahan, serta terjadinya transfer mikroba dari permukaan daging ke bagian dalam. Beberapa peralatan yang sukar dibersihkan seperti konveyor, mesin pengiris dan penggiling daging (grinder) bisa menjadi sumber kontaminasi.
Pengolahan daging dengan menggunakan inggridien dan aditif yang bervariasi dan tahapan proses pengolahan yang beragam menghasilkan berbagai jenis produk olahan daging yang sangat beragam. Dari perspektif keamanan mikrobiologi daging, produk olahan daging bisa dibagi menjadi tiga kelompok yaitu 1). Produk yang memperoleh tahapan bakterisidal yang menyebabkan hilangnya patogen (terutama proses pemasakan); 2). Produk yang tidak memperoleh tahapan bakterisidal, dimana pada kondisi ini bakteri bisa bertahan tetapi tidak bisa memperbanyak diri pada kondisi penyimpanan yang diharapkan; dan 3). Produk yang tidak menerima tahapan bakterisidal dan bakteri bisa tumbuh dan berkembang biak selama penyimpanan.
Selama penjualan, daging segar dan produk olahan daging bisa saja mengalami proses penanganan lanjutan seperti pemotongan, pengirisan, pengemasan yang semuanya potensial menyebabkan terjadinya kontaminasi silang dari pekerja, wadah dan peralatan. Di usaha katering dan di konsumen, masalah yng dihubungkan dengan patogen yag ada didalam daging dan produk olahan daging relaif sama, dan biasanya dihubungkan dengan preparasi akhir produk untuk dikonsumsi. Faktor resiko utama pada praktek preparasi mencakup: 1). Kontaminasi silang dari pangan mentah ke produk yang telah dimasak melalui refrigerator, tangan yang terkontaminasi, papan pengiris (talenan) dan lap kerja; 2). Ketidakcukupan suhu penyimpanan dingin; 3). Ketidakcukupan suhu dan waktu pemasakan; dan 4). Kesalahan dalam proses penanganan setelah proses pemasakan termasuk diantaranya proses pendinginan lambat dan/atau rekontaminasi.
Untuk memperpanjang umur simpan produk dan menjaga keamanan pangan produk olahannya maka diperlukan penerapan proses sanitasi yang benar untuk meminimalkan kontaminasi dan melakukan penyimpanan di suhu rendah untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri. Penerapan praktek higiene dan sanitasi serta penyimpanan di suhu rendah secara efektif, akan memperpanjang umur simpan daging dan produk olahannya, juga akan meningkatkan aspek keamanan pangannya. Hanya saja, perlu diingat bahwa penerapan aspek sanitasi dan penyimpanan disuhu rendah walaupun akan mengurangi jumlah bakteri total dan memperlambat pertumbuhan mereka, tetapi tidak menjamin hilangnya bakteri patogen. Destruksi bakteri oleh panas selama proses pemasakan adalah salah satu cara yang efektif untuk menjamin agar konsumen tidak terinfeksi oleh bakteri patogen. (Syamsir, 2010).
2.6.   Patogen Utama di Dalam Daging dan Produk Olahan Daging
Campylobacter spp bersifat termofilik artinya dapat hidup pada kisaran suhu relatif tinggi dengan suhu optimum 55°C. Bakteri ini menyebabkan infeksi campilobakteriosis dengan gejala umum sakit perut bagian bawah, kram, diare, sakit kepala, demam dan kadang-kadang diare berdarah dengan/tanpa diikuti komplikasi seperti radang sendi dan gangguan neurogical. Campylobacter telah diisolasi dari karkas dan feses ayam, sapi, babi dan produk-produk daging. Daging ayam merupakan jenis pangan yang paling sering terkontaminasi oleh bakteri ini. Sebagian besar Campylobacter ditemukan dipermukaan karkas, dan campylobacter dapat menembus bagian dalam daging unggas. Produk daging yang tidak dimasak dengan sempurna bisa berperan dalam terjadinya campilobakteriosis. Karena infeksi campilobakteriosis dapat disebabkan oleh hanya beberapa ratus sel sehat, maka infeksi dapat dengan mudah terjadi jika penanganan karkas dilakukan tanpa praktek sanitasi yang baik.
Salmonella penyebab infeksi salmonellosis bisa ditemukan dalam saluran pencernaan hewan (seperti burung, reptil, ternak) dan manusia. Keracunan terjadi jika mengkonsumsi sel viabel dalam jumlah besar, yaitu 105 sel dengan gejala pusing, muntah-muntah, sakit perut bagian bawah dan diare yang kadang didahului oleh sakit kepala dan menggigil. Pada kondisi yang lebih parah bisa menyebabkan tifus (oleh S. typhi) dan paratifus (oleh S. paratyphi). Walaupun pada banyak kasus salmonellosis disebabkan oleh telur dan produk olahan telur, infeksi ini juga terjadi pada produk daging yang terkontaminasi, terutama daging ayam, lalu daging babi dan sapi. Salmonella tahan terhadap kondisi lingkungan, tetapi sensitif terhadap proses pengeringan dan pembekuan. Proses pembekuan walaupun menurunkan jumlah Salmonella, tetapi tidak membunuh bakteri ini secara total. Inaktivasinya dilakukan dengan pemasakan, dan suhu pasteurisasi cukup untuk membunuhnya. Kontaminasi silang bisa terjadi jika daging mentah atau air daging kontak dengan makanan yang sudah dimasak atau makanan yang akan dimakan mentah seperti lalap.
Yersinia enterocolitica penyebab yersiniosis telah diisolasi dari saluran pencernaan hewan maupun produk olahannya. Yersiniosis terutama menyerang anak-anak dengan diare sebagai gejala dominan. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, mungkin juga mengalami demam dan nyeri. Komplikasi seperti nyeri di persendian dan/atau masuknya bakteri ke aliran darah. Keberadaan bakteri ini pada produk disebabkan oleh kontaminasi pasca pengolahan, karena bakteri ini terbunuh dengan pemanasan pasteurisasi. Yang penting diperhatikan, bakteri ini mampu hidup dan berkembangbiak pada suhu lemari es (dibawah 5oC).
Escherichia coli bisa membentuk koloni didalam saluran pencernaan hewan dan mengkontaminasi daging pada saat proses pemotongan. Bakteri ini merupakan mikroflora normal di saluran pencernaan dan beberapa diantaranya bersifat patogen. E. coli O157:H7 adalah strain yang diketahui bisa menyebabkan penyakit. Dosis infeksi oleh E. coli O157:H7 cukup rendah, 10-100 sel yang tertelan sudah mampu menyebabkan eschericchia coli memproduksi toksin penyebab kejang perut yang disertai dengan diare berdarah, juga menyebabkan gangguan ginjal pada anak-anak (fatal) dan gangguan syaraf pada orang lanjut usia.
Listeria monocytogenes telah diisolasi dari air, kotoran hewan dan manusia. Infeksi listeriosis menyebabkan sakit seperti gejala flu dan pada wanita hamil dapat menyebabkan keguguran. Bakteri ini dapat dirusak dengan proses pemasakan. Tetapi, karena dia mudah ditemui pada area pengolahan yang basah, maka produk yang sudah dimasak bisa terkontaminasi kembali dengan bakteri ini jika kondisi penanganan dan sanitasinya tidak baik.
Clostridium perfringens menyebabkan infeksi dengan gejala sakit perut bagian bawah, diare dan pembentukan gas, demam dan pusing. Infeksi dapat terjadi jika makanan terkontaminasi dan makanan dikonsumsi tanpa pemanasan ulang. Keracunan terjadi jika sel terkonsumsi dalam jumlah banyak dan memproduksi toksin di dalam saluran pencernaan. Selain didalam daging, bakteri ini juga ditemukan pada makanan kering, rempah dan sayuran.
Staphylococcus aureus bisa dibawa oleh tangan manusia, rongga hidung dan tenggorokan sehingga bakteri ini sering dihubungkan dengan higiene pekerja. Hewan juga merupakan pembawa S. aureus pada berbagai bagian tubuhnya. Bakteri ini menyebabkan sakit melalui racunnya yang tahan panas. Racun dibentuk didalam makanan. Intoksikasi S. aureus menyebabkan pusing, muntah-muntah, kram usus, diare berdarah dan berlendir pada beberapa kasus, sakit kepala, kram otot, berkeringat, menggigil, detak jantung lemah dan pembengkakan saluran pernafasan. Sebagian besar kasus keracunannya terjadi dari kontaminasi oleh pekerja yang menangani makanan tersebut. Pencegahan keracunan dilakukan dengan penerapan praktek sanitasi dan proses pemasakan serta penyimpanan yang benar. Kontaminasi pasca pengolahan sangat berbahaya, karena S. aureus akan tumbuh dan menghasilkan toksin tanpa adanya kompetisi dengan bakteri yang lain.
Clostridium botulinum merupakan bahaya potensial pada makanan kaleng berasam sedang dan rendah (pH >4.5) termasuk produk kaleng berbasis daging, juga dapat tumbuh pada makanan yang dikemas vakum. Bakteri ini menghasilkan toksin botulin penyebab intoksikasi botulim. Toksin ini bersifat neurotoksin, yang dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian dengan dosis letal sebesar 1 mg/kg berat badan. Saluran pencernaan bayi yang belum sempurna menyebabkan bayi rentan terkena infant botulism jika menelan spora C. botulinum yang kemudian akan memproduksi toksin di dalam lambung. Toksin botulin tidak tahan pemanasan, sehingga untuk menghindari keracunan botulism maka makanan kaleng yang potensial mengandung botulin sebaiknya dididihkan selama 15 menit sebelum dikonsumsi. (Syamsir, 2010).






PENUTUP

3.1.   Kesimpulan
Pembusukan daging dapat disebabkan oleh aktivitas enzim-enzim dalam daging (autolisis), kimiawi (oksidasi) dan mikroorganisme. Berbagai kondisi suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap kandungan total koloni bakteri sehingga untuk memperpanjang umur simpan produk dan menjaga keamanan pangan produk olahannya maka diperlukan penerapan proses sanitasi yang benar untuk meminimalkan kontaminasi dan melakukan penyimpanan di suhu rendah untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri. Penerapan praktek higiene dan sanitasi serta penyimpanan di suhu rendah secara efektif, akan memperpanjang umur simpan daging dan produk olahannya, juga akan meningkatkan aspek keamanan pangannya.



















DAFTAR PUSTAKA

Badan Standardisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999, tentang Rumah Pemotongan Hewan. Jakarta: BSN.
Bolton, DJ, Doherty, AM, Sherudan, JJ. 2001. Beef HACCP: intervention and non-intervention systems. Int J Food Microbiol 66: 119-129.
Lukman, D.W. 2004. Keamanan Produk  pada Rumah Pemotongan Hewan. Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bandung.
Luning, PA, Marcelis, WJ, Jongen WMF. 2003. Food Management Quality – a Techno Managerial Approach. Wageningen: Wageningen Pers.