Jumat, 30 Desember 2016
PERAN IMUNITAS HUMORAL DAN LIMFOSIT B
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kekebalan tubuh. Imunologi berasal dari bahasa Latin yaitu immunis yang berarti kebal dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, imunologi diartikan sebagai studi tentang mekanisme biologis dari seluler, molekular, serta fungsional sistem imun. Sedangkan sistem imun itu sendiri adalah suatu sistem yang terdiri dari molekuler, seluler, jaringan, dan organ yang berperan dalam proteksi/kekebalan tubuh (imunitas). Sistem ini membentengi tubuh dari segala sesuatu yang dianggap asing dan pembawa penyakit infeksi.
Imunitas adalah perlindungan dari penyakit, khususnya penyakit infeksi. Sel-sel dan molekul-molekul yang terlibat di dalam perlindungan membentuk sistem imun. Sedangkan respon untuk menyambut agen asing disebut respon imun. Jadi agen asing atau antigen adalah substansi yang dapat menyebabkan terjadinya respon imun, misalnya virus. Tidak semua respon imun melindungi dari penyakit. Beberapa agen asing seperti alergi yang ditemukan pada debu, bulu kucing dan lain-lain, dapat menyebabkan penyakit sebagai konsekuensi akibat menginduksi respon imun.
Sistem imun spesifik adalah suatu sistem yang dapat mengenali suatu substansi asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat memacu perkembangan respon imun yang spesifik terhadap substansi tersebut. Sistem imun spesifik disebut pula dengan sistem imun yang didapat (adaptive immunity), dimana sel-sel imun yang berperan penting adalah sel limfosit B dan limfosit T. Substansi yang dapat merangsang respon imun spesifik disebut dengan antigen. Sedangkan respon tubuh terhadap masuknya antigen tersebut adalah dengan pembentukan antibodi.
Antibodi adalah suatu protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B sebagai respon terhadap adanya antigen. Antibodi bersifat spesifik terhadap jenis tertentu dari suatu antigen. Ribuan jenis antigen yang masuk ke dalam tubuh akan merangsang pembentukan ribuan jenis antibodi yang spesifik terhadap antigen tersebut. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan unuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang segera dikenal sistem imun spesifik, akan mensensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Sehingga bila sel sistem tersebut terpapar ulang dengan benda asing yang sama, akan dikenali lebih cepat dan dihancurkannya. Oleh karena itu sistem tersebut disebut spesifik.
Imunitas spesifik di perlukan untuk melawan antigen dari imunitas nonspesifik. Antigen adalah substansi yang berupa protein dan polisakarida yang mempunyai kemampuan merangsang munculnya sistem kekebalan tubuh (antibodi), tubuh dapat dengan cepat merespon infeksi suatu penyakit, apabila tubuh terdapat antibodi untuk jenis antigen tertentu yang berasal dari kuman, sistem imun spesifik terdiri dari sistem imun spesifik humoral dan selular.
Di dalam imunitas humoral yang berperan adalah limfosit B atau sel B berasal dari stem sel. Fungsi utamanya adalah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan melakukan netralisasi toksin. Dibuat di sumsum tulang yaitu sel batang yang sifatnya pluripotensi (pluripotent stem cells) dan dimatangkan di sumsum tulang (Bone Marrow). Limfosit B menyerang antigen yang ada di cairan antar sel. Terdapat 3 jenis sel limfosit B yaitu: limfosit B plasma memproduksi antibodi, limfosit B pembelah menghasilkan limfosit dalam jumlah banyak secara cepat, limfosit B memori mengingat antigen yang pernah masuk ke tubuh.
1.2. Tujuan
Mengetahui fungsi dari sistem imunitas humoral dan peran limfosit B dalam proses pembentukan antibodi
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Sistem Imun/Kekebalan Tubuh
Beberapa devinisi dari sistem imun/kekebalan tubuh, yaitu antara lain:
a. Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa.
b. Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.
2.2. Imunitas Humoral
Imunitas humoral menghasilkan pembentukan antibodi yang disekresikan oleh sel limfosit B. Antibodi ini berada dalam plasma darah dan cairan limfa (dahulu disebut cairan humor) dalam bentuk protein. Pembentukan antibodi ini dipicu oleh kehadiran antigen. Antibodi secara spesifik akan bereaksi dengan antigen. Spesifik, berarti antigen A hanya akan berekasi dengan dengan antibodi A, tidak dengan antibodi B. Antibodi umumnya tidak secara langsung menghancurkan antigen yang menyerang. Namun, pengikatan antara antigen dan antibodi merupakan dasar dari kerja antibodi dalam kekebalan tubuh. Terdapat beberapa cara antibodi menghancurkan patogen atau antigen, yaitu netralisasi, penggumpalan, pengendapan, dan pengaktifan sistem komplemen (protein komplemen)
Mekanisme imunitas ini tidak melibatkan produksi antibodi. Tahap pertama yaitu pengenalan antigen asing, yang dilakukan oleh sel B serta makrofag dan sel T helper. Sel T helper yang tersensitisasi menyajikan antigen asing pada sel B, yang memberikan stimulus kuat bagi aktivasi sel B yang spesifik untuk antigen ini. Sel B teraktivasi mulai membelah berkali-kali dan membentuk dua jenis sel. Beberapa sel B baru yang dihasilkan adalah sel-sel B memori, yang akan mengingat antigen spesifik. Sel-sel B lain menjadi sel-sel plasma yang menghasilkan antibodi spesifik bagi antigen asing. Antibodi kemudian berikatan dengan antigen, membentuk kompleks antigen-antibodi. Ikatan kompleks ini menyebabkan opsonisasi yang berarti bahwa antigen sekarang dilabel untuk di fagosit oleh makrofag atau neutrofil. Kompleks antigen antibodi juga menstimulasi proses fiksasi komplemen.
Komplemen adalah suatu kelompok yang terdiri atas 20 protein plasma yang bersirkulasi dalam darah sampai teraktivasi atau terfiksasi oleh suatu kompleks antigen-antibodi. Fiksasi komplemen bisa komplet atau parsial. Jika antigen asingnya seluler, protein komplemen mengikat kompleks antigen-antibodi, lalu saling berikatan satu dengan lainnya, dan menyusun cincin enzimatik yang membentuk satu lubang dalam sel, yang dapat menyebabkan kematian sel. Ini adalah fiksasi komplemen komplet ( menyeluruh) dan merupakan keadaan yang terjadi pada sel-sel bakteri (yang bisa terjadi pada reaksi transfusi, juga dapat meyebabkan hemolisis).
Apabila antigen asing bukan sel, misalnya virus, maka akan berlangsung fiksasi, komplemen parsial, yakni beberpa protein komplemen berikatan dengan kompleks antigen-antibodi. Hal ini merupakan faktor kemotaktik. Kemotaksit berarti Pergerakan kimiawi dan sebenarnya merupakan penanda yang menarik makrofag untuk memangsa dan merusak antigen asing. Bila antigen asing telah dirusak, sel T supresor tersensitisasi untuk menghentikan respon imun. Hal ini penting dalam membatasi produksi antibodi sampai jumlah yang diperlukan untuk mengeliminasi patogen tanpa memicu respons autoimun
2.3. Peran Limfosit B
Pada sistem imun spesifik humoral yang berperan adalah limfosit B atau sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten dalam sumsum tulang. Bila sel B dirangsang benda asing, sel tersebut akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum yang jika dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi (imunoglobulin). Selain itu juga berfungsi sebagai Antigen Presenting Cells (APC)
Sel B berfungsi untuk menghasilkan antibodi spesifik terhadap antigen. Antibodi ini diproduksi dalam jumlah besar, terutama dengan paparan berulang terhadap antigen. Reseptor antigel sel B adalah molekul antibodi pada permukaan sel B dan mengenali semua patogen tanpa perlu adanya proses antigen. Tiap keturunan sel B memiliki antibodi yang berbeda, sehingga kumpulan resptor antigen sel B yang lengkap melambangkan semua antibodi yang dapat diproduksi oleh tubuh.
Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE. Semua immunoglobulin ini memiliki tugas dimana IgG yang mengikat mikroba dengan sangat efisien, IgM yang mengikat bakteri, IgA yang terdapat pada interstitium, saliva, lapisan mukosa dan saluran pencernaan untuk mencegah infeksi oleh antigen. IgE yang mengikat parasit dan merupakan penyebab utama terjadinya gejala alergi, IgD yang selalu terikat pada sel B dan memainkan peran untuk menginisiasi respon awal sel B
2.4. Maturasi Limfosit B
Prekursor sel B berkembang menjadi sel B immature di dalam sumsum tulang kemudian terjadi proliferasi dan deferensiasi yang ditandai dengan pembentukan BCR atau BCR somatic gen rearrangement, yaitu pembentukan reseptor yang dipresentasikan pada permukaan membran. Setelah terbentuk IgM dalam tahap immature dalam sumsum tulang, sel B immature bermigrasi ke limpa atau disebut dengan sel B transisional, kemudian mengalami deferensiasi menjadi limfosit B mature. Pengembangan sel B terjadi melalui beberapa tahapan, setiap tahap mewakili perubahan genom pada lokus antibodi. Antibodi ini terdiri dari dua rantai identik Light (L) atau light chain dan dua rantai identik heavy (H) atau heavy chain, dan gen-gen ditemukan di daerah V (Variable) dan daerah C (Constant) . Dalam heavy chain, daerah V memiliki tiga segmen; V, D dan J, yang dikombinasikan secara acak, dalam proses yang disebut rekombinasi VDJ, untuk menghasilkan sebuah variabel unik imunoglobulin domain di masing-masing sel B.
Sebagian besar sel B immature mati serta sisanya terus berdeferensiasi, setelah itu terjadi seleksi negatif yaitu bila reseptor mengenali sel antigen atau self reactif cell maka sel B immatur akan mati, bila tidak mengenali, maka akan tetap hidup. Sel B mature/naive melewati dinding venule postkapilar mencapai sirkulasi sistemik dan menempati organ limfoid perifer. Seleksi positif bila sel B mampu masuk ke organ sekunder tersebut. Ketika sel B mengalami kegagalan dalam setiap langkah dari proses maturasi, sel B akan mati melalui mekanisme apoptosis, dalam hal ini disebut clonal deletion. Jika telah mengenali self Antigen selama proses maturasi, sel B akan mengalami apoptosis ( seleksi negatif). Setelah teraktivasi, sel B akan terbentuk menjadi sel B memori sebagai bagian dari sistem imun adaptif.
2.5. Imunitas Diperantai Antibodi
Untuk respon imun yang diperantarai antibodi, limfosit B berperan dalam proses ini, dimana limfosit B akan melalui 2 proses yaitu respon imun primer dan respon imun sekunder. Jika sel limfosit B bertemu dengan antigen dan cocok, maka limfosit B membelah secara mitosis dan menghasilkan beberapa sel limfosit B. Semua Limfosit B segera melepaskan antibodi yang mereka punya dan merangsang sel Mast untuk menghancurkan antigen atau sel yang sudah terserang antigen untuk mengeluarkan histamin. 1 sel limfosit B dibiarkan tetap hidup untuk menyimpan antibodi yang sama sebelum penyerang terjadi. Limfosit B yang tersisa ini disebut limfosit B memori. Inilah proses respon imun primer. Jika suatu saat, antigen yang sama menyerang kembali, Limfosit B dengan cepat menghasilkan lebih banyak sel Limfosit B daripada sebelumnya. Semuanya melepaskan antibodi dan merangsang sel Mast mengeluarkan histamin untuk membunuh antigen tersebut. Kemudian, 1 limfosit B dibiarkan hidup untuk menyimpan antibodi yang ada dari sebelumnya. Hal ini menyebabkan kenapa respon imun sekunder jauh lebih cepat daripada respon imun primer.
Suatu saat, jika suatu individu lama tidak terkena antigen yang sama dengan yang menyerang sebelumnya, maka bisa saja ia akan sakit yang disebabkan oleh antigen yang sama karena limfosit B yang mengingat antigen tersebut sudah mati. Limfosit B memori biasanya berumur panjang dan tidak memproduksi antibodi kecuali dikenai antigen spesifik. Jika tidak ada antigen yang sama yang menyerang dalam waktu yang sangat lama, maka Limfosit B bisa saja mati dan individu yang seharusnya bisa resisten terhadap antigen tersebut bisa sakit lagi jika antigen itu menyerang, maka seluruh proses respon imun harus diulang dari awal.
2.6. Cara Kerja Antibodi
Cara kerja antibodi dalam mengikat antigen ada empat macam. Prinsipnya adalah terjadi pengikatan antigen oleh antibodi, yang selanjutnya antigen yang telah diikat antibodi akan dimakan oleh sel makrofag. Berikut ini adalah cara pengikatan antigen oleh antibodi:
1) Netralisasi
Antibodi menonaktifkan antigen dengan cara memblok bagian tertentu antigen. Antibodi juga menetralisasi virus dengan cara mengikat bagian tertentu virus pada sel inang. Dengan terjadinya netralisasi maka efek merugikan dari antigen atau toksik dari patogen dapat dikurangi.
2) Penggumpalan
Penggumpalan partikel-partikel antigen dapat dilakukan karena struktur antibodi yang memungkinkan untuk melakukan pengikatan lebih dari satu antigen. Molekul antibodi memiliki sedikitnya dua tempat pengikatan antigen yang dapat bergabung dengan anti-gen-antigen yang berdekatan. Gumpalan atau kumpulan bakteri akan memudahkan sel fagositik (makrofag) untuk menangkap dan memakan bakteri secara cepat.
3) Pengendapan
Prinsip pengendapan hampir sama dengan penggumpalan, tetapi pada pengendapan antigen yang dituju berupa antigen yang larut. Pengikatan antigen-antigen tersebut membuatnya dapat diendapkan, sehingga sel-sel makrofag mudah dalam menangkapnya.
4) Aktifasi Komplemen
Antibodi akan bekerja sama dengan protein komplemen untuk melakukan penyerangan terhadap sel asing. Pengaktifan protein komplemen akan menyebabkan terjadinya luka pada membran sel asing dan dapat terjadi lisis.
Gambar 1. Imunitas humoral
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme.dan sistem imun berfungsi sebagaipelindung tubuh dari invasi penyebab penyakit, menghancurkan dan menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh.
3.2. Saran
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis, demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Baratawidjaja, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar Edisi ke-7 . Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Dinejad, Ahmad. 2005. Sistem Kekebalan Tubuh. Jakarta: Cv.Swasada
Murphy, Travers, Walport. 2008. Janeway’s Immunobiology.7th Ed. Garland Sciene.
Sheeler, P. dan D.E. Bianchi, 1982, Cell Biology Structure, Biochemistry, and Function, 2 ed., John Wiley & Sons Inc, New York.
Yahya, Harun. 2002. Sistem Kekebalan Tubuh dan Keajaiban didalamnya. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media.
Kamis, 29 Desember 2016
USAHA PREVENTIF PRIMER, SEKUNDER DAN TERTIER TERHADAP PENYAKIT TIDAK MENULAR
Pencegahan Penyakit Tidak Menular
Baik individu maupun masyarakat dapat
memberikan kontribusi bermakna dalam pencegahan dan pengedalian penyakit
berpenyebab ganda. Masyarakat dapat menyediakan lingkungan yang
pro-kesehatan-fisik, ekonomi, dan sosial yang di dalamnya setiap orang akan
lebih mudah mencapai derajat kesehatan yang lebih tinggi.
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah peningkatan kesehatan
dan perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu adalah
usaha-usaha yang dilakukan sebelum sakit (pre pathogenesis), dan disebut dengan
pencegahan primer.
Pencegahan primer dilakukan pada masa individu
yang belum menderita sakit. Pencegahan primer terdiri dari promosi kesehatan
(health promotion) dan perlindungan khusus (spesifiic protection).
A. Pencegahan
Primer Penyakit Tidak Menular
Upaya pencegahan primer untuk penyakit
tidak menular mencakup persediaan makanan dan energi yang kuat, kesempatan yang
baik dalam pendidikan, pekerjaan, dan perumahan dan layanan komunitas yang
efisien.
Setiap individu dapat mempraktikan
upaya pencegahan primer dengan mendapatkan tingkat pendidikan yang tinggi yang
mencakup pengetahuan tentang kesehatan dan penyakit dan perjalanan penyakit
anggota keluarga lain. Secara khusus, individu harus mengambil tanggung jawab
dalam hal makan dengan tepat, olahraga yang cukup, mempertahankan berat badan
yang sesuai, dan menghindari penggunaan alkohol dan obat-obatan lain.
Masing-masing individu juga dapat melindungi dirinya dari cedera dengan
mengenakan sabuk pengaman, kacamata pengaman, dan lotion tabir surya.
2. Pencegahan
sekunder
Penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan
yang cepat dan tepat, disebut pencegahan sekunder (seconder preventive). Pencegahan sekunder dilakukan pada masa
individu mulai sakit. Pencegahan sekunder bentuknya upaya diagnosis dini dan
pengobatan segera ( early diagnosis and
prompt treatment ).
B. Pencegahan
Sekunder Penyakit Tidak Menular
Upaya pencegahan sekunder yang dapat
dilakukan masyarakat mencakup pelaksanaan skrining massal untuk penyakit
kronis, upaya penemuan kasus, dan penyediaan tentang fasilitas, perlengkapan,
dan tenaga kesehatan yang memadai bagi masyarakat. Tugas individu di dalam
pencegahan sekunder mencakup skrining pribadi, misalnya periksa sendiri
payudara atau testis (untuk kanker pada organ tersebut), bemocult test (untuk
kanker kolon dan rektum), dan skrining medis seperti pap test (untuk kanker
servik), tes PSA untuk kanker prostat, mammografi dan skrining untuk diabetes,
glukoma, atau hipertensi. Keikutsertaan dalam skrining kesehatan dan
pemeriksaan kesehatan dan gigi secara rutin merupakan langkah awal dalam
pencegahan sekunder untuk penyakit tidak menular. Langkah-langkah itu harus
diikuti dengan diagnosis pasti dan pengobatan segera untuk penyakit apapun yang
terdeteksi.
3. Pencegahan
tersier
Pembatasan kecacatan dan pemulihan kesehatan
disebut pencegahan tersier (tertiary
prevention). Pencegahan tersier bentuknya membatasi
ketidakmampuan/kecacatan (disability
limitation) dan pemulihan kesehatan (rehabilitation).
Pada proses ini diusahakan agar cacat yang diderita tidak menjadi hambatan
sehingga individu yang menderita dapat berfungsi optimal secara fisik, mental
dan sosial.
C. Pencegahan
Tersier Penyakit Tidak Menular
Upaya pencegahan tersier bagi masyarakat
mencakup ketersediaan fasilitas, layanan, dan tenaga medis kedaruratan yang kuat
untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang di dalamnya upaya pencegahan primer dan
sekunder sudah tidak ampuh. Contohnya mencakup layanan ambulan rumah sakit,
dokter dan dokter bedah, perawat, dan tenaga professional kesehatan yang lain.
Pencegahan tersier bagi individu kerap
membutuhkan perubahan perilaku atau gaya hidup yang signifikan. Contohnya
mencakup kepatuhan mengikuti pengobatan yang diresepkan, program olahraga, dan
diet. Contoh, seorang pasien serangan jantung dapat mengikuti program
pendidikan dan konseling gizi dan di dorong untuk perpartisipasi dalam program
olahraga. Kegiatan itu dapat membawa pasien kembali meneruskan pekerjaannya dan
mencegah serangan jantung kedua. Untuk tipe tertentu masalah kesehatan tidak
menular, misalnya masalah yang melibatkan penyalahgunaan zat, kedatangan yang
rutin pada pertemuan kelompok pendukung atau sesi konseling dapat menjadi satu
bagian penting dalam program pencegahan tersier.
PENANGANAN DAGING YANG AMAN, BERMUTU
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung
zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat
baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung
enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak)
yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging
dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food).
Beberapa penyakit hewan yang bersifat zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan
dari hewan kepada manusia) dapat ditularkan melalui daging (meat-borne
disease). Selain itu, daging juga dapat mengandung residu obat hewan dan
hormon, cemaran logam berat, pestisida atau zat-zat berbahaya lain, sehingga
daging juga dikategorikan sebagai pangan yang berpotensi berbahaya bagi
kesehatan manusia (potentially hazardous food/PHF). Agar daging tetap
bermutu baik, aman dan layak untuk dikonsumsi, maka perlu penanganan daging
yang aman dan baik mulai dari peternakan sampai dikonsumsi. Konsep tersebut
dikenal sebagai safe from farm to table concepts. (Lukman, 2004).
Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan
keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah
pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi perubahan
(konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran
mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran
jeroan). Penanganan hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis
akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan.
Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH
sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem product
safety pada RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut
adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan.
Penerapan product safety pada RPH ditujukan untuk
memberikan jaminan keamanan dan mutu daging yang dihasilkan, termasuk
kehalalan, dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen, serta turut
menjaga kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu, sistem tersebut berfungsi
sebagai pengawasan dan pengendalian penyakit hewan dan zoonosis di RPH sebagai
bagian dari sistem kesehatan hewan nasional. (Luning dkk, 2003).
Penyediaan pangan yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi di
Indonesia telah diatur oleh peraturan perundangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Khusus untuk pangan asal hewan (daging, susu dan telur)
diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu, kebijakan pemerintah, khususnya
Departemen Pertanian, terhadap penyediaan daging di Indonesia harus memenuhi
konsep penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). (BSN, 1999).
1.2. Tujuan
Memberikan informasi tentang pentingnya sanitasi dan hygiene untuk
menghasilkan daging yang bermutu, aman dan layak dikonsumsi, maka perlu
diterapkan sistem jaminan mutu dan keamanan pada rantai penyediaan daging mulai
dari peternakan sampai ke meja makan.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyediaan
Daging
Penyediaan
daging di Indonesia dipasok dari pemotongan hewan di dalam negeri (lokal) dan
impor (pemasukan) daging dari luar negeri. Seiring dengan peningkatan penduduk
di Indonesia, konsumsi daging di Indonesia pada lima tahun terakhir (1999-2003)
terus meningkat, dengan rata-rata peningkatan rata-rata konsumsi daging sebesar
15,0% per tahun.
Dilihat dari mata rantai penyediaan daging di Indonesia,
maka salah satu tahapan terpenting adalah penyembelihan hewan di RPH. Rumah
pemotongan hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi
khusus yang memenuhi persyaratatn teknis dan higiene tertentu, yang digunakan
sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat.
Peraturan perundangan yang berkaitan persyaratan RPH di Indonesia telah diatur
dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang
Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan. Dalam
peraturan tersebut, persyaratan RPH dibagi menjadi empat kelas (A, B, C dan D)
berdasarkan peredaran dagingnya. Pengelompokan tersebut mengatur fasilitas yang
harus dimiliki oleh suatu RPH, bukan mengatur persyaratan minimum yang
menyangkut aspek teknik higiene, sanitasi dan kesehatan masyarakat veteriner.
(Lukman, 2004)
Berdasarkan sistem jaminan keamanan pangan yang dikenal
dengan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), maka
penyembelihan di RPH dapat dikategorikan sebagai titik kendali kritis (critical
control point). Beberapa bahaya-bahaya yang mungkin terdapat pada daging
dapat dikendalikan (dihilangkan atau diturunkan sampai tingkat yang dapat
diterima) di RPH. Selain itu, RPH memegang peran penting dalam pengawasan dan
pengendalian penyakit hewan dan zoonosis, sebagai bagian dari sistem kesehatan
hewan nasional. Sehingga peran dan fungsi RPH dalam mata rantai penyediaan
daging perlu mendapat perhatian. (Bolton
dkk. 2001)
2.2. Keamanan
Produk Pada
Rumah Pemotongan Hewan
Untuk menghasilkan daging yang bermutu, aman dan layak
dikonsumsi, maka perlu diterapkan sistem jaminan mutu dan keamanan pada rantai
penyediaan daging mulai dari peternakan sampai ke meja makan. Salah satu
programnya adalah penerapan jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH
Proses penanganan hewan sebelum, sesaat dan setelah
penyembelihan perlu memperhatikan aspek halal, higiene dan sanitasi, serta kesejahteraan
hewan. Sebelum penyembelihan, hewan sebaiknya diistirahatkan minimum selama 12
jam dan dipuasakan (tetapi tetap diberikan minum). Kesehatan hewan harus
diperiksa oleh dokter hewan atau tenaga paramedis yang dilatih dan di bawah
pengawasan dokter hewan maksimum 24 jam sebelum penyembelihan. Hanya hewan yang
sehat dapat disembelih. Penyembelihan hewan harus memperhatikan syariat agama
Islam (halal) dan ditangani dengan baik, hewan tidak menderita dan disakiti
sebelum mati (kesejahteraan hewan). Penerapan sistem rantai dingin (cold
chain system) pada penanganan daging selanjutnya sangat perlu untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan proses autolisis daging oleh
enzim-enzim dalam daging. Sistem rantai dingin adalah penerapan suhu dingin
selama peyimpanan daging. Daging sebaiknya tidak disimpan pada suhu lebih dari
4 oC dengan harapan suhu bagian dalam daging tetap terjaga di bawah
4 oC untuk daging segar atau suhu –18 oC untuk daging
beku. (Lukman, 2004).
Menurut Bolton dkk.
(2001) terdapat empat titik kendali kritis dalam proses penyembelihan di RPH,
yaitu (1) pelepasan kulit, (2) eviserasi atau pengeluaran jeroan, (3) pemisahan
sumsum tulang belakang (pada daerah tidak bebas penyakit sapi gila atau mad
cow), dan (4) pendinginan. Pada pelepasan kulit, yang perlu diperhatikan
adalah ketajaman dan kebersihan pisau. Sebaiknya pisau senantiasa dibersihkan
dan didisinfeksi menggunakan air panas (suhu >82 oC). Dalam
proses penyembelihan, sebaiknya setiap pekerja yang menangani daging memiliki
dua pisau, pisau pertama digunakan dan pisau kedua direndam dalam air panas
>82 oC, kemudian ditukar, sehingga memperkecil terjadinya
pencemaran silang pada daging. Hal ini dikenal dengan sistem dua pisau (two
knives system). Pada eviserasi, pengikatan esofagus (rodding) dan
anus sangat penting agar isi (cairan) bagian dalam saluran pencernaan tidak
keluar dan mengenai daging. Pemisahan sumsum tulang belakang perlu dilakukan
secara hati-hati, karena sumsum tulang belakang dapat mengandung prion sebagai
penyebab penyakit sapi gila (mad cow; Bovine Spongiform
Encephalopathie/BSE) yang dapat masuk ke dalam rantai pangan manusia.
Penerapan higiene untuk personal di RPH mencakup kesehatan
dan kebersihan diri, perilaku/kebiasaan bersih, serta peningkatan
pengetahuan/pemahaman dan kepedulian melalui program pendidikan dan pelatihan
yang terprogram dan berkesinambungan. Setiap pegawai yang menangani langsung
daging harus sehat dan bersih. Higiene personal yang buruk merupakan salah satu
sumber pencemaran terhadap daging.
2.3. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri pada Daging
Daging merupakan pangan bergizi tinggi, dengan kandungan air
sekitar 75%, protein 19%, lemak 2.5%, nitrogen terlarut non protein 1.65% dan
bahan-bahan anorganik 0.65%. Ketersediaan nutrisi yang lengkap ini menyebabkan
daging menjadi media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba.
Pembusukan daging bisa dikarenakan
faktor sebagai berikut :
1. Kelembaban: kelembaban yang tinggi
akan mengakibatkan pertumbuhan mikroba yang berlebihan. Pada kelembabab rendah
mengakibatkan pengkerutan yang berlebihan. Kelembaban relative 85%
memperlambat pertumbuhan mikroba dan kehilangan cairan daging akan menurun
2. Suhu: pada suhu yang tinggi akan
mempercepat perkembangan keempukan namun pertumbuhan mikroba juga meningkat
3. Kecepatan udara: pada kecepatan
udara rendah akan mengakibatkan kondensasi air berlebihan pada produk yang mana
akan menghasilkan aroma dan flavor yang menyimpang (off-flavor), dan
pembusukan. Sedang pada kecepatan udara tinggi akan mengakibatkan
pengeringan permukaan karkas yang berlebihan. (Lukman, 2004).
2.4. Proses Pembusukan Daging
Pembusukan daging dapat disebabkan
oleh aktivitas enzim-enzim dalam daging (autolisis), kimiawi (oksidasi) dan
mikroorganisme. Mekanisme pembusukan ini sangat kompleks. Bakteri
tumbuh/berkembang pada daging dengan memanfaatkan komponen-komponen (dengan
berat molekul rendah) yang terlarut dalam daging. Konsentrasi komponen
tersebut dalam daging dan penggunaannya oleh jenis mikroba tertentu yang akan
menentukan waktu terjadinya (onset) pembusukan.
Jumlah
mikroorganisme pada daging sapi saat bau muncul sebesar adalah 1,2 X 106 s/d
1,0 X 108 cfu/cm2 dan lendir akan muncul saat jumlah
mikroorganisme sebesar 3,0 X 106 s/d 3,0 X 108 cfu/cm2. Pada
daging unggas, bau akan
muncul saat jumlah mikroorganismenya sebesar 2,5 X 106 s/d 1,0
X 108 cfu/cm2 dan muncul lendir saat jumlah mikroorganisme
sebesar 1,0 x 107 s/d 6,0 X 107cfu/cm2.
Autolisis merupakan proses
terjadinya penguraian daging hewan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam
tubuh hewan. Proses autolisis ditandai dengan melemasnya daging hewan.
Lembeknya daging hewan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat
sehingga terjadi pemecahan daging hewan yang selanjutnya menghasilkan substansi
yang baik bagi pertumbuhan bakteri.
Autolisis dimulai bersamaan dengan
menurunnya pH. Mula-mula protein dipecah menjadi molekul-molekul makro yang
menyebabkan peningkatan dehidrasi protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi
protease, lalu pecah menjadi pepton, polipeptida, dan akhirnya menjadi asam
amino. Selain itu dihasilkan pula sejumlah kecil pirimidin dan purin basa yang
dibebaskan pada waktu asam nukleat memecah. Bersamaan dengan itu, hidrolisis
lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Pemecahan penyusun jaringan
hewan juga akan berakibat pada penurunan sifat organoleptik seperti bau, rasa,
tekstur, dan kadang-kadang warna. (Luning dkk, 2003).
Pembusukan yang disebabkan oleh
aktivitas bakteri tidak akan terjadi sebelum masa rigor mortis berakhir. Pada
akhir fase rigor saat hasil penguraian makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk
mulai meningkat. Bila fase rigor telah lewat (badan hewan mulai melunak) maka
kecepatan pembusukan akan meningkat. Bakteri masuk ke otot dan memecahkan
senyawa-senyawa sumber energi seperti protein, karbohidrat, dan lemak menjadi
senyawa-senyawa busuk berupa indol, skatol, merkaptan, amonia, asam sulfida,
dan lain-lain. Bakteri yang umum ditemukan pada daging adalah bakteri
Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio, Flavobacterium, Serratia, dan
Bacillus.
Berbagai kondisi suhu dan lama penyimpanan memberikan
pengaruh terhadap kandungan total koloni bakteri. Adapun kerusakan kimiawi yang
sering kali terjadi adalah proses oksidasi lemak yang mengakibatkan rasa pahit
dan bau tengik serta perubahan warna. Proses oksidasi lemak menghasilkan
sejumlah substansi yang dapat menyebabkan timbulnya bau dan rasa tengik yang
disebut proses ketengikan. Proses ini dipercepat dengan adanya logam-logam
berat, enzim-enzim lipooksidase, cahaya, dan panas. Senyawa hasil pemecahan
hidroperoksida merupakan produk sekunder yang sebagian besar berupa aldehid,
keton, alkohol, asam karboksilat, dan alkana yang menyebabkan timbulnya
diskolorisasi atau bau tengik pada hewan. (Bolton dkk. 2001)
2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kontaminasi
Patogen Pada Daging dan Produk Olahannya
Patogen yang mengkontaminasi daging bisa menyebar keseluruh
bagian daging pada berbagai tahap penanganan daging dan dengan melalui berbagai
jalan. Mikroba pada karkas hewan besar dan unggas terutama bakteri, yang
berasal dari hewan itu sendiri (kulit, rambut, bulu, saluran pencernaan, dan
sebagainya), lingkungan peternakan (pakan, air, tanah, kotoran hewan) dan
lingkungan tempat pemotongan (peralatan, udara, air dan pekerja). Jumlah
bakteri pada karkas dari hewan yang sehat sekitar 101-3 koloni/inch2 daging.
Tahapan proses penghilangan tulang, pemotongan dan juga
penggilingan daging menyebabkan resiko kontaminasi mikrobial pada daging
meningkat, karena terjadinya kontaminasi silang melalui pekerja, air dan
peralatan pengolahan, serta terjadinya transfer mikroba dari permukaan daging
ke bagian dalam. Beberapa peralatan yang sukar dibersihkan seperti konveyor,
mesin pengiris dan penggiling daging (grinder) bisa menjadi sumber kontaminasi.
Pengolahan daging dengan menggunakan inggridien dan aditif
yang bervariasi dan tahapan proses pengolahan yang beragam menghasilkan
berbagai jenis produk olahan daging yang sangat beragam. Dari perspektif
keamanan mikrobiologi daging, produk olahan daging bisa dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu 1). Produk yang memperoleh tahapan bakterisidal yang menyebabkan
hilangnya patogen (terutama proses pemasakan); 2). Produk yang tidak memperoleh
tahapan bakterisidal, dimana pada kondisi ini bakteri bisa bertahan tetapi
tidak bisa memperbanyak diri pada kondisi penyimpanan yang diharapkan; dan 3).
Produk yang tidak menerima tahapan bakterisidal dan bakteri bisa tumbuh dan
berkembang biak selama penyimpanan.
Selama penjualan, daging segar dan produk olahan daging bisa
saja mengalami proses penanganan lanjutan seperti pemotongan, pengirisan,
pengemasan yang semuanya potensial menyebabkan terjadinya kontaminasi silang
dari pekerja, wadah dan peralatan. Di usaha katering dan di konsumen, masalah
yng dihubungkan dengan patogen yag ada didalam daging dan produk olahan daging
relaif sama, dan biasanya dihubungkan dengan preparasi akhir produk untuk
dikonsumsi. Faktor resiko utama pada praktek preparasi mencakup: 1).
Kontaminasi silang dari pangan mentah ke produk yang telah dimasak melalui
refrigerator, tangan yang terkontaminasi, papan pengiris (talenan) dan lap
kerja; 2). Ketidakcukupan suhu penyimpanan dingin; 3). Ketidakcukupan suhu dan
waktu pemasakan; dan 4). Kesalahan dalam proses penanganan setelah proses pemasakan
termasuk diantaranya proses pendinginan lambat dan/atau rekontaminasi.
Untuk memperpanjang umur simpan produk dan menjaga keamanan
pangan produk olahannya maka diperlukan penerapan proses sanitasi yang benar
untuk meminimalkan kontaminasi dan melakukan penyimpanan di suhu rendah untuk
meminimalkan pertumbuhan bakteri. Penerapan praktek higiene dan sanitasi serta
penyimpanan di suhu rendah secara efektif, akan memperpanjang umur simpan
daging dan produk olahannya, juga akan meningkatkan aspek keamanan pangannya.
Hanya saja, perlu diingat bahwa penerapan aspek sanitasi dan penyimpanan disuhu
rendah walaupun akan mengurangi jumlah bakteri total dan memperlambat
pertumbuhan mereka, tetapi tidak menjamin hilangnya bakteri patogen. Destruksi
bakteri oleh panas selama proses pemasakan adalah salah satu cara yang efektif
untuk menjamin agar konsumen tidak terinfeksi oleh bakteri patogen. (Syamsir,
2010).
2.6. Patogen Utama
di Dalam Daging dan Produk Olahan Daging
Campylobacter spp bersifat termofilik artinya dapat hidup
pada kisaran suhu relatif tinggi dengan suhu optimum 55°C. Bakteri ini
menyebabkan infeksi campilobakteriosis dengan gejala umum sakit perut bagian
bawah, kram, diare, sakit kepala, demam dan kadang-kadang diare berdarah
dengan/tanpa diikuti komplikasi seperti radang sendi dan gangguan neurogical.
Campylobacter telah diisolasi dari karkas dan feses ayam, sapi, babi dan
produk-produk daging. Daging ayam merupakan jenis pangan yang paling sering
terkontaminasi oleh bakteri ini. Sebagian besar Campylobacter ditemukan
dipermukaan karkas, dan campylobacter dapat menembus bagian dalam daging
unggas. Produk daging yang tidak dimasak dengan sempurna bisa berperan dalam
terjadinya campilobakteriosis. Karena infeksi campilobakteriosis dapat
disebabkan oleh hanya beberapa ratus sel sehat, maka infeksi dapat dengan mudah
terjadi jika penanganan karkas dilakukan tanpa praktek sanitasi yang baik.
Salmonella penyebab infeksi salmonellosis bisa ditemukan
dalam saluran pencernaan hewan (seperti burung, reptil, ternak) dan manusia.
Keracunan terjadi jika mengkonsumsi sel viabel dalam jumlah besar, yaitu 105
sel dengan gejala pusing, muntah-muntah, sakit perut bagian bawah dan diare
yang kadang didahului oleh sakit kepala dan menggigil. Pada kondisi yang lebih parah
bisa menyebabkan tifus (oleh S. typhi) dan paratifus (oleh S. paratyphi).
Walaupun pada banyak kasus salmonellosis disebabkan oleh telur dan produk
olahan telur, infeksi ini juga terjadi pada produk daging yang terkontaminasi,
terutama daging ayam, lalu daging babi dan sapi. Salmonella tahan terhadap
kondisi lingkungan, tetapi sensitif terhadap proses pengeringan dan pembekuan.
Proses pembekuan walaupun menurunkan jumlah Salmonella, tetapi tidak membunuh
bakteri ini secara total. Inaktivasinya dilakukan dengan pemasakan, dan suhu
pasteurisasi cukup untuk membunuhnya. Kontaminasi silang bisa terjadi jika
daging mentah atau air daging kontak dengan makanan yang sudah dimasak atau
makanan yang akan dimakan mentah seperti lalap.
Yersinia enterocolitica penyebab yersiniosis telah diisolasi
dari saluran pencernaan hewan maupun produk olahannya. Yersiniosis terutama
menyerang anak-anak dengan diare sebagai gejala dominan. Pada anak yang lebih
besar dan orang dewasa, mungkin juga mengalami demam dan nyeri. Komplikasi
seperti nyeri di persendian dan/atau masuknya bakteri ke aliran darah.
Keberadaan bakteri ini pada produk disebabkan oleh kontaminasi pasca
pengolahan, karena bakteri ini terbunuh dengan pemanasan pasteurisasi. Yang
penting diperhatikan, bakteri ini mampu hidup dan berkembangbiak pada suhu
lemari es (dibawah 5oC).
Escherichia coli bisa membentuk koloni didalam saluran
pencernaan hewan dan mengkontaminasi daging pada saat proses pemotongan.
Bakteri ini merupakan mikroflora normal di saluran pencernaan dan beberapa
diantaranya bersifat patogen. E. coli O157:H7 adalah strain yang diketahui bisa
menyebabkan penyakit. Dosis infeksi oleh E. coli O157:H7 cukup rendah, 10-100
sel yang tertelan sudah mampu menyebabkan eschericchia coli memproduksi toksin
penyebab kejang perut yang disertai dengan diare berdarah, juga menyebabkan
gangguan ginjal pada anak-anak (fatal) dan gangguan syaraf pada orang lanjut
usia.
Listeria monocytogenes telah diisolasi dari air, kotoran
hewan dan manusia. Infeksi listeriosis menyebabkan sakit seperti gejala flu dan
pada wanita hamil dapat menyebabkan keguguran. Bakteri ini dapat dirusak dengan
proses pemasakan. Tetapi, karena dia mudah ditemui pada area pengolahan yang
basah, maka produk yang sudah dimasak bisa terkontaminasi kembali dengan
bakteri ini jika kondisi penanganan dan sanitasinya tidak baik.
Clostridium perfringens menyebabkan infeksi dengan gejala
sakit perut bagian bawah, diare dan pembentukan gas, demam dan pusing. Infeksi
dapat terjadi jika makanan terkontaminasi dan makanan dikonsumsi tanpa
pemanasan ulang. Keracunan terjadi jika sel terkonsumsi dalam jumlah banyak dan
memproduksi toksin di dalam saluran pencernaan. Selain didalam daging, bakteri
ini juga ditemukan pada makanan kering, rempah dan sayuran.
Staphylococcus aureus bisa dibawa oleh tangan manusia,
rongga hidung dan tenggorokan sehingga bakteri ini sering dihubungkan dengan
higiene pekerja. Hewan juga merupakan pembawa S. aureus pada berbagai bagian
tubuhnya. Bakteri ini menyebabkan sakit melalui racunnya yang tahan panas.
Racun dibentuk didalam makanan. Intoksikasi S. aureus menyebabkan pusing,
muntah-muntah, kram usus, diare berdarah dan berlendir pada beberapa kasus,
sakit kepala, kram otot, berkeringat, menggigil, detak jantung lemah dan
pembengkakan saluran pernafasan. Sebagian besar kasus keracunannya terjadi dari
kontaminasi oleh pekerja yang menangani makanan tersebut. Pencegahan keracunan
dilakukan dengan penerapan praktek sanitasi dan proses pemasakan serta
penyimpanan yang benar. Kontaminasi pasca pengolahan sangat berbahaya, karena
S. aureus akan tumbuh dan menghasilkan toksin tanpa adanya kompetisi dengan
bakteri yang lain.
Clostridium botulinum merupakan bahaya potensial pada
makanan kaleng berasam sedang dan rendah (pH >4.5) termasuk produk kaleng berbasis
daging, juga dapat tumbuh pada makanan yang dikemas vakum. Bakteri ini
menghasilkan toksin botulin penyebab intoksikasi botulim. Toksin ini bersifat
neurotoksin, yang dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian dengan dosis
letal sebesar 1 mg/kg berat badan. Saluran pencernaan bayi yang belum sempurna
menyebabkan bayi rentan terkena infant botulism jika menelan spora C. botulinum
yang kemudian akan memproduksi toksin di dalam lambung. Toksin botulin tidak
tahan pemanasan, sehingga untuk menghindari keracunan botulism maka makanan
kaleng yang potensial mengandung botulin sebaiknya dididihkan selama 15 menit
sebelum dikonsumsi. (Syamsir, 2010).
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pembusukan daging dapat disebabkan oleh aktivitas
enzim-enzim dalam daging (autolisis), kimiawi (oksidasi) dan mikroorganisme. Berbagai
kondisi suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap kandungan total
koloni bakteri sehingga untuk memperpanjang umur simpan produk dan menjaga
keamanan pangan produk olahannya maka diperlukan penerapan proses sanitasi yang
benar untuk meminimalkan kontaminasi dan melakukan penyimpanan di suhu rendah
untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri. Penerapan praktek higiene dan sanitasi
serta penyimpanan di suhu rendah secara efektif, akan memperpanjang umur simpan
daging dan produk olahannya, juga akan meningkatkan aspek keamanan pangannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Badan Standardisasi Nasional. 1999.
Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999, tentang Rumah Pemotongan Hewan.
Jakarta: BSN.
Bolton, DJ, Doherty, AM, Sherudan,
JJ. 2001. Beef HACCP: intervention and non-intervention systems. Int J Food
Microbiol 66: 119-129.
Lukman, D.W. 2004. Keamanan Produk pada Rumah
Pemotongan Hewan. Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor, Bandung.
Luning, PA, Marcelis, WJ, Jongen
WMF. 2003. Food Management Quality – a Techno Managerial Approach. Wageningen:
Wageningen Pers.
Syamsir,
E. 2010. Keamanan Mikrobiologi Produk Olahan Daging. Departemen Ilmu
dan Teknologi Pangan, IPB.http://itp.fateta.ipb.ac.id/id/index.php?option=
com_content &task=view&id=169&Itemid=94
Langganan:
Postingan (Atom)