Senin, 16 Januari 2017

FRAKTUR HUMERUS


PENDAHULUAN Struktur Tulang Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian (Dudley, Hugh AF, 1986.) Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES) (Keliat, Budi Anna, 1994). Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995) Fungsi Tulang 1. Memberi kekuatan pada kerangka tubuh. 2. Tempat melekatnya otot. 3. Melindungi organ penting. 4. Tempat pembuatan sel darah. 5. Tempat penyimpanan garam mineral. (Ignatavicius, Donna D, 1995) Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung, trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan, trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh (Snell dan Richards, 1997). Patah tulang dapat dibagi berdasarkan nama anatomi tulang yang patah (untuk tulang ekstremitas bahkan dibagi lagi atas bagian progsimal, tengah dan distal), ada tidaknya luka di atas tulang yang patah, dan ada tidaknya komplikasi serius karena patah tersebut. Melalui fhoto rotgen dapat pula dilihat komplit-tidaknya patah, jumlah dan kedudukan fragmen tulang (bagian tulang yang patah), serta bentuk garis patah (Ibrahim, 2000). Diagnosis fraktur dengan fragmen terdislokasi tidak menimbulkan kesulitan. Secara klinis dengan mudah dapat dibuat diagnosis patah tulang Colles. Bila fraktur terjadi tanpa dislokasi fragmen patahannya, diagnosis klinis dibuat berdasarkan tanda klinis patah tulang. Pemeriksaan radiologik juga diperlukan untuk mengetahui derajat remuknya fraktur kominutif dan mengetahui letak persis patahannya. Pada gambaran radiologis dapat diklasifikasikan stabil dan instabil. Stabil bila hanya terjadi satu garis patahan, sedangkan instabil bila patahnya kominutif. Pada keadaan tipe tersebut periosteum bagian dorsal dari radius 1/3 distal tetap utuh (Apley, A. Graham, 1995). Tulang Humerus Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus, dan ujung bawah. 1. Kaput Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapula dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur. 2. Korpus Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis. 3. Ujung Bawah Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar terdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Fraktur Humerus Adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus yang terbagi atas 1. Fraktur Suprakondilar Humerus 2. Fraktur Interkondiler Humerus 3. Fraktur Batang Humerus 4. Fraktur Kolum Humerus Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur 1. Tipe Ekstensi Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi. 2. Tipe Fleksi Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi. 3. Platting Adalah salah satu bentuk dari fiksasi internal menggunakan plat yang terletidak sepanjang tulang dan berfungsi sebagai jembatan yang difiksasi dengan sekrup. Keuntungan 1. Tercapainya kestabilan dan perbaikan tulang seanatomis mungkin yang sangat penting bila ada cedera vaskuler, saraf, dan lain-lain. 2. Aliran darah ke tulang yang patah baik sehingga mempengaruhi proses penyembuhan tulang. 3. Klien tidak akan tirah baring lama. 4. Kekakuan dan oedema dapat dihilangkan karena bagian fraktur bisa segera digerakkan. Kerugian 1. Fiksasi interna berarti suatu anestesi, pembedahan, dan jaringan parut. 2. Kemungkinan untuk infeksi jauh lebih besar. 3. Osteoporosis bisa menyebabkan terjadinya fraktur sekunder atau berulang. (Oswari, E, 1993). Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu: 1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya. 3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu. 4. Stadium Empat-Konsolidasi Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal. 5. Stadium Lima-Remodelling Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya (Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993) MATERI Persiapan Alat-alat Operasi Alat yang digunakan meliputi : - Scalpel dan blade - Gunting lurus - Gunting bengkok - Arteri klem - Needle holder - Needle - Pinset anatomis - Pinset chirurgis - Alli’s forceps - Peralatan ortopedis (Pin, gibs, plat,kirschner dan kawat baja) - Dook steril - Dook klem - Tampon - Benang catgut dan cotton secukupnya - Kapas secukupnya Persiapan Obat-obatan dan Kemikalia Obat dan kemikalia yang diperlukan dalam operasi ini antara lain - Atropin sulfat 0,025% dosis 0,02-0,04 mg/kg BB secara sub cutan - Ketamin 10% dosis 10 - 40 mg/kg BB secara intramuskulus - Xilazin dosis 2-3 mg/kg BB - Alkohol 70% - Larutan garam fisiologis dan H2O2 - Larutan iodium tinkture METODE Persiapan Operasi Konsep dasar terapi patah tulang perlu tindakan yang berurutan dan pasti (definitif). Konsep tersebut adalah Rekognisi atau pengenalan dengan melakukan berbagai diagnosa yang benar akan sangat membantu penanganan patah tulang karena perencanaan terapinya dapat dipersiapkan lebih sempurna, redaksi atau reposisi adalah tindakan mengembalikan fragmen-fregmen fraktur semirip mungkin dengan keadaan atau kedudukan semula atau keadaan letak normal, retensi atau fiksasi atau immobilisasi adalah tindakan mempertahankan atau menahan fragmen-fragmen fraktur tersebut selama penyembuhan dan Rehabilitasi adalah tindakan dengan maksud dengan bagian yang menderita patah tersebut dapat kembali normal. Persiapan Hewan Sebelum operasi dilakukan hewan terlebih dahulu diperiksa, yaitu pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Kemudian hewan diberi premedikasi dengan atropin sulfat 0,025% sebanyak 0,02-0,04 mg/ kg BB secara sub kutan. Persiapan Operator dan Cooperator Sebelum operasi operator dan cooperator mencuci tangan dari ujung jari sampai ke siku dengan air sabun dan dibilas dengan air bersih. Tangan dikeringkan dengan handuk bersih kemudian didisinfeksi dengan alcohol 70%, kemudian operator dan cooperator menggunakan sarung tangan dan pakaian khusus. Keadaan aseptis tersebut dipertahankan hingga operasi selesai. Pelaksanaan Operasi 1. Anestesi Umum Pemberian anastesi ketamin dengan dosis 10-40 mg/kgBB, xilazin dengan dosis 2-3 mg/kgBB secara intramuskular.. Sebelumnya diberikan premedikasi dengan antropin sulfat 0,025 % secara sub cutan. Cooperator memantau frekwensi kerja jantung dan nafas. Stadium 3 plane 3 ditandai dengan respirasi abdominal dengan amplitude yang minimal, bola mata terletak di tengah, jaw tension menghilang dan reflek pedal hilang sama sekali yang berarti hewan tersebut telah teranestesi sempurna dan siap untuk dioperasi. 2. Teknik Operasi Hewan yang telah teranestesi sempurna kemudian diletakkan di atas meja operasi dengan posisi lateral recumbency. Daerah fraktur dan sekitarnya dibersihkan dengan yodium tinkture. Metode reposisi terbuka dikenal dengan istilah open reduktion and internal fixation atau reposisi terbuka dan fiksasi internal. Teknik incisi dilakukan dengan cara tertentu yang aman dan cepat untuk mencapai daerah fraktur. Reduksi Terbuka dan Fiksasi Internal: Pilihan terhadap pendekatan yang akan dilakukan akan bervariasi tergantung pada lokasi fraktur dan objek pembedahan. Buat suatu sayatan pada batas humerus craniolateral, pernpanjang dari persimpangan proximal dan sepertiga humerus ke epicondilus lateral, sayat jaringan subcutan sepanjang garis sayatan yang telah disayat, fasia yang dalam dihubungkan dengan musculus yang atas menggunakan alat penjepit superfisisal bagian dada dan musculus brachiocephalic yang akan disayat. Penyatan yang melewati garis pembuluh darah vena cepalika harus dijaga atau mengangkatnya selama operasi berlangsung, lingkaran urat syaraf yang ada ditempat itu dijepit menggunakan alat penjepit musculus dan tarik kecaudal. Dengan menggunakan alat penjepit tarik kecaudal dan superfisial pectoral, musculus brachiocephalica tarik kecranial, mengarahkan ke batang tulang humerus, melewati musculus bracial untuk mengarahkan kebatang tulang agak miring kealur musculospiralis dan didampingi jaringan urat syaraf dan vena cepalika. Ketiga rangkaian ini salah satu penarik cranioproximali adalah untuk mengarahkan lebih kearah tengah batang tulang atau mengarahkan kearah cauododistalis tengah batang tulang proximaly (M, Joseph, Borjrab, 1975). Cara menggunakan alat Kirschner 1. Kedua proximal dan distal memapakai pin bertujuan untuk meletakan alat kirscnher dari lateral ke medial 2. Kedua pin akan didekatkan kesudut 34 derajat masing-masingnya untuk memaksimalkan penguatannya (fixation). Pin-pin akan ditempatkan pada dudukan diantara patah tulang humerus dan akhir pada tulang atau bagian terjauh. 3. Pin tidak akan dimasukakan tanpa penyatan terlebih dahulu, setelah langkah penyayatan lateral ke luka bedah 4. Untuk penguatan 1/2 alat kirschner, penjepit skirschner diletakan pada masing-masing pin dan kedua penjepit dihubungkan dengan penghubung plat (bar). 5. Untuk mmemaksimalkan kekuatan kirschner, kedua penjepit kirschner diletakkan diatas penghubung antara proximal dan penjepit distal. 6. Kedua pin dengan ukuran yang sama, dipakai untuk proximal dan distal, keduanya diletakkan setelah penjepit kirschner diatas bar kedalam tulang dari lateral kearah medial. Kedua pin ini ditempatkan pada jarak sudut 34 derajat ke pin yang lain pada sisi dudukkan patah yang sama. 7. Akhir semua pada keempat penjepit bertujuan untuk menguatkan (M, Joseph, Borjrab, 1975). KESIMPULAN Fraktur atau patah tulang adalah retaknya tulang atau terputusnya kontunuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan, biasanya disertai cidera di jaringan sekitarnya. Manifestasi klinis pada fraktur radius ulna seperti nyeri terus menerus, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna. Tanda dan gejala kemudian setelah bagian yang retak di imobilisasi, perawat perlu menilai rasa sakit, paloor (kepucatan/ perubahan warna), paralisis (kelumpuhan/ketidak mampuan untuk bergerak), parasthesia (kesemutan), dan pulselessnes (tidak ada denyut) Rotgen sinar X Pemeriksaan CBC jika terdapat perdarahan untuk menilai banyaknya darah yang hilang. DAFTRA PUSTAKA . Apley, A. Graham.(1995). Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta. Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s.(1995.) Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company. Dudley, Hugh AF,(1996) Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM Ibrahim, R. (2000). Pengantar Ilmu Bedah Umum Veterinary. Syiah Kuala University Press. Banda Aceh. Ignatavicius, Donna D,(1995) Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company. Keliat, Budi Anna,(1994). Proses Perawatan, EGC, Jakarta. M. Joseph, Bojrab. (1975). Current Techniques in Small Animal Surgery part I, LEA, & Febriger, Philadelphia. Mansjoer, Arif, et al,(2000). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta. Oswari, E,(1993) Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Snell dan Richards, (1997). Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian I. Edisi 3. EGC. Jakarta

Kamis, 12 Januari 2017

DASAR EPIDEMIOLOGI & APLIKASINYA DALAM KESEHATAN MANUSIA


Epidemiologi menerangkan bagaimana frekuensi & distribusi penyakit serta bagaimana berbagai factor dapat menjadi factor penyebab penyakit. Untuk mengungkap dan menjawab masalah tersebut, epidemiologi melakukan berbagai cara yang selanjutnya menyebabkan epidemiologi dapat dibagi dalam beberapa jenis. Pada umumnya, epidemiologi dapat dibagi atas beberapa macam, diantaranya adalah : epidemiologi deskriptif, epidemiologi analitis, epidemiologi eksperimental (epidemiologi klinis, epidemiologi penyakit menular, epidemiologi penyakit tidak menular, epidemiologi lingkungan, epidemiologi kerja, epidemiologi pelayanan kesehatan, epidemiologi kebijakan kesehatan. Pembagian Study Epidemiologi dalam beberapa jenis tersebut didasarkan pada tujuan atau maksud dilaksanakannya study epidemiologi. Berdasarkan batasan atau pengertian tentang Epidemiologi, maka dapat digambarkan secara skematis pembagian tentang Study epidemiologi sebagai berikut : Epidemiologi Deskriptis berkaitan dengan definisi epidemiologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang distribusi dan frekuensi masalah kesehatan atau penyakit pada masyarakat. Epidemiologi deskriptis merupakan langkah awal untuk mengetahui adanya masalah kesehatan dalam masyarakat dengan menjelaskan factor Manusia (Who), Waktu (When) dan Tempat (Where). Karakteristik manusia Dalam epidemiologi ciri – ciri manusia yang mempengaruhi penyebaran masalah kesehatan ini dapat dibedakan atas beberapa macam karakteristik yang diantaranya adalah : • Umur - Jenis Kelamin - Golongan Ethnik - Status Gizi - Kehamilan - Paritas, • Status Sosial Ekonomi Keluarga - Status Perkawinan - Pekerjaan - Pendidikan • Besarnya Keluarga - Struktur Keluarga, dll Umur adalah variable yang sangat penting dan selalu diperhatikan dalam penyelidikan – penyelidikan epidemiologi karena : a) . Ada kaitannya dengan Daya Tahan Tubuh. Pada umumnya daya tahan tubuh orang dewasa jauh lebih kuat daripada daya tahan bayi atau anak – anak. b) . Ada kaitannya dengan ancaman terhadap kesehatan Orang dewasa yang karena pekerjaannya ada kemungkinan menghadapi ancaman penyakit lebih besar daripada anak – anak. c) . Ada kaitannya dengan kebiasaan hidup Dibandingkan dengan anak – anak, maka orang dewasa lebih besar kemungkinan terpapar dengan berbagai sumber masalah kesehatan atau penyakit. Perbedaan pengalaman terhadap penyakit menurut umur sangat mempunyai pengaruh / kemaknaan yang berhubungan dengan : 1) Perbedaan tingkat keterpaparan dan kerentanan menurut umur ; 2) Perbedaan dalam proses Pathogenesis ; 3) Perbedaan dalam hal pengalaman terhadap penyakit tertentu. Karakteristik tempat Penyebaran masalah kesehatan menurut tempat terjadinya masalah kesehatan tersebut amat penting, karena dari keterangan yang diperoleh akan dapat diketahui : 1. Jumlah dan Jenis Masalah Kesehatan yang Ditemukan Suatu Daerah. Dengan diketahuinya Penyebaran penyakit disuatu daerah, maka apat diketahui dengan tepat masalah –masalah kesehatan yang ada di daerah tersebut. Dengan demikian dapat diidentifkasikan kebutuhan kesehatan masyarakat setempat. 2. Hal – Hal Yang Perlu Dilakukan Untuk Mengatasi Masalah Kesehatan Di Suatu Daerah. Apabila telah diketahui Jumlah dan Jenis masalah kesehatan, dapat disusun program kesehatan yang tepat untuk daerah tersebut. Hasil akhir yan diharapkan adalah masalah kesehatan dapat diatasi dengan lebih Efektif dan pemakaian sumber daya yang ada tidak akan sia – sia sehingga lebih Efisien. 3. Keterangan Tentang Faktor Penyebab Timbulnya Masalah Kesehatan Di Suatu Daerah. Keterangan tentang penyebab masalah kesehatan ini dapat diperoleh dengan membandingkan hal – hal khusus yang ada dan yang tidak ada pada suatu daerah. Perbedan tentang hal – hal khusus tersebut, mungkin merupakan Penyebab timbulnya masalah kesehatan yang dimaksud. Keadaan – keadaan khusus yang merupakan karakteristik Tempat yang berhubungan dengan masalah kesehatan, antara lain dapat berupa : a) . Keadaan Geografis Berupa : letak wilayah, struktur tanah, curah hujan, sinar matahari, angin, kelembaban udara, suhu udara, daerah pegunungan, pantai, daratan. (Lingkungan Fisis, Kemis dan Biologis b) . Keadaan Demografis Perbedaan keadaan penduduk (Demografi) sangat menentukan perbedaan penyebab penyakit menurut tempat. Keadan Demografis yang dimasud dapat berupa : Jumlah dan Kepadatan Penduduk, Konstitusi genetis an etnis, variasi kultural, dsb. c) . Keadaan Pelayanan Kesehatan Dalam hal ini, menyangkut Jumlah dan Cakupan Pelayanan Kesehatan, Mutu Layanan Kesehatan yang dselenggarakan serta Program Higiene dan Sanitasi. Karakteristik waktu Jenis penyebaran masalah kesehatan yang ketiga yang perlu dipelajari dalam study epidemiologi adalah Penyebaran Menurut Karakteristik Waktu. Manfaat mempelajari penyebaran masalah kesehatan menurut Waktu adalah untuk mengetahui : 1. Kecepatan Perjalanan Penyakit Apabila suatu penyakit dalam waktu yang singkat menyebar dengan pesat, hal ini berarti perjalanan penyakit tersebut berlangsung dengan cepat. 2. Lama Terjangkitnya Suatu Penyakit. Lama terjangkitnya suatu penyakit dapat diketahui dari penyebaran penyakit menurut waktu, yaitu dengan memanfaatkan keterangan tentang waktu terjangkitnya penyakit dan keterangan tentang hilangnya penyakit tersebut. Faktor – faktor yang mempengaruhi penyebaran masalah kesehatan menurut waktu antara lain : 1. SIFAT PENYAKIT YANG DITEMUKAN, Hal yang berperan di sini adalah sifat bibit penyakit yang ditemukan, yang dibedakan atas a) . Potogenesiti / Patogenitas Kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada penjamu sehingga timbul penyakit (Disease Stimulus) b) . Virulensi Ukuran keganasan penyakit atau derjat kerusakan yang ditimbulkan oleh bibit penyakit. d) . Antigenesiti / Antigenitas Kemampuan bibit penyakit untuk merangsang timbulnya mekanisme pertahanan tubuh (pembentukan Antigen) pada diri penjamu. e) . Infektiviti / Infektifitas Kemampuan bibit penyakit mengadakan invasi dan menyesuaikan diri, bertempat tinggal dan berkembang biak dalam diri penderita. 2. KEADAAN TEMPAT TERJANGKITNYA PENYAKIT, Untuk penyakit infeksi, keadaan yang paling penting adalah menyangkut ada tidaknya reservoir bibit penyakit. 3. KEADAAN PENDUDUK, Sama halnya dengan penyebaran menurut tempat, maka penyebaran masalah kesehatan menurut waktu ini juga dipengaruhi oleh keadaan penduduk, baik yang menyangkut ciri – ciri manusianya ataupun yang menyangkut jumlah dan penyebaran penduduk. 4. KEADAAN PELAYANAN KESEHATAN YANG TERSEDIA. Jika keadaan pelayanan kesehatan baik, maka penyebaran suatu masalah kesehatan dapat dicegah, sehingga waktu terjangkitnya penyakit dapat diperpendek. Sumber Kepustakaan : 1. Azrul Aswar (1999). Pengantar Epidemiologi, Jakarta, Binarupa Akasara. 2. Bhisma Murti (2003). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. 5. Bustan MN (2002). Pengantar Epidemiologi, Jakarta, Rineka Cipta. 6. Eko Budiarto (2003). Pengantar Epidemiologi, Jakarta, EGC.

Rabu, 11 Januari 2017

ASPERGILLOSIS


PENDAHULUAN Jamur merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler. Hidup secara heterotrof dengan jalan saprofit (menguraikan sampah organik), parasit (merugikan organisme lain), dan simbiosis. Habitat jamur secara umum terdapat di darat dan tempat yang lembab. Jamur uniseluler dapat berkembangbiak dengan dua cara yaitu vegetatif dapat dilakukan dengan cara membentuk spora, membelah diri, kuncup (budding) dan secara generatif dengan membentuk spora askus sedangkan untuk jamur multiseluler reproduksi vegetatif dengan cara fragmentasi, konidium, zoospora. Secara generatif dapat dilakukan dengan cara konjugasi, hifa yang akan menghasilkan zigospora, spora askus, spora basidium (Anonimus, 2008a). Iklim tropis mengakibatkan komoditas pangan di Indonesia rentan terhadap kontaminasi kapang dan toksin metabolit seperti aflatoksin dari Aspergillus sp. Aflatoksin dapat mencemari kacang tanah, jagung, dan hasil olahannya serta pakan ternak. Hewan ternak yang mengonsumsi pakan tercemar aflatoksin akan meninggalkan residu aflatoksin dan metabolitnya pada produk ternak seperti daging, telur, dan susu. Hal tersebut menjadi salah satu sumber paparan aflatoksin pada manusia, aflatoksin dapat mengakibatkan penyakit dalam jangka pendek (akut) dan jangka panjang (kronis) (Anonimus, 2004). Makanan merupakan salah satu media terbaik bagi suatu mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak sehingga makanan seringkali menjadi rusak karena terkontaminasi oleh mikroorganisme. Mikroorganisme mampu memecah komponen yang ada di dalam makanan menjadi senyawa yang lebih sederhana, makanan yang dirusak oleh mikroorganisme itu akan mengalami perubahan, penguraian, nilai gizi serta nilai organoleptik. Untuk mengatasi atau mencegah makanan yang sudah terkontaminasi banyak upaya yang dilakukan seperti pengawetan. Pengawetan makanan dapat dilakukan dengan mengatur suhu, pH, dan waktu sterilisasi yang melebihi ambang batas hidup mikroorganisme. Aspergillus flavus merupakan jenis mikroorganisme pembusuk yang bersifat lipolitik. Jamur ini dapat menyebabkan kerusakan pada makanan dan bahkan pada roti-rotian, sayur-sayuran, buah-buahan dan makanan lainnya (Anonimus, 2009a). Gangguan kesehatan yang diakibatkan spora kapang terutama akan menyerang saluran pernapasan. Asma, alergi rinitis, dan sinusitis merupakan gangguan kesehatan yang paling umum dijumpai sebagai hasil kerja sistem imun tubuh yang menyerang spora yang terhirup (Curtis et al. 2004). Penyakit lain adalah infeksi kapang pada saluran pernapasan atau disebut mikosis. Salah satu penyakit mikosis yang umum adalah Aspergillosis yaitu tumbuhnya kapang dari genus Aspergillus pada saluran pernapasan (Dahlan, 1998). Selain genus Aspergillus, beberapa spesies dari genus Curvularia dan Penicillium juga dapat menginfeksi saluran pernapasan dan menunjukkan gejala mirip seperti Aspergillosis (Mazur et al. 2006). Carlile & Watkinson (1994) menyatakan bahwa jumlah spesies fungi yang telah teridentifikasi hingga tahun 1994 mencapai 70.000 spesies. Dari jumlah tersebut sekitar 10.000 spesies merupakan kapang. Menurut Kuhn & Ghannoum (2003), sebagian besar spesies fungi terdapat di daerah tropis disebabkan karena kondisi iklim daerah torpis yang hangat dan lembab yang mendukung pertumbuhannya. Aspergillus Aspergillus adalah fungi saprofit berkonidia dan melepaskan banyak spora dalam proses reproduksinya. Beberapa spesies membentuk vesikula pada ujung konidiosporanya, fungi ini menghasilkan miksotoksin yang menyebabkan kerusakan pada biji dan benih tanaman biji-bijian. Aspergillus dijumpai pada berbagai habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda serta banyak dijumpai dalam tanah, udara, dan lingkungan perairan. Aspergillus tahan pada kondisi kelembaban rendah dan temperatur ekstrim. Oleh karena itu fungi ini berperan sebagai fungi gudang yang melapukkan berbagai produk pertanian dan makanan kering. Terdapat berbagai macam aplikasi spesies Aspergillus untuk memproduksi antibiotika dan mekanis genetik yang bermanfaat. Aspergillus juga banyak digunakan dalam fermentasi makanan untuk tujuan komersial sebagai contoh Aspergillus niger digunakan untuk membuat asam sitrat yang banyak digunakan dalam pengawetan minuman ringan dan makanan kaleng. Namun beberapa spesies dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman pertanian contohnya Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang menghasilkan alfatoksin menyebabkan busuk pada selaput tongkol jagung (Anonimus, 2009b). Di antara jutaan jamur di muka bumi ini, jenis Aspergillus sp paling sering menimbulkan infeksi pada paru-paru. Jamur ini merupakan jamur rumahan yang sporanya sangat banyak bertebaran di udara dan di dalam rongga pernapasan manusia yang sehat. Pada saat kekebalan tubuh rendah pertumbuhan jamur akan cepat dan Aspergillus mampu menginvasi arteri dan vena sehingga lokasinya bisa menyebar hingga ke seluruh tubuh. Spesies Aspergillus merupakan jamur yang umum ditemukan di materi organik meskipun terdapat lebih dari 100 spesies, jenis yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia ialah Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus dan Aspergillus clavatus yang semuanya menular dengan transmisi inhalasi. Umumnya Aspergillus akan menginfeksi paru-paru. Aspergillus dapat menyebabkan banyak penyakit pada manusia dan hewan, disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas atau invasi langsung (Anonimus, 2008b) Aspergillus flavus merupakan salah satu jamur yang dapat menghasilkan mikotoksin yaitu aflatoksin. Mikotoksin adalah senyawa toksin yang dihasilkan oleh jamur selama proses perusakan bahan makanan dan memiliki toksisitas tinggi serta bersifat karsinogenik. Aflatoksin terutama aflatoksin B1 (AFB1) diketahui beracun terhadap sejumlah besar organisme termasuk hewan laboratorium dan hewan peliharaan. AFB1 merupakan metabolit dari Aspergillus flavus yang mempunyai kemampuan memproduksi ROS (Reactive Oxygen Species) yang dapat menyebabkan terjadinya oksidasi lipid dan kerusakan oksidatif (Anonimus, 2001). Aspergillus dapat menyebabkan spektrum penyakit pada manusia, akibat dari reaksi hipersensitivitas karena angioinvasi langsung. Umumnya Aspergillus akan menginfeksi paru-paru yang menyebabkan empat sindrom penyakit yakni Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA), Chronic Necrotizing Pneumonia Aspergillosis (CNPA), Aspergiloma, dan Aspergilosis invasif. Pada pasien yang imunokompromais aspergillosis juga dapat menyebar ke berbagai organ menyebabkan endoftalmitis, endokarditis, dan abses miokardium (Anonimus, 2008c). Aspergillosis Pada Unggas Dan Mamalia Aspergillosis adalah penyakit jamur pada unggas, burung-burung liar termasuk penguin dan mamalia yang sudah lama dikenal di beberapa negara. Jenis Aspergillus yang dianggap pathogen untuk hewan adalah Aspergillus fumigatus, Aspergillus niger, Aspergillus glaukus, Aspergillus flavus dan Aspergillus candidus. Patogenesis dari Aspergillus sp., dipengaruhi oleh beberapa factor : • jumlah toksin dan jenis toksin yang dihasilkan • organ yang terserang • daya tahan tubuh hewan • infeksi sekunder. Toksin yang dihasilkan suatu spesies jamur seperti Aspergillus sp dikenal dengan istilah mycotoksin. Biasanya jamur-jamur tersebut tumbuh pada hasil-hasil pertanian yang tidak mendapat penanganan yang baik pada pasca panen. Untuk wilayah Indonesia komoditi Jagung, gaplek serta dedak merupakan media yang baik untuk pertumbuhan jamur-jamur tersebut dan semuanya merupakan bahan yang dipakai dalam pakan campuran konsentrat (Anonimus, 2008d). Mycotoxin yang dihasilkan oleh species Aspergillus yaitu CPA, Aflatoxin B1, B2, G1, G2 , dan Ochratoxin A (Anwar, 1991). Saat ini beberapa mycotoxin yang sudah teridentifikasi di Indonesia yaitu AFB1, ZEN, DON dan CPA (Anonimus, 2008d) dan dipertegas oleh Anwar (2001) bahwa hampir 81% sample dari feedmill yang ada terkontaminasi oleh CPA. Keberadaan CPA merupakan ancaman bagi saluran pencernaan unggas. Patogenesis Dan Patogenesitas Pada Unggas Di Indonesia kejadian-kejadian penyakit aspergillosis sering terlihat pada ayam, itik dan angsa yang bersifat menahun. Aspergillosis pada unggas merupakan penyakit pernafasan yang bersifat berat dan juga dapat menimbulkan lesi pada organ lain seperti hati, otak dan mata. Penyakit ini disebut juga brooder pneumonia, micotik pneumonia dan fungal pneumonia. Penyakit ini dapat bersifat akut dan kronis. Sifat akut biasa terjadi pada ayam yang masih muda dan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi sedangkan yang bersifat kronis biasa ditemukan pada ayam dewasa tetapi morbiditas dan mortalitasnya rendah. Aspergillus sp dapat masuk kedalam tubuh unggas dan menyebabkan aspergillosis melalui : • Inhalasi spora • Pakan yang terkontaminasi • Telur yang mengandung spora Penyakit ini dapat ditemukan dalam beberapa bentuk yakni : • Bentuk pulmonun, ditemukan pada burung puyuh, kalkun, ayam dan berbagai jenis burung liar atau peliharaan tertama penguin • Bentuk sistemik, ditemukan pada kalkun dan ayam • Bentuk kulit jarang muncul dan dapat ditemukan pada ayam dan burung merpati yang ditandai dengan adanya dermatitis granulomatosa. • Bentuk tulang (osteomikosis), ditemukan pada ayam yang ditandai adanya infeksi Aspergillus sp pada tulang punggung dan dapat mengakibatkan terjadinya paralisis, merupakan perluasan infeksi dari pulmo yang menyebar melalui sirkulasi darah. • Bentuk mata, ditemukan pada ayam dan kalkun yang bersifat unilateral dan lesi pada konjungtiva dan permukaan luar mata yaitu adanya pembentukan eksudat kaseus (plaque) dibawah membrane nictitans, keratitis radang (kornea) dan infeksi pada bagian superficial mata. • Bentuk encephalitik, ditemukan pada ayam, kalkun dan itik. Adanya lesi oleh hyphae dari Aspergillus sp, gangguan syaraf pusat atau lesi pada otak. Spora yang masuk kedalam tubuh unggas terbawa aliran darah sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai organ. Setiap mycotoxin mempunyai efek negatif pada target organ yang berbeda-beda misalnya Aflatoxin menyebabkan kerusakan pada hati sedangkan Ochratoxin A menyebabkan kerusakan pada ginjal ternak. Secara umum serangan mycotoxin pada ternak unggas mengakibatkan : • Terjadi immunosuppresion (dikarenakan ada kelainan tymus dan bursa fabricus sebagai pabrik antibody) • Penurunan Feed Intake • Produksi telur akan terganggu serta turunnya hatchability • Pertumbuhan bobot badan (PBB) yang rendah • FCR tinggi • Penurunan pigmentasi kulit • Terjadi kelainan organ dalam seperti gizzard, hati dan ginjal. • Peningkatan mortality Diantara beberapa akibat diatas, ada satu yang benar-benar harus dicermati yaitu terjadinya imunosuppression. Apabila ini telah terjadi maka dapat diprediksikan bahwa di farm tersebut akan terjadi invasi dari virus/bakteri pathogenic. Dengan terjadinya penurunan daya tahan tubuh (immune) maka ternak tersebut akan lebih mudah terinfeksi virus/bakteri yang gejalanya lebih jelas dari pada faktor primernya (mycotoxin). Masing-masing ternak mempunyai daya tahan yang berbeda-beda terhadap kontaminasi mycotoxin dalam pakan. Apabila kandungan mycotoxin didalam pakan masih dalam batas ambang aman, maka ternak tersebut masih bisa bertahan, tidak mengalami kematian hanya terganggu proses-proses metabolismenya dan apabila kandungan mycotoxin telah melebihi batas ambang aman maka ternak tersebut mulai menampakkan gejala-gejala mycotoxicosis. Ayam broiler mampu mentoleransi aflatoxin sebesar 0.010 ppm (10 ppb) sedangkan ayam layer mampu sampai dengan 0.02 ppm (20 ppb). Untuk semua unggas muda masih bisa bertahan terhadap kontaminasi Aflatoxin sampai dengan 0.05 ppm (50 ppb), untuk unggas dewasa sampai dengan 0.10 ppm (100 ppb) (Kasmiati dkk, 2008). Kejadian Penyakit Aspergilosis dapat menyerang berbagai spesies unggas di dunia. Penyakit ini dapat bersifat akut dan kronis. Benrtuk akut biasa terjadi pada ayam yang masih muda dan bentuk kronis biasa ditemukan pada ayam dewasa. Faktor-faktor pendukung timbulnya asperegilosis adalah keadaan kandang dengan ventialsi yang kurang memadahi, kandang berdebu, kandang dengan kelembaban tinggi dan temperature relative tinggi (>25OC), kadar ammonia tinggi, liter basah dan lembab, pakan lembab dan berjamur, penyakit imunosupresif, pencemaran pada inkubator dan temperatur pemanas yang rendah pada saat pemeliharaan DOC. Penyakit ini dapat ditemukan dalam beberapa bentuk yaitu bentuk pulmonum, sistemik, kulit, mata dan otak. Berbagai bentuk aspergilosis dapat ditemukan secara tunggal ataupun bentuk campuran. Penyakit infeksius akut/ kronis pada unggas yang disebabkan oleh jamur, yang ditandai gangguan pernafasan dan nodule/ plaque pada paru-paru dan airsac. Pada ayam, Aspergillosis disebabkan oleh dua jenis jamur: Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus. Kedua jenis jamur ini sering ditemukan di lingkungan, biasanya terdapat pada sisa-sisa tumbuhan yang dipotong dan membusuk, di tanah dan biji-bijian. Spora dari bahan tersebut diterbangkan bersama angin dan debu dan masuk ke kandang dan terhirup oleh ayam, penyakit ini ditularkan melalui inhalasi spora ke dalam pernafasan ayam dan faktor stress meningkatkan kepekaan terhadap kasus aspergillosis (Anonimus, 2009). Cara Penularan Rute penularan paling utama melalui pernafasan yaitu dengan menghirup spora dalam jumlah banyak. Selain itu penyakit aspergillosis dapat ditularkan melalui telur karena organisme ini dapat tumbuh di bagian dalam dalam dari telur yang dapat menurunnya daya tetas dan peningkatan kematian embrio. Sehingga dimungkinkan anak ayam yang menetas dan masih hidup akan mempunyai resiko tinggi terinfeksi aspergillosis dan pencemaran Aspergillus sp. dapat ditemukan didalam setter, hatcher, ruang incubator dan internal duct. Gejala Klinis Masa inkubasi Aspergillosis sekitar 4-10 hari dan proses penyakit dapat berlangsung dua sampai beberapa minggu. Ada 2 bentuk pada penyakit ini: Bentuk Akut Gejala yang terlihat meliputi kesulitan bernafas (dyspnoea), bernafas melalui mulut, peningkatan frekuensi pernafasan, kehilangan nafsu makan dan kadang dapat terjadsi paralysis (kelumpuhan), kejang-kejang yang disebabkan oleh toksin Aspergillus sp. Jika gangghuan pernafasan hanya di sebabkan oleh Aspergillosis maka tidak akan terdengar suara ngorok hanya terlihat kesulitan bernafas saja dan bersifat kering. Ayam yang terinfeksi berat biasanya akan mati dalam waktu 2-4 minggu. Mortalitas sekitar 5%-20% tapi juga kadang-kadang dapat mencapai 50%. Bentuk Kronis Gejala yang terlihat pada bentuk kronis meliputi kehilangan nafsu makan, lesu, bernafas melalui mulut, emasiasi, sianosis (kebiruan pada kulit di daerah kepala dan jengger) dan dapat berlanjut dengan kematian. Lamanya proses penyakit tergantung pada umur dan daya tahan dari ayam. Proses penyakit dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan. Mortalitas biasanya kurang dari 5%. Pertumbuha ayam tidak seragam oleh karena adanya hambatan pertumbuhan pada ayam akibat infeksi oleh Aspergillus sp. Perubahan Patologik Makroskopik Lesi awal akan terlihat meliputi noduli kaseus kecil berwarna kekuningan dengan diameter 1 mm yang tersebar secara acak pada jaringan paru. Lesi pada paru biasanya disertai adanya plaque yang berisi eksudart kaseus berwarna kuning yang mengumpul pada daerah koloni jamur pada kantung udara dengan ukuran 1-2 mm sehingga akan terlihat adanya penebalan pada kantung udara. Pada kasus yang melanjut organisme tersebut kerapkali mengalami sporulasi pada permukaan lesi kaseus dan permukaan kantung udara yang menebal yang ditandai adanya pertumbuhan jamur berwarna kelabu kehijauan. Lesi pada paru dapat juga berbentuk perubahan warna kuning kelabu yang difus tanpa adanya bentukan noduli. Mikroskopis Lesi pada paru pada stadium awal aspergillosis bersifat adanya timbunan limfosit, sejumlah makrofag dan beberapa gian cell yang bersifat fokal. Pada stadium selanjutnya maka akan berkembang menjadi nekrosis granuloma yang terdiri atas daerah nekrosis sentral yang mengandung heterofil dan dikelilingi makrofag, giant cell, limfosit dan sejumlah jaringan ikat. Diketemukannya agen penyebab Aspergillus sp. berupa hiphae yang mrenembus jaringan parenkim maupun intertisium terutama pada daerah jaringan nekrosis. Diagnosis Diagnosa dugaan sementara dapat didasarkan atas riwayat kasus, lesi yang spesifik pada ayam yang terinfeksi dan membuktikan adanya hiphae dalam pemeriksaan mikroskopis secara langsung pada jaringan yang dicurugai. Diagnosis akhir didasarkan atas isolasi dan identifikasi jamur di laboratorium mikrobiologi. Aspergillus adalah suatu cendawan yang reproduksinya secara aseksual dengan memproduksi spora yang disebut conidia. Lingkaran hitam di pusat penjuluran adalah suatu massa conidia, bentukan warna biru adalah hyphae yang secara normal tumbuh pada media. Pada perbesaran yang lebih tinggi menunjukkan suatu gambaran yang lebih terperinci dan jelas pada conidia. Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit. Koloni yang sudah menghasilkan spora berwarna cokelat kehijauan hingga ke hitaman, miselium yang semula berwarna putih tidak tampak lagi. Prinsip Diagnosa secara Mikrobiologi Diagnopsa Aspergillosis berdasarkan pada koloni cendawan yang tumbuh pada media padat. Pemeriksaan terhadap koloni cendawan dilakukan secara makroskopis untuk melihat bentuk dan warnanya sedangakan secara mikroskopis untuk mengetahui sifat morfologiknya. Media dan Pereaksi -Sabouraud glucose agar atau Sabouraud dektrose agar — sebagai media pertumbuhan. -Lactophenol cotton blue atau KOH 10% – sebagai deteksi elemen jamur. Prosedur Perlakuan Spesimen Spesimen diambil secara aseptik mungkin dan sesegera dikirim ke laboratorium untuk diperiksa. Terhadap specimen asal dari organ sebaiknya dalam keadaan dingin, untuk specimen lain seperti kerokan kulit disimpan dalam keadaan kering. Pemeriksaan secara Langsung *Spesimen dalam jumlah sesedikit mungkin letakkan dalam kaca preparat lalu beri 1-2 tetes KOH 10% atau Lactophenol cotton blue. *Tutup dengan cover glass dan hindari adanya gelembung *Dilihat dengan mikroskop Secara Cultur >Inokolasikan media agar dalam petridish dengan potongan kecil specimen yang diduga mengandung aspergillus pada bagian tengahnya. >Jaga kelembaban dengan mensegel cawan Petri dengan selotip. >Inkubasikan pada suhu 37o C selama lebih kurang 7 hari dengan dialasi dengan kertas saring yang dibasahi air. >Diamati pertumbuhan setiap hari Aspergillus flavus Aspergillus flavus Aspergillus niger Aspergillus flavus Aspergillus sp. Pengobatan: Belum ada obat yang benar-benar efektif untuk kasus aspergillosis pada unggas. Pencegahan: Sanitasi hatchery yang ketat, pakan di gudang harus disimpan dengan baik supaya tak ditumbuhi jamur, litter harus cukup tebal dan diganti rutin atau dilakukan pembalikan rutin supaya tak terlalu lembab, perbaiki ventilasi untuk menghindari udara terlalu lembab dan mengurangi singgahnya spora di dalam kandang. Ada empat macam jamur yang dapat mengganggu ayam dan hewan ternak lainnya. Jamur-jamur tersebut adalah : 1. jamur yang menulari bahan makanan di ladang sebelum dipanen, 2. jamur yang menulari bahan makanan selama disimpan setelah di panen, 3. jamur yang menulari campuran bahan makanan dalam bak-bak makanan dan 4. jamur yang menulari saluran pencernaan atau saluran pernafasan ayam. Jamur dari tiga golongan pertama memberikan pengaruh merugikan melalui produksi toksin (mikotoksin) dan dengan cara menghancurkan sebagian nilai gizi bahan makanan yang diserangnya; jamur golongan keempat dapat meyebabkan penyakit-penyakit pathologis yang nyata (mikoses). Di antara jenis-jenis jamur yang menulari hasil panen adalah Diplodia, Gibberella, Fusarium, Cladosporium, Nigospora dan Cephalosporium. Di antara jamur yang paling berbahaya yang menyerang hasil panen seperti kacang tanah selama panen, makanan yang disimpan dan bahan makanan yang disimpan adalah Aspergillus flavus, Aspergillus lainnya dan beberapa Penisillia. Aspergillus fumigatus adalah fungus yang paling pathologis dan merupakan jamur yang sering dijumpai dalam Aspergillosis pada ayam. Mikosis saluran pencernaan biasanya dihasilkan oleh Candida albicans (penyakit tersebut sering dinamakan Moniliasis). Penularan jamur ladang timbul pada keadaan musim panen yang keadaan cuacanya kurang baik dengan kelembaban tinggi. Penelitian dengan jagung berjamur memperlihatkan bahwa mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur ladang tersebut tidak menyebabkan mortalitas akan tetapi mengurangi pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum. Reaksi lebih parah pada hewan yang diberi ransum yang bahan-bahan makanannya telah ditulari dengan Aspergillus flavus. Mikotoksin yang dihasilkan oleh spesies tersebut dinamakan aflatoksin. Aflatoksin pertama kali dikenal pada waktu timbul penyakit di Inggris pada tahun 1960. Aflatoksin tersebut diketahui sebagai toksin pada bungkil kacang tanah yang digunakan sebagai sumber protein pada ransum unggas. Pada tahun 1963 zat tersebut dibuktikan secara khemis dan telah diketahui bahwa ada empat macam aflatoksin yang disebut B-1, B-2, G-1 dan G-2. Aflatoksin mencampuri pengangkutan lemak dalam tubuh dan juga mencampuri penggunaan asam amino pada tingkatan sel. Zat tersebut diketahui karsinogenik yang menghasilkan tumor pada keadaan tertentu. Aspergillus flavus dapat tumbuh dan menghasilkan aflatoksin bila terdapat cukup zat-zat makanan, hawa, kelembaban dan suhu cukup. Jamur aspergillus dapat tumbuh pada setiap bahan makanan ternak atau zat-zat makanan bila kandungan air sekitar 13 sampai 14 persen dan kelembaban relatif di atas 50 persen. Suhu optimal adalah sekitar 21oC akan tetapi aflatoksin dapat dihasilkan antara 10o C dan 38oC. Aflatoksin telah diketahui dapat dihasilkan dari jagung, gandum, bungkil kacang kedele, tepung ikan dan bungkil biji kapas. Di setiap pabrik makanan ternak dapat dicurigai adanya aflatoksin bila bahan makanan disimpan di tempat yang kelembabannya relatif tinggi dan suhunya sedang. Gejala Aflatoksikosis Pada unggas yang telah mengkonsumsi ransum mengandung aflatoksin sebanyak satu ppm akan memperlihatkan kenaikan berat hati sebesar 50%. Sebagian besar kenaikan tersebut adalah lemak. Ayam yang menderita aflatoksikosis akan memperlihatkan hati sangat pucat, limpa dan pankreas kedua-duanya agak membesar, jengger, kaki dan sumsum tulang pucat serta dapat terjadi perdarahan dalam jaringan. Pencegahan Pembentukan Aflatoksin Pertumbuhan jamur pada bahan makanan atau makanan yang telah dicampur dapat dicegah dengan: 1. mengeringkan bahan makanan di bawah kandungan air kritis (lebih kurang 12% air) dan 2. penambahan natrium propionat atau kalsium propionat. Zat-zat tersebut dapat ditambahkan ke dalam bahan makanan atau ransum sejumlah satu kilogram per ton. Nistatin telah pula digunakan untuk mencegah dan pengobatan mokosis tembolok dan diare mikotik. Dalam beberapa pengobatan terhadap Aspergillosis telah dianggap sia-sia. Tidak ada pelengkap makanan yang sanggup mencegah Aspergillosis yang timbul bila ayam berhubungan dengan spora-spora jamur. Hal tersebut terjadi pada waktu litter dibiarkan basah dan menjadi berjamur. (Anonimus, 2008) Patogenesis Dan Patogenesitas Pada Hewan Pada kuda, sapi dan babi, Aspergillus sp. terinhalasi dapat menyebabkan aspergillosis yang bersifat pneumomikosis. Aspergillus sp yang berada dan terbawa dalam aliran darah dapat menyerang otak dan selaput-selaputnya. Aspergillus sp. Juga menyebabkan abortus bila menyerang selaput janin (Kasmiati, 2008). Disgenesis reproduksi mencakup kegagalan reproduksi tanpa memandang penyebabnya maupun periode kebuntingan sewaktu terjadi kehilangan konseptus. Kehilangan konseptus yang terjadi sejak pembuahan sel telur sampai diferensiasi embrional (kurang lebih 45 hari) disebut kematian embrional. Kehilangan konseptus yang terjadi selama periode foetal yaitu dari saat diferensiasi sampai kelahiran dibagi atas abortus dan kelahiran prematur. Abortus adalah kematian fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan fetus yang belum sanggup hidup, sedangkan kelahiran, prematur adalah pengeluaran fetus sebelum akhir masa kebuntingan dengan fetus yang sanggup hidup sendiri di luar tubuh induk. Hampir semua abortus mikotik pada sapi disebabkan oleh dua kelompok jamur. Sekitar 60 sampai 80 persen disebabkan oleh Aspergillus spp dan kebanyakan adalah Aspergillus fumigatus. Kejadian abortus mikotik bervariasi dari 0,5 sampai 16 persen dari semua abortus pada sapi. Aspergillus terdapat dimana-mana dan umumnya bersifat saprofit. Jamur memasuki tubuh hewan melalui pernapasan dan makanan, spora jamur kemudian dibawa ke plasenta melalui aliran darah dari laesio lain pada saluran pencernaan. Hasil penularan ini secara gradual menyebabkan plasentitis, hambatan pemberian makanan pada saluran fetus, kematian fetus dan abortus dalam waktu beberapa Minggu atau beberapa bulan kemudian. Kebanyakan abortus terjadi pada bulan kelima sampai ketujuh masa kebuntingan tetapi dapat berlangsung dari bulan keempat sampai waktu partus. Fetus umumnya dikeluarkan dalam keadaan mati tetapi pada beberapa kasus terjadi kelahiran prematur atau fetus lahir pada waktunya dalam keadaan hidup tapi lemah dan mati segera sesudah lahir. Abortus mikotik umumnya ditandai oleh perubahan-perubahan nyata pada selaput fetus tetapi lebih nyata dari pada perubahan-perubahan abortus karena brusellosis dan vibriosis. Chorion tebal, oedematus dan neurotik. Laesio utama terdapat pada plasentoma, karunkel dan kotiledon sangat membesar, membengkak, oedematus dan nekrotik. Kotiledon yang nekrotik memperlihatkan suatu pusat yang kelabu suram dikelilingi oleh daerah hemoragika dan bertaut erat dengan khorion yang nekrotik. Di dalam ruang utero khorion umumnya terdapat cairan kemerah-merahan dengan kepingan-kepingan nanah. Jamur menyebar melalui selaput fetus ke dalam cairan foetal. Foetus dapat tampak normal, pada 30 persen kasus jamur dapat bertumbuh pada kulit dalam bentuk bercak-bercak seperti pada ichtyosis congenital atau ringworm. Cairan serosa berwarna jerami dapat ditemukan pada jaringan foetal atau rongga tubuhnya. Jamur dapat diisolasi dari isi lambung, dari chorion, atau kotiledon plasenta yang terserang. Penyembuhan pada kasus yang parah cukup lambat dan tertunda atau dapat diikuti oleh kemajiran permanen. Diagnosa dikuatkan oleh pemeriksaan mikroskopik terhadap jamur dari plasenta atau foetus, pemeriksaan histopatologik terhadap jaringan plasental atau foetal dan oleh kultur pada media buatan (Admin, 2007). Aspergillosis Pada Manusia Aspergillosis adalah nama yang diberikan untuk berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh jamur dari genus Aspergillus. Bentuk yang paling umum adalah alergi bronchopulmonary aspergillosis, pulmonary aspergilloma dan serbuan aspergillosis. Kebanyakan manusia menghirup spora Aspergillus setiap hari namun aspergillosis umumnya hanya berkembang pada individu yang immunocompromised (imun rendah), kebanyakan jenis jamur Aspergillus yang paling umum menyerang adalah Aspergillus fumigatus (Anonimus, 2009b). Patogenesis Dan Patogenesitas Pada Manusia Pada manusia dikenal tiga bentuk yaitu pneumomikosis, meninggo- enchepalitis dan opthalmitis. Kejadian pada manusia, aspergilosis bronkopulmonum alergika (allergic bron-chopulmonary aspergillosis = ABPA) ialah penyakit kronis saluran pernafasan yang terjadi pada penderita asma atopi akibat kolonisasi jamur Aspergillus spp. Kasus pertama ABPA didiagnosis di Inggris pada tahun 1952 dan kasus pertama di Amerika Serikat ditemukan pada tahun 1968. Di Medan (Indonesia) kasus tersangka ABPA pernah pula dilaporkan pada tahun 1987. ABPA diawali oleh salah satu sebab yaitu terperangkapnya miselia Aspergillus spp dalam plug 4atho penderita asma atau kolonisasi Aspergillus spp pada saluran pemafasan (bronchial tree) penderita asma. Material 4athogene dari Aspergillus spp tersebut merangsang produksi 4athogen IgE, IgG, IgA dan mensensitisasi limfosit. Asma 4athogene pada sebagian ABPA melibatkan degranulasi sel mast dan melepaskan IgE yang mengakibatkan peningkatan resistensi jalan udara. Terjadinya bronkiektasis yang dikaitkan dengan kelainan ini diduga akibat pembentukan kompleks-imun di dalam jalan udara proksimal. Reaksi tanggap-kebal (immune-response) dapat dilihat pada individu-individu yang terpapar antigen. Berdasarkan studi imunofluorensi terhadap 4athog kulit dari penderita tersebut diatas ternyata menunjukkan deposisi IgG, IgM, IgA dan komplemen. Pada beberapa penderita telah dibuktikan pula bahwa penyakit saluran pernafasan tersebut disebabkan oleh hipersensitivitas lambat (delayed hypersensitivity). Jadi 4athogenesis ABPA ini tergantung pada reaksi imunologik tipe I dan III (Kasmiati, 2008). Gejala Adanya bola jamur di paru-paru mungkin tidak menimbulkan gejala dari luar dan dapat ditemukan hanya dengan x-ray dada. Infeksi Aspergillus di paru-paru sering menyebabkan batuk, demam, sakit dada, dan kesulitan bernapas. Jika pengidap batuk maka bentuknya: batuk berdarah berulang dan kadang-kadang parah bahkan fatal dan menimbulkan banyak pendarahan. Aspergillosis mempengaruhi jaringan bagian tubuh, gejala lainnya termasuk badan terasa panas dingin, tubuh bergetar, mengigau saat demam dan beku darah. Juga dapat berkembang menjadi gagal ginjal, gagal hati (menyebabkan sakit kuning), dan kesulitan bernapas sehingga kematian dapat terjadi dengan cepat. Aspergillosis di kanal telinga menyebabkan gatal, aspergillosis pada sinuses menyebabkan kemacetan dan rasa sakit atau kadang-kadang mengeluarkan cairan. Diagnosis X-ray dan perhitungan tomography di dada pada memanisfetasikan udara dengan tanda bulan sabit, terhadap pasien hematologic dengan invasi aspergillosis dapat dilakukan tes galactomannan. Pengobatan Obat-obatan amphotericin B, caspofungin, flucytosine, itraconazole, voriconazole digunakan untuk mengobati infeksi jamur ini. Untuk kasus parah diberikan terapi kombinasi dari voriconazole dan caspofungin disarankan sebagai obat garis depan untuk perawatan (Anonimus, 2009d). DAFTAR KEPUSTAKAAN Admin, (2007). Abortus Karena Jamur Pada Bakteri. http://www.vet- indo.com/ Kasus-Medis/Abortus-karena-Jamur-pada-Sapi.html. Anonimus, (2001). Mikotoksin. http://one.indoskripsi.com/node/8983 Anonimus, (2004). Pengaruh Iklim Terhadap Pertumbuhan Jamur. http://nailfunguscuresnow.com/id/harmful-effects-of-fungi/ Anonimus, (2008a). Jamur.http://prestasiherfen.blogspot.com/2008/11/jamur.html Anonimus, (2008b). Infeksi Jamur pada Paru-Paru. http://mikrobia.wordpress. /page/2/ Anonimus, (2008c). Aspergillus. http://blogkita.info/my-kampuz/my-kuliah/ info-penyakit/aspergilosis/ Anonimus, (2008d). Aspergillus. www. Litbang Pertanian. Departemen Pertanian RI. Jakarta Anonimus, (2008e). Anti Jamur dan Terjadinya Aflatoksin. http://chickaholic. wordpress.com/2008/04/25/anti-jamur-dan-terjadinya-aflatoksin/ Anonimus, (2009a). Makanan dan Mikroorganisme. http://lemlit.unila.ac.id file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/58.pdf Anonimus, (2009b). Fungi. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com/2009/05/ teknologi-pupuk-hayati-fungi-pelarut_7292.html Anonimus, (2009c). Aspergillosis Pada Ayam. http://doktereri.blogspot.com/2009 06/aspergillosis-pada-ayam.html Anonimus, (2009d). Aspergillosis Pada Manusia. http://pisangkipas.wordpress. com/2009/06/09/aspergillosis/ Curtis, L., A. Lieberman, M. Stark, W. Rea & M. Vetter, (2004). Adverse healt effect of indoor molds. Journal of Nutritional & Environment, 14(3): 261 – 274. Carlile, M.J. & S.C. Watkinson, (1994). The fungi. Academic Press Ltd., London: xiii+482hlm. Dahlan, Z, (1998). Masalah asma di Indonesia dan penanggulangannya. Cermin DuniaKedokteran,121. Mazur, L.J., J. Kim & the Commitee on Environmental Health, (2006). Spectrum of noninfectious healt effects from molds. Pediatrics, 118: 1909 – 192 Karmiati, S., K. Rihimbani, R. C.Rumlus, P.Manggala & Isak Moesido, (2008). Aspergillosis: Patogenesis dan Patogenesitas. http://adasidna.blogspot. com/2008/03/aspergillosis-patogenesis-dan_13.html

SALMONELLA dan FOODBORNE DISEASE


PENDAHULUAN Penyakit pada manusia yang disebabkan oleh bakteri yang berasal dari makanan disebut foodborne disease (Adawyah, 2007). Foodborne disease merupakan penyakit yang diakibatkan karena mengkonsumsi makanan siap saji yang tercemar mikroba patogen (Riemann dan Bryan, 1979). Lebih dari 90 % kejadian penyakit pada manusia disebabkan mengkonsumsi makanan yang tercemar bakteri patogen, seperti Salmonella sp dan Shigella sp (Winarno, 1997). Sedangkan menurut Yuliarti (2008) tercatat ada 60 persen kasus keracunan di negara maju, akibat dari penanganan makanan yang tidak baik dan kontaminasi bakteri pada makanan di tempat penjualan. Selanjutnya Suriawiria (1986) menyatakan bahwa keracunan makanan akibat bakteri dapat terjadi pada kondisi higiene yang rendah dan biasa menyebabkan diare dan rasa nyeri pada perut, terjadi dalam beberapa jam setelah makanan yang tercemar oleh bakteri Salmonella sp. Salmonella sp Morfologi Salmonella adalah jenis bakteri yang ada didalam sistem pencernaan binatang, unggas, reptil, serangga dan manusia. Salmonella sp berbentuk batang, tidak berspora, Gram negatif, ukuran 1-3,5 µm x 0,5-0,8 µm, ukuran koloni rata-rata 2-4 mm, dapat tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15-41 oC, suhu pertumbuhan optimum 37,5 oC dan Salmonella sp mati pada suhu 56 oC, pH pertumbuhannya 6-8. Di dalam air bakteri ini dapat hidup selama 4 minggu, dalam tanah selama 12 bulan dan di dalam rumput-rumput selama 7 bulan (Jawetz. dkk. 1996). Salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini adalah tipus. Bakteri salmonella biasa berpindah dengan cara cross contamination. Maksudnya, apabila masakan atau alat yang mengandung bakteri salmonella bersentuhan dengan masakan atau alat lain, maka masakan atau alat tersebut akan mengandung bakteri salmonella. Sebenarnya, bakteri ini tidak biasa masuk ke dalam telur. Bakteri ini biasa mengkontaminasi telur apabila cangkang dan membran telur, yang melindungi kuning telur satu-satunya tempat pada telur yang di mana bakteri ini biasa hidup rusak atau pecah. Bakteri dari genus Salmonella sp merupakan bakteri penyebab infeksi. Jika tertelan dan masuk kedalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut Salmonellosis (Supardi dan Sukamto, 1999). Salmonella sp dapat ditemukan di udara, air, tanah, tinja manusia maupun hewan. Sumber bakteri Salmonella sp biasanya terdapat pada unggas (burung, ayam, angsa, bebek, kalkun), daging babi, binatang laut, telur dan susu (Anonimus, 2008a). Fase pertumbuhan bakteri dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu: (1) Fase lag: pada fase ini tidak terjadi pertambahan populasi karena bakteri belum berkembang biak ada bakteri yang mati karena menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Aktivitas metabolisme tinggi, sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi dan bertambah ukurannya, substansi intraselluler bertambah. Pada umumnya fase lag berlangsung selama 2 jam. (2) fase log (fase pembelahan): pada fase ini terjadi pertumbuhan maksimal, dimana jumlah bakteri menjadi 2 kali lipat, pada kebanyakan bakteri fase ini berlangsung 18-24 jam. Keadaan pertumbuhan seimbang (balanced growth) juga terjadi pada fase ini. (3) Fase statis (fase stasioner/fase konstan): pada fase ini terjadi pemupukan jumlah zat beracun, jumlah makanan berkurang, bakteri mulai ada yang mati, sebagian membelah secara lambat sehingga jumlah kuman yang hidup tetap sama. (4) Fase penurunan (fase kematian/death fase), jumlah bakteri hidup berkurang karena sel mati lebih banyak dibanding sel yang terbentuk. Karena keadaan lingkungan sangat buruk pada beberapa jenis bakteri akan menyebabkan timbulnya bentuk yang abnormal (Anonimus, 2004). Infeksi bakteri Salmonella sp pada manusia disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman tercemar oleh bakteri tersebut. Makanan yang biasanya tercemar meliputi susu, telur, daging panggang dan ikan panggang yang diperdagangkan (Pelczar dan Chan, 1988). Infeksi Salmonella sp sering terjadi pada musim panas karena bakteri ini berkembang biak pada suhu hangat. Terlebih lagi apabila bakteri tersebut berkembang pada jenis makanan tertentu yang rawan terhadap Salmonella, yaitu makanan yang mengandung protein tinggi (Anonimus, 2008a). Gejala yang timbul akibat infeksi bakteri tersebut yaitu mual dan muntah yang mereda dalam beberapa jam, diikuti dengan nyeri abdomen dan demam. Diare merupakan gejala yang paling menonjol, pada kasus berat dapat berupa diare yang bercampur darah. Penderita sering sekali sembuh dengan sendirinya dalam waktu 1-5 hari, tetapi pada kasus berat terjadi gangguan keseimbangan elektrolit dan dehidrasi. Infeksi bakteri Salmonella sp pada manusia juga dapat menyebabkan gastroenteritis, deman typoid, bakterimia-septikemia (Jawetz. dkk. 1996). Bakteri Salmonella sp akan mati jika makanan dimasak hingga matang. Untuk menghindari terjadinya kontaminasi terhadap bakteri tersebut maka makanan yang sudah dimasak harus ditutup agar terhindar dari hinggapan lalat dan debu, juga dihindari kontak langsung bagi penderita yang bersifat carrier dengan makanan yang disajikan, hal ini disebabkan karena Salmonella sp dapat terkontaminasi melalui tangan penderita. Oleh karena itu sebaiknya mencuci tangan dengan teliti sebelum menyiapkan makanan (Anonimus, 2006a). Bakteri Salmonella sp peka terhadap panas dan akan terbunuh dengan pemanasan yang merata (di atas 70 °C). Sumber utama infeksi bakteri ini adalah makanan mentah dan kontaminasi silang, yaitu apabila makanan yang sudah dimasak bersentuhan dengan bahan mentah atau peralatan yang terkontaminasi. Oleh karena itu, proses pengolahan dengan benar dan penanganan makanan secara higienis dapat mencegah infeksi Salmonella sp (Anonimus, 2008b). Untuk menghindari masuknya bakteri salmonella, banyak cara yang digunakan. Salah satu adalah : 1. Selalu Digunakan Alat - Alat Yang Bersih (steril). 2. Cuci Alat Sebelum Dan Sesudah digunakan. 3. Suhu tempat penyimpanan dan pemasakan juga berpengaruh pada pertumbuhan bakteri. Karena itu, jika memasak telur di pastikan suhunya mencapai 160 derajat F. Sumber kontaminan bisa juga berasal dari lingkungan, udara, tanah, air, peralatan, pekerja, serangga, lalat, tikus, kecoa. Udara sekitar ruang pengolahan sering terkontaminasi mikroba yang berasal dari debu dan bisa juga dari udara yang dikeluarkan oleh penderita penyakit saluran pernapasan. Peralatan pengolahan yang tidak dicuci bersih seperti pisau, talenan dan peralatan lain yang berhubungan langsung dengan bahan pangan dapat menjadi sumber kontaminan (Buckle, dkk., 1985). S. typhi dan bakteri paratyphoid biasanya menyebabkan septicemia (infeksi bakteri di dalam aliran darah) dan menimbulkan demam tifoid atau demam seperti tifoid pada manusia. Bentuk-bentuk salmonellosis yang lain umumnya menimbulkan gejala yang lebih ringan. Gejala akut – Mual, muntah, kram perut, diare, demam, dan sakit kepala. Akibat kronik – gejala arthritis (radang sendi) mungkin muncul 3-4 minggu setelah dimulainya gejala akut. Waktu dimulainya gejala – 6-48 jam setelah infeksi. Dosis infektif – hanya 15-20 sel; tergantung pada usia dan kesehatan korban, serta perbedaan antara strain-strain yang ada. Lamanya gejala – Gejala akut dapat berlangsung selama 1 hingga 2 hari atau lebih lama, sekali lagi bergantung pada faktor-faktor kesehatan korban, dosis yang ditelan, dan karakteristik strain. Penyebab penyakit – Masuknya organisme Salmonella dari rongga perut ke dalam sel epithelium usus halus di mana kemudian terjadi peradangan; ada bukti bahwa enterotoksin juga diproduksi, mungkin di dalam enterocyte. Diagnosis Melalui identifikasi serologis terhadap biakan yang diisolasi dari kotoran. Makanan Terkait Daging mentah, daging unggas, telur, susu dan produk susu, ikan, udang, kaki katak, ragi, saus salad, campuran kue, hidangan penutup dengan isi dan lapisan krim, gelatin kering, mentega kacang, dan coklat. Berbagai spesies Salmonella sejak lama diisolasi dari bagian luar kulit telur. Keadaan menjadi kompleks dengan ditemukannya S. enteritidis di dalam kuning telur. Informasi ini dan informasi lainnya menjadi bukti kuat terjadinya penularan secara vertikal, yaitu masuknya organisme ini ke dalam kuning telur sebelum kulit telur terbentuk oleh ayam petelur yang terinfeksi. Makanan selain telur juga pernah menyebabkan kasus penyakit S. enteritidis. Pencegahan Salmonella peka terhadap panas dan akan terbunuh dengan pemanasan yang merata (di atas 70°C). Sumber utama infeksi bakteri ini adalah makanan mentah, makanan yang kurang matang dan kontaminasi silang, yaitu apabila makanan yang sudah dimasak bersentuhan dengan bahan mentah atau peralatan yang terkontaminasi (misalnya alas pemotong). Karena itu, pemasakan dengan benar dan penanganan makanan secara higienis dapat mencegah infeksi Salmonella. Komplikasi S. typhi dan S. paratyphi A, B, dan C menimbulkan demam tifoid dan demam seperti tifoid pada manusia. Banyak organ yang dapat terinfeksi, menghasilkan lesi/cacat pada permukaan organ. Tingkat kematian karena demam tifoid adalah 10%, sedangkan tingkat kematian pada kebanyakan salmonellosis sebesar 1%. Tingkat kematian oleh S. dublin sebesar 15% apabila terjadi septicemia pada orang tua, dan tingkat kematian oleh S. enteritidis sebesar kira-kira 3.6% dalam kasus-kasus di rumah sakit/rumah perawatan, dengan korban utama orang-orang tua. Septicemia karena Salmonella terkait dengan infeksi lanjutan pada semua sistem organ. Postenteritis reactive arthritis (radang sendi sebagai reaksi terhadap infeksi pada saluran pencernaan) dan Reiter's syndrome (rematik sistemik, yang selain menyerang persendian, juga menyerang organ lain), dilaporkan terjadi umumnya 3 minggu setelah infeksi. Artritis reaktif dapat terjadi dengan frekuensi 2% dari kasus yang terbukti melalui pembiakan bakteri. Artritis septis (radang sendi karena infeksi bakteri) juga terjadi setelah atau bersamaan dengan septicemia, dan perawatannya mungkin sulit. Populasi Rentan Semua kelompok umur rentan terhadap penyakit ini, tetapi gejala paling parah terjadi pada orang tua, bayi, dan orang yang sistem kekebalannya lemah. Pasien penderita AIDS sering menderita salmonellosis (20 kali lebih sering daripada populasi pada umumnya) dan terjadi berulang kali. Infeksi salmonella sering terjadi pada musim panas karena bakteri ini berkembang biak pada suhu hangat. Sumber utama penyebab infeksi salmonella adalah bahan makanan yang tidak dipanaskan secara baik seperti ayam, telur, daging atau susu. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Salmonellosis adalah: • Penggunaan bahan makanan mentah yang sudah terkontaminasi atau mengandung salmonella. • Kontaminasi silang misalnya penggunaan pisau untuk ayam mentah tanpa dicuci dahulu sama dengan untuk memotong ayam matang. • Penyimpanan makanan pada temperatur yang tidak cocok. Suhu udara mulai menghangat mulailah jenis bakteri ini berkembang dengan pesatnya. Terlebih lagi bila ia berkembang pada jenis makanan tertentu yang memang rawan salmonella, yaitu makanan yang mengandung protein tinggi. Bila kondisinya sangat menunjang, bakteri ini akan membelah diri setiap 20 menit sekali, satu bakteri akan berkembang dalam waktu 5 jam menjadi 45.000. Ada sekitar 2300 jenis bakteri salmonella dan yang paling sering ditemui adalah kasus infeksi Salmonella enteriditis yang terdapat pada unggas atau telur ayam. Ada juga Salmonella typhi yang terdapat pada kerang. Makanan yang mengandung Salmonella belum tentu menyebabkan infeksi Salmonella, tergantung dari jenis bakteri, jumlah dan tingkat virulensi (sifat racun dari suatu mikroorganisme, dalam hal ini bakteri Salmonella). Misalnya saja Salmonella enteriditis baru menyebabkan infeksi bila sudah berkembang biak menjadi 100 000. Dalam jumlah ini keracunan yang terjadi bisa saja menyebabkan kematian si penderita. Salmonella typhimurium dengan jumlah 11.000 sudah dapat menimbulkan infeksi. Jenis Salmonella lain ada yang menyebabkan infeksi hanya dengan jumlah 100 sampai 1000, bahkan dengan jumlah 50 sudah dapat menyebabkan infeksi. Perkembangan Salmonella pada tubuh manusia dapat dihambat oleh asam lambung yang ada pada tubuh kita. Disamping itu dapat dihambat pula oleh bakteri lain. Gejala keracunan salmonella pada manusia biasanya baru terdeteksi setelah 5 sampai 36 jam. Keracunan salmonella diawali dengan sakit perut dan diare yang disertai juga dengan panas badan yang tinggi, perasaan mual, muntah, pusing-pusing dan dehidrasi. Semakin banyak jumlah bakteri yang terkandung dalam tubuh, semakin terancam jiwa penderita. Penderita infeksi Salmonella yang sudah terlalu banyak mengeluarkan cairan dapat terancam jiwanya akibat kekurangan cairan (dehidrasi) yang berlebihan. Hal ini lebih berbahaya lagi bagi anak-anak atau orang tua yang daya tahan tubuhnya lemah. Bila sudah nampak tanda-tanda keracunan salmonella penderita harus segera dibawa ke dokter. Untuk menghindari penularan infeksi Salmonella, sisa kotoran, urin atau muntahan penderita harus dibuang dengan hati-hati. Sebab dari disinilah penularan dapat terjadi. Sisa makanan yang diduga menyebabkan infeksi harus segera dibuang dan jangan sampai bercampur dengan makanan lain. Piring, pisau maupun alat dapur lain yang tersentuh makanan yang diduga mengandung Salmonella harus dicuci dengan air panas atau direbus agar bakteri mati. Salmonella adalah bakteri yang termasuk mikroorganisme yang amat kecil dan tidak terlihat mata. Selain itu bakteri ini tidak meninggalkan bau maupun rasa apapun pada makanan. Kecuali jika bahan makanan (daging ayam) mengandung Salmonella dalam jumlah besar, barulah terjadi perubahan warna dan bau (merah muda pucat sampai kehijauan, berbau busuk). Biasanya bakteri dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Salmonella bisa terdapat di udara, air, tanah, sisa kotoran manusia maupun hewan atau makanan hewan. Sumber bakteri Salmonella biasanya terdapat pada unggas (ayam, bebek, kalkun), daging babi, binatang laut, telur dan susu. Bahan makanan hewani yang paling sering berperan sebagai sumber penularan Salmonella adalah unggas. Unggas yang terinfeksi Salmonella bisa menyebarkan bibit bakteri melalui daging, telur baik pada kulit maupun isi telur. Telur yang pecah atau retak lebih peka Salmonella daripada yang utuh. Proses penularan dapat juga terjadi pada saat penyembelihan, dimana unggas atau ternak yang sehat tertular oleh unggas atau ternak yang sakit. Tidak tertutup kemungkinan penularan terjadi pada saat proses penyembelihan sampai menjadi ayam potong. Pekerja rumah potong ayam yang menderita Salmonellosis seperti penderita Typhus dapat menyebarkan kuman ke ayam atau daging mentah (Anonimus 2008). Di Jerman, daging atau susu boleh dikatakan sudah bebas salmonella. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi unggas atau telur. Yang sangat sering sekali terjadi adalah keracunan Salmonella dari makanan yang mengandung telur mentah (tidak diolah), seperti mayonaise, es krim dan pudding. Bila makanan yang mengandung telur mentah tidak disimpan secara baik (tidak didinginkan, sudah disimpan terlalu lama atau tidak dipanaskan sama sekali) besar kemungkinan Salmonella akan berkembang biak dengan pesat. Mayonaise biasanya sudah bersifat asam (pH dibawah 4, Salmonella hidup pada pH 4-9). Pada Mayonaise ditambahkan asam asetat sebagai cuka. asam asetat pada mayonaise akan membunuh salmonella. Setiap telur segar belum tentu mengandung Salmonella. Tetapi bila telur segar atau makanan yang mengandung telur mentah dibiarkan pada suhu ruang dalam beberapa hari, barulah bakteri ini dapat berkembang dan membahayakan tubuh manusia (Anonimus 2009). Untuk menghindari bahaya Salmonella di Jerman sejak tahun 1994 telur yang tidak didinginkan tidak boleh lebih dari 18 hari dipasarkan. Dan untuk bahan makanan yang mengandung telur mentah juga terdapat peraturan-perturan ketat. Mungkin itulah sebabnya setelah peraturan ini berlaku angka penderita infeksi salmonella di Jerman menurun secara drastis. Walaupun demikian kita di Jerman tidak bisa meremehkan bahaya bakteri ini. Pendinginan makanan dalam lemari es tidak membunuh bakteri Salmonella. Bakteri ini dalam suhu dingin (< 8°C) hanya berhenti memperbanyak dirinya (inaktiv). Salmonella dapat berkembang biak pada suhu antara 8 derajat sampai 70°C. Diatas 70°C Salmonella akan mati. Oleh sebab itu ayam, daging ikan atau telur harus dimasak dengan baik sampai betul-betul matang. Bakteri yang ada dalam daging baru dapat mati bila air daging sudah tidak lagi berwarna merah atau daging dimasak sampai mendidih/masak setidaknya selama 10 menit. Makanan yang telah masak jangan terlalu lama disimpan dalam kulkas. Sebelum dimakan kembali hangatkan terlebih dahulu. Makanan yang mudah rusak seperti daging mentah (terutama daging cincang), daging unggas, ikan, telur, makanan yang mengadung telur mentah (creme, salad, mayonaise, es krim, pudding, dll.) harus segera mungkin didinginkan atau dibekukan dalam lemari es. Untuk daging cincang usahakan segera diolah pada hari dibeli. Jaga higienis dapur saat anda memasak. Bila mencairkan ayam atau daging beku, segera buang air dan pembungkusnya. Untuk menghindari kontaminasi silang, cuci bersih benda-benda yang terkena air tersebut (pisau, tangan, alas memotong dll.). Simpan ayam dan daging yang belum beku secara terpisah dari bahan makanan lain (Anonimus 2009). DAFTAR KEPUSTAKAAN Adawyah, R. (2007). Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Penerbit PT Bumi Aksara. Jakarta. Anonimus. (2004). Buku Ajar Mikrobiologi. Tim Mikrobiologi FKH Unsyiah. Banda Aceh. Anonimus. (2008a). Tehnologi Pengawetan Ikan. http://bisnisukm.com/teknologi-pengawetan-ikan.html. 20 Juli 2009 Anonimus. (2008b). Salmonella sp. http://www.food-info.net/id/bact/salm.htm. 21 Juli 2009 Anonimus. (2009). Salmonella. http:/www.kharisma.de./education Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet dan M. Woton (1985). Ilmu Pangan, Universitas Indonesia. Press, Jakarta (terjemahan) Jawetz, E., J. L. Melnick dan E. A. Adelberg, (1996). Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. Penerbit Buku Kedokteran. EGM. Jakarta (terjemahan) Riemann, H., dan F.L. Bryan, (1979). Foodborne Infection and Intoxication. 2nd edition, Academic Press, Inc., San Diego. Suriawiria, U., (1986). Mikrobiologi Air dan Dasar-dasar Pengolahan Secara Biologi. Penerbit Alumni. Bandung. Winarno, F.G., (1997). Keamanan Pangan. Institut Pertanian Bogor. Yuliarti. D.R., (2008). Waspada Bakteri Pencemaran Makanan. http://radar-bogor.co.id/?ar id=NDA2MQ==&click=MQ. 20 Juli 2009

Jumat, 06 Januari 2017

EKSPRESI SIFAT GENETIK KE DALAM SIFAT FENOTIP


PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman makhluk hidup yang menunjukkan keseluruhan variasi gen, spesies, dan ekosistem di suatu daerah. Ada dua faktor penyebab keanekaragaman hayati, yaitu faktor genetik dan faktor luar. Faktor genetik bersifat relatif konstan atau stabil pengaruhnya terhadap morfologi organisme. Sebaliknya faktor luar relatif stabil pengaruhnya terhadap morfologi organisme. Hal ini disebabkan oleh adanya variasi organisme dari spesies yang sama atau keanekaragaman spesies. Lingkungan atau faktor eksterna seperti makanan, suhu, cahaya matahari, kelembaban, curah hujan dan faktor lainnya bersama-sama faktor menurun yang diwariskan dari kedua induknya sangat berpengaruh terhadap fenotip suatu individu. Dengan demikian fenotip suatu individu merupakan hasil interaksi antara genotip dengan lingkungannya. Baik hewan maupun tumbuhan juga mempunyai variasi yang tampak antara lain dalam bentuk, ukuran tubuh, warna dan ciri lainnya (Susanto, 2011) Ekspresi gen merupakan proses bagaimana informasi yang ada di dalam DNA bisa di copy melalui proses traskripsi dalam organisme eukariot. Hasil proses transkripsi adalah RNA (transkrip primer). Di dalam organisme eukariot ada tahapan proses tertentu sebelum menghasilkan RNA, yaitu RNA processing. Kemudian diikuti tahap translasi yang akhirnya menghasilkan polypeptida. Jika dalam proses tersebut ada tahapan yang tidak terjadi, maka dalam hal ini tidak termasuk dalam kategori bahwa gen tersebut telah terekspresi atau dengan kata lain tidak terjadi ekspresi gen. (Anthony dkk, 2000). Langkah-langkah utama dalam ekspresi gen adalah sebagai berikut: 1. Sintesis molekul RNA oleh RNA polymerase, yang menggunakan sekuen basa-basa dari satu utas DNA sebagai cetakan dalam reaksi polimerisasi, seperti pada replikasi DNA. Proses ini disebut transkripsi. 2. Molekul-molekul protein kemudian disintesis melalui penggunaan sekuen basa dari molekul RNA untuk mengarahkan penggabungan asam-asam amino menurut urutan tertentu. Proses ini disebut translasi. Secara umum, rantai informasi genetik atau DNA merupakan pusat pengendali jalannya metabolisme di dalam sel, yaitu dengan cara menyandikan protein. Proses tersebut dilaksanakan melalui penentuan susunan nukleotida molekul RNA, yang selanjutnya susunan nukleotida tersebut diterjemahkan ke dalam susunan asam amino dari rantai polinukleotida protein. Proses penyusunan polinukleotida RNA berdasarkan pola DNA disebut transkripsi. Sedangkan proses penyusunan asam amino menurut pola molekul RNA disebut translasi. (Suryo, 1984) Ekspresi genetik adalah suatu rangkaian sistem dari suatu gen untuk memunculkan karakter atau sifat yang dikodekan oleh gen tersebut. Informasi yang dibawa bahan genetik tidak bermakna apa pun apabila tidak diekspresikan menjadi fenotipe. (Cooper and Hausman, 2004) 1.2. Tujuan Dengan mempelajari mengenai ekspresi sifat genetik, kita dapat mengetahui bagaimana gen merupakan unit pewaris sifat sehingga memunculkan karakter atau sifat yang dikodekan oleh gen TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekspresi Genetik Gen merupakan satuan unit informasi genetika. Hal ini dilakukan melalui sejumlah kejadian dimana informasi dalam sekuen DNA akan digandakan menjadi molekul RNA dan kemudian digunakan untuk menentukan sekuen asam amino dari suatu molekul protein. Dalam tubuh manusia terdapat banyak gen (unit dasar hereditas dalam kehidupan organisme) yang nantinya akan terekspresi menjadi fenotip (sifat yang tampak), misalnya rambut hitam, kulit sawo matang, hidung mancung, dan sebagainya. (Campbell dkk, 2010). 2.2. Replikasi DNA Replikasi adalah peristiwa sintesis DNA. Replikasi DNA adalah proses penggandaan rantai ganda DNA. Pada sel, replikasi DNA terjadi sebelum pembelahan sel. Prokaryota terus-menerus melakukan replikasi DNA. Sedangkan pada eukaryota waktu terjadinya replikasi DNA sangat teratur, yaitu pada fase S siklus sel sebelum mitosis atau meiosis I. Penggandaan tersebut memanfaatkan enzim DNA polimerase yang membantu pembentukan ikatan antara nukleotida-nukleotida penyusun polimer DNA Proses replikasi diperlukan ketika sel akan membelah diri. Pada setiap sel kecuali sel gamet, pembelahan diri harus disertai dengan replikasi DNA agar semua sel turunan memiliki informasi genetik yang sama. Pada dasarnya proses replikasi memanfaatkan fakta bahwa DNA terdiri dari dua rantai dan rantai yang satu merupakan konjugat dari rantai pasangannya. Dengan mengetahui susunan satu rantai maka susunan rantai pasangan dapat dengan mudah dibentuk. Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan bagaimana proses replikasi DNA terjadi. Salah satu teori yang paling populer menyatakan bahwa pada masing-masing DNA baru yang diperoleh pada akhir proses replikasi satu rantai tunggal merupakan rantai DNA dari rantai DNA sebelumnya, sedangkan rantai pasangannya merupakan rantai yang baru disintesis. Rantai tunggal yang diperoleh dari DNA sebelumnya tersebut bertindak sebagai cetakan untuk membuat rantai pasangannya. Replikasi DNA hanya berlangsung sekali untuk setiap sekali pembelahan sel, replikasi DNA harus terpadu dengan pembelahan sel. Replikasi DNA harus mendahului pembelahan sel agar sebelum proses pembelahan sel berlangsung, telah tersedia material genetik untuk dialihkan kepada masing- masing gen turunan. (Cooper and Hausman, 2004). Mekanisme Replikasi DNA Proses replikasi diawali dengan pembukaan untaian ganda DNA pada titik-titik tertentu disepanjang rantai DNA. Proses pembukaan rantai DNA ini dibantu oleh enzim helikase yang dapat mengenali titik-titik tersebut dan enzim girase yang mampu membuka pilinan rantai DNA. Setelah cukup ruang terbentuk, akibat pembukaan untaian ganda ini DNA polimerase masuk dan mengikat diri pada kedua rantai DNA yang sudah terbuka secara lokal tersebut. Proses pembukaan rantai ganda tersebut berlangsung disertai dengan pergeseran DNA polimerase mengikuti arah membukanya rantai ganda. Monomer DNA ditambahkan di kedua sisi rantai yang membuka setiap kali DNA polimerase bergeser. Hal ini berlanjut sampai seluruh rantai telah benar-benar terpisah. Proses sintesis rantai DNA baru memiliki suatu mekanisme yang mencegah terjadinya kesalahan pemasukan monomer yang dapat berakibat fatal. Karena mekanisme inilah kemungkinan terjadinya kesalahan sintesis amat kecil. Replikasi dan Perbaikan DNA Selama replikasi DNA pemasangan basa memungkinkan untai DNA yang ada bertindak sebagai cetakan untuk untai komplementer yang baru. Sebelum melakukan replikasi, molekul induk mempunyai dua untai DNA komplementer. Setiap basa dipasangkan oleh ikatan hidrogen dengan pasangan spesifiknya, A-T dan G-C. Langkah pertama replikasi adalah pemisahan kedua untai DNA. Setiap untai yang lama berfungsi sebagai cetakan yang menentukan uraian nukleotida di daerah yang spesifik di sepanjang permukaan cetakan berdasarkan aturan pemasangan basa. Nukleotida baru tersebut disambung satu sama lain untuk membentuk tulang belakang gula-fosfat dari untai baru, setiap molekul DNA sekarang terdiri dari satu untai lama dan satu untai baru. Satu tim besar yang terdiri dari enzim dan protein lain menjadi pelaksana replikasi DNA. Replikasi dimulai di pangkal replikasi. Cabang replikasi bentuk Y terbentuk pada ujung-ujung berlawanan dari gelembung replikasi dimana kedua untai DNA berpisah. DNA polimerase mengkatalis sintesis untai-untai DNA baru, bekerja dalam arah 5’ 3’. Sintesis DNA pada cabang replikasi menghasilkan leading strand yang kontinyu dan segmen-segmen pendek, diskontinyu dari lagging strand. Fragmen-fragmen ini kemudian disambung oleh DNA ligase, sintesis DNA harus bermula pada ujung dari suatu primer yang merupakan segmen pendek RNA. Enzim mengoreksi DNA selama replikasinya dan memperbaiki kerusakan pada DNA yang ada, pada perbaikan salah pasang, protein mengoreksi DNA yang bereplikasi dan memperbaiki kesalahan dalam pemasangan basa, pada perbaikan eksisi, enzim perbaikan memperbaiki DNA yang dirusak agen fisis dan kimiawi. (Lapenna and Giordano, 2009). 2.3. Translasi RNA menjadi protein atau polipeptida Setelah diperoleh RNA, maka RNA ditransfer menuju sitoplasma untuk selanjutnya dilakukan proses translasi. Translasi adalah proses penerjemahan mRNA menjadi protein dengan bantuan tRNA dan rRNA pada ribosom. Setelah didapatkannya protein maka proses ekspresi gen telah berakhir, selanjutnya tugas protein untuk memunculkan suatu karakter atau sifat tertentu pada jaringan ataupun organ yang mengekspresikannya. Protein dapat berupa enzim, hormon , toksik, dan lain-lain tergantung dari fungsi biologisnya. Dengan fungsi demikianlah bagaimana protein memunculkan karakter pada makhluk hidup, seperti contoh protein hasil ekspresi gen berupa hormon auksin yang mana pada tumbuhan hormon ini mengatur proses pembelahan sel sehingga jaringan tumbuh dan membentuk organ seperti tinggi atau munculnya tunas pada tanaman. Demikianlah bagaimana proses suatu gen menjadi protein hingga memunculkan karakter atau sifat tertentu pada makhluk hidup. Setiap sel didalam tubuh makhluk hidup mengandung satu set gen lengkap, tetapi tidak semua gen-gen tersebut berekspresi pada setiap jaringan pada saat yang sama. Setiap sel didalam tubuh hanya mengekspresikan gen-gen tertentu pada saat-saat tertentu. Pada setiap fase perkembangan sel-sel yang berbeda mengekspresikan set-set gen yang berbeda, maka dari regulasi ekspresi genetik pada tiap organisme berbeda-beda. (Suryo, 1984). Tahap translasi dapat dibagi menjadi tiga tahap seperti transkripsi, yaitu inisiasi, elongasi, dan terminasi. Semua tahapan ini memerlukan faktor-faktor protein yang membantu RNAd, RNAt, dan ribosom selama proses translasi. Inisiasi dan elongasi rantai polipeptida juga membutuhkan sejumlah energi yang disediakan oleh GTP (guanosin triphosphat), suatu molekul yang mirip ATP. Inisiasi Tahap inisiasi dari translasi terjadi dengan adanya RNAd, sebuah RNAt yang memuat asam amino pertma dari polipeptida, dan dua subunit ribosom. Pertama subunit ribosom kecil mengikatkan diri pada RNAd dan RNAt inisiator. Di dekat tempat pelekatan ribosom subunit kecil pada RNAd terdapat kodon inisiasi AUG, yang memberikan sinyal dimulainya proses translasi.RNAt inisiator, yang membawa asam amino metionin, melekat pada kodon inisiasi AUG. Oleh karenanya, persyaratan inisiasi adalah kodon RNAd harus mengandung triplet AUG dan terdapat RNAt inisiator berisi antikodon UAC yang membawa metionin.Jadi pada setiap proses translasi, metionin selalu menjadi asam amino awal yang diingat.Triplet AUG dikatakan sebagai start kodon karena berfungsi sebagai kodon awal translasi. Elongasi Pada tahap elongasi dari translasi, asam amino berikutnya ditambahkan satu per satu pada asam amino pertama (metionin). Pada ribosom membentuk ikatan hidrogen dengan antikodon molekul RNAt yang komplemen dengannya.Molekul RNAr dari subunit ribosom besar berfungsi sebagai enzim, yaitu mengkatalisis pembentukan ikatan peptida yang menggabungkanpolipeptida yang memanjang ke asam amino yang baru tiba.Pada tahap ini polipeptida memisahkan diri dari RNAt tempat perlekatannya semula, dan asam amino pada ujung karboksilnya berikatan dengan asam amino yang dibawa oleh RNAt yang baru masuk.Saat RNAd berpindah tempat, antikodonnya tetap berikatan dengan kodon RNAt.RNAd bergerak bersama-sama dengan antikodon dan bergeser ke kodon berikutnya yang akan ditranslasi.Sementara itu, RNAt yang tanpa asam amino telah diikatkan pada polipeptida yang sedang memanjang dan selanjutnya RNAt keluar dari ribosom.Langkah ini membutuhkan energi yang disediakan oleh hirolisis GTP.Kemudian RNAd bergerak melalui ribosom ke satu arah saja, kodon satu ke kodon lainnya hingga rantai polipeptidanya lengkap. Terminasi Tahap akhir translasi adalah terminasi.Elongasi berlanjut hingga ribosom mencapai kodon stop.Triplet basa kodon stop adalah UAA, UAG, atau UGA.Kodon stop tidak mengkode suatu asam amino melainkan bertindak sebagai sinyal untuk menghentikan translasi. (Susanto, 2011) PENUTUP 3.1. Kesimpulan Ekspresi genetik adalah suatu rangkaian sistem dari suatu gen untuk memunculkan karakter atau sifat yang dikodekan oleh gen tersebut. Informasi yang dibawa bahan genetik tidak bermakna apa pun apabila tidak diekspresikan menjadi fenotipe. Sehingga fenotip mencakup berbagai tingkat dalam ekspresi gen dari suatu organisme. Pada tingkat organisme, fenotipe adalah sesuatu yang dapat dilihat/diamati/diukur, sesuatu sifat atau karakter. Dalam tingkatan ini, contoh fenotipe misalnya warna mata dan berat badan 3.2. Saran Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis, demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya. DAFTAR KEPUSTAKAAN Anthony JF Griffiths, Jeffrey H Miller, David T Suzuki, Richard C Lewontin, and William M Gelbart. 2000. An Introduction to Genetic Analysis (edisi ke-7). W. H. Freeman. Campbell, N.A., Reece, J.B., Mitchell, L.G. 2010. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 1. Erlangga: Jakarta. Cooper GM and Hausman RE. 2004. The Cell: A Molecular Approach, Fifth Edition, ASM Press and Sinauer Associates, Inc. Lapenna, S., and Giordano, A. 2009. Cell Cycle Kinases as Therapeutic Targets for Cancer, Nat. Rev. Drug Discov. 8(7): 547-566. Suryo. 1984. Genetika Manusia. Gadjah Mada university Press: Yogyakarta. Susanto, Agus Heri. 2011. Genetika. Graha ilmu. Yogyakarta.

Kamis, 05 Januari 2017

APARATUS GOLGI


PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Kemajuan teknologi dan terus berkembangnya pengatahuan tentang sel telah menghasilkan perubahan-perubahan azasi dalam pengertian struktur sel. Biologi molekuler merupakan ilmu yang mempelajari bentuk, susunan, dan kedudukan molekul-molekul yang menyusun sistem seluler sebagai suatu kesatuan. Pengetahuan modern tentang makhluk hidup menunjukkan adanya suatu kombinasi tingkat organisasi yang semuanya dihimpun dengan menghasilkan manifestasi kehidupan organisme. Dalam sitoplasma terdapat adanya berbagai bangunan atau struktur yang pada mulanya dapat diketahui dengan jelas tentang fungsi dan asalnya. Salah satu dari organel sel yaitu badan golgi (Ardiyanto,2011). Badan golgi adalah salah satu organel yang berperan aktif dalam proses metabolisme sel yang tersusun atas membran. Badan golgi juga termasuk dalam sistem selaput sitoplasma yang sangat diperlukan oleh sel-sel untuk memenuhi kebutuhan enzim yang sangat diperlukan untuk kegiatan-kegiatan sel. Pada mulanya organel ini ditemukan oleh camillo golgi pada tahun 1898 di dalam jaringan saraf otak. Dengan cara fiksasi dengan larutan bikromat dan diwarnai dengan garam perak. Dengan pewarnaan ini organel akan tampak berwarna gelap dan berbentuk anyaman. Oleh golgi organel ini dinamakan apparatus retikularis interna. Untuk menghormati penemunya kemudian dinamakan apparatus golgi atau komplek golgi atau region golgi. Dari hasil penelitian lebih lanjut ternyata bahwa apparatus golgi tidak hanya terdapat pada sel saraf saja tetapi juga ditemukan pada sel-sel lainnya. Dengan menggunakan mikroskop elektron apparatus golgi ini dapat diamati dengan jelas dan tampak bahwa apparatus golgi ini merupakan gelembung-gelembung berdinding membran (Sativani,2010). 1.2 Tujuan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui pengertian badan golgi. b. Mengetahui struktur badan golgi. c. Mengetahui letak dari badan golgi. d. Mengetahui fungsi badan golgi. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Penemuan Badan Golgi Camilo golgi (1891) menemukan struktur seperti jala pada sitoplasma sel saraf kucing, C golgi mewarnai sel saraf kucing dengan osnium tetra oksida dan garam perak sebelum ditemukan reticulum endoplasma. Ia menamakannya the internal reticular apparatus. Dengan zat tersebut , golgi dapat menemukan jala tersebut, terletak sekitar inti dan berwarna kuning gelap. Belakangan ini, beberapa ahli sitologi yang mempergunakan pewarnaan lain dapat melihat organel yang sama, bukan saja pada sel saraf, tetepi juga pada sel jaringan lain. Selama 50 tahun alat golgi masih diperdebatkan, para peneliti melihat , pada sel kelenjar alat golgi dapat berubah sesuai dengan aktivitas organnya. Ada juga ahli sitologi berpendapat, bahwa alat golgi berkaitan dengan sintesa protein. Pada tahun 1898 ahli histology Italia menemukan adanya zat seperti jala dalam sitoplasma sel-sel dalam jaringan yang difiksasi dalam larutan bikromat dan kemudian diberi garam perak. Berdasarkan gambaran ini, Golgi memberi nama struktur ini apparatus retikularis dalam dari sel. Nama ini kemudian diubah menjadi aparatus Golgi, karena bangunan ini tidak selalu membentuk jala-jala. Dengan mikroskop electron, belakangan tampak bahwa organel terdiri atas beberapa struktur yang dibatasi membrane yang mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda, karena itu lebih sering disebut kompleks Golgi (Lehninger, 1993). 2.2. Pengertian Badan Golgi Badan Golgi (disebut juga aparatus Golgi, kompleks Golgi atau diktiosom) adalah organel yang dikaitkan dengan fungsi ekskresi sel, dan struktur ini dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa. Organel ini terdapat hampir di semua sel eukariotik dan banyak dijumpai pada organ tubuh yang melaksanakan fungsi ekskresi, misalnya ginjal. Setiap sel hewan memiliki 10 hingga 20 badan Golgi, sedangkan sel tumbuhan memiliki hingga ratusan badan Golgi. Badan Golgi pada tumbuhan biasanya disebut diktiosom. Badan Golgi atau Aparatus Golgi dijumpai pada hampir semua sel tumbuhan dan hewan. Pada sel tumbuhan, Badan Golgi disebut diktiosom. Badan Golgi tersebar dalam sitoplasma dan merupakan salah satu komponen terbesar dalam sel. Antara badan Golgi satu dengan yang lain berhubungan dan membentuk struktur kompleks seperti jala. Badan Golgi sangat penting pada sel sekresi. Badan Golgi dan RE mempunyai hubungan erat dalam sekresi protein sel. Di depan telah dikatakan bahwa RE menampung dan menyalurkan protein ke Golgi. Golgi mereaksikan protein itu dengan glioksilat sehingga terbentuk glikoprotein untuk dibawa ke luar sel. Oleh karena hasilnya disekresikan itulah maka Golgi disebut pula sebagai organel sekretori (Kimbal, 1983). 2.3. Stuktur Badan Golgi Struktur badan Golgi berupa berkas kantung berbentuk cakram yang bercabang menjadi serangkaian pembuluh yang sangat kecil di ujungnya. Karena hubungannya dengan fungsi pengeluaran sel amat erat, pembuluh mengumpulkan dan membungkus karbohidrat serta zat-zat lain untuk diangkut ke permukaan sel. Pembuluh itu juga menyumbang bahan bagi pembentukan dinding sel. Badan golgi dibangun oleh membran yang berbentuk tubulus dan juga vesikula. Dari tubulus dilepaskan kantung-kantung kecil yang berisi bahan-bahan yang diperlukan seperti enzim–enzim pembentuk dinding sel. Gbr. Struktur Badan Golgi Badan Golgi terbentuk oleh susunan lempengan kantong-kantong yang khas dikelilingi membran. Lempengan kantong ini disebut sisterna. Dalam sel tumbuhan, badan Golgi terdiri atas susunan dari beberapa sisterna. Pada penghujung kantong terdapat kantong-kantong bulat kecil atau vesikula yang menempel dan yang seolah-olah terjentik dari ujung kantong yang berukuran lebih besar (Sheeler and Bianchi, 1987). Badan Golgi mempunyai bentuk yang berbeda pada sel eukariotik. Perbedaan ini terlihat terutama dari bentuk susunan kantong-kantong pipih yang masing-masing dikelilingi membran tunggal yang disebut sisterna. Dalam sel tumbuhan, badan Golgi terdiri atas susunan dari beberapa sisterna. Pada umumnya badan Golgi mempunyai 4 – 6 sisterna yang berjarak sekitar 10 nm antara satu sama lain. Pada tanaman tertentu badan Golgi ini terbentuk dalam jumlah yang lebih besar kadang-kadang 20 atau lebih. Lebar masing-masing sisterna bervariasi antara 500 – 1000 nm. Sisterna yang sedang tumbuh berada pada posisi terbawah dengan pinggiran kantong yang mulai menggelembung disebut sebagai permukaan cis badan Golgi. Sisterna yang sudah melalui pertumbuhan dengan pinggiran kantong yang menggelembung lebih besar berada pada posisi teratas yang disebut permukaan trans. (Lehninger, 1993). a. Morfologi Badan Golgi Aparat golgi mempunyai bentuk yang sangat berbeda-beda (pleomorfik) pada beberapa sel bentuknya kompak dan terbatas sedang pada macam sel lain bentuknya berupa jalinan dan tersebar. Namun pada dasarnya badan golgi berupa kumpulan rongga-rongga yang pipih, berbentuk mangkok, dikelilingi oleh vesikel-vesikel. Aparatus golgi dapat ditemui dan dikelilingi inti, ditepi atau tersebar .Jjumlahnya mulai dari satu buah sampai ratusan tiap sel. Dengan mikroskop electron badan golgi dapat dilihat strukturnya merupakan membrane khusus yang mempunyai bentuk bervariasi (Ardiyanto, 2011). Telah terbukti ,bahwa organel ini dijumpai dalam hampir semua jenis sel hewan dan tumbuhan. Aparatus golgi terdiri dari tiga komponen, yaitu : 1. Cisternae Merupakan bangunan dasar.yang menjadi ciri apparatus golgi Terdiri dari sekitar 5 lempeng cisterna yang sejajar melengkung bentuk piala tiap cisterna berupa kantung gepeng tertekuk.Bagian tepi tiap cisterna biasanya menggembung dan berlobang-lobang .dibagian tepi itu ada pembuluh yang menghubungkan semua cisternae sesamanya.daerah tepi itu juga memiliki tonjolan-tonjolan yang akan cepat membentuk vasikula-vasikula atau mungkin juga bakal membentuk cisterna baru. 2. Vesikula Bagian vesikula terdapat dibawah (sebelah kedalam sel) bagian cisternae yang terdiri dari banyak gelembung serta memiliki warna yang terang.vesikula tumbuh dari reticulum endoplasma. Mungkin dekat kebagian cisternae vesikula tergabung membentuk cisterna baru. 3. Vakuola Bagian ini berada dibagian atas (sebelah puncak) yang terdiri dari banyak gelembung.vakuola berisi bahan sekresi (getahan) cisterna bagian atas akan pecah dan membentuk vakuola.Bahan sekresi dalam vakuola disekresi dengan cara exocytosis. 2.4. Letak Badan Golgi Aparatus Golgi sering terdapat pada inti dan khas terutama di tepi sentrosom, dengan sentriol terletak dalam cekungan apparatus Golgi. Pada sel-sel sekretoris, apparatus Golgi terletak antara inti dan apeks sel yaitu tempat hasil sekresi sel dilepaskan. Pada sel-sel jenis lainnya tanpa polarisasi aktifitas sekretoris, mungkin membentuk struktur seperti jala mengelilingi inti, seperti ditemukan oleh Golgi pada sel-sel saraf. Letak dan bentuk badan golgi tergantung pada masing-masing jenis sel yang bersangkutan. Pada sel sekretori biasanya terletak pada bagian puncaknya dekat dengan inti. Pada sel hati badan golgi terdapat lebih dari satu daerah dalam sitoplasma. Jumlah komplek golgi dalam sel sangat bervariasi, sesuai dengan jenis jaringan dan spesies makhluk yang bersangkutan. Misalnya pada sel-sel ujung akar gandum ada beberapa ratus. Pada sel chara terdapat lebih dari 25.000, sedangkan pda sel-sel kelenjar ludah tiap insekta jumlahnya sampai bebeapa ribu. Jika diambil rata-ratanya dalam tiap sel pada umumnya terdapat sekitar 20 buah kompleks golgi. 2.5. Kekutuban Badan Golgi Badan golgi dibedakan juga atas kekutubannya. Kutub bawah yang dekat dengan inti / RE disebut forming face sedang kutub atas yang cekung kepermukaan dalam disebut maturing face. Disebut forming face karena dibagian ini bahan yang akan disekresi diproses, dibentuk atau dirakit. Yang tergolong daerah forming face ini ialah semua bagian vesikula dan cisternae terbawah. Disebut maturing face karena dibagian ini bahan yang akan disekresi mengalami pematangan , dipadatkan , kemudian dibungkus didalam gelembung atau vakuola . 2.6. Enzim dan Lipid pada Badan Golgi Pada badan golgi banyak ditemukan enzim yang heterogen . Enzim-enzim pada badan golgi dapat digolongkan pada: glikosiltransferase untuk biosintesis glikoprotein, sulfo dan gliosiltransferase untuk biosintesis glikolipida, oksidoreduktase, Fosfatase, Kenase, Mamnosidase, Transferase untuk sintesis fosfolisida dan Fosfolifase. Para ahli mencoba menemukan enzim tanda pada badan golgi,dengan cara melihat aktivitas enzim-enzim pada organel-organel dan membandingkannya. Dari hasil penelitian ternyata glikosiltransferase merupakan enzim tanda pada badan golgi. Enzim ini sebagai katalisator transfer glukosa dari carier UDP ke protein, para peneliti menemukan bahwa setengah dari seluruh aktifitas glikosil transferese pada sel terjadi pada badan golgi. Adanya enzim tanda pada badan golgi dapat dipakai untuk membedakan badan golgi dari organel-organel lain. Selain memiliki enzim tanda, badan golgi juga memiliki perbedaan komposisi pada lipidanya . Komposisi lemak pada badan golgi memiliki sifat intermediate. Sehingga dapat disimpulkan bahwa badan golgi merupakan organel transisi diantara dua organel lain, yaitu reticulum endoplasma dan membrane plasma 2.7. Fungsi dan Proses Fisiologis Badan Golgi mempunyai fungsi yang beragam antara lain : 1) mengemas bahan-bahan sekresi yang akan dibebaskan dari sel, 2) memproses protein-protein yang telah disintesa oleh ribosom dari retikulum endoplasma, 3) mensintesa polisakarida tertentu dan glycolipids, 4) memilih protein untuk berbagai lokasi di dalam sel, 5) memperbanyak elemen membran yang baru bagi membran plasma, dan 6) memproses kembali komponen-komponen membran plasma yang telah memasuki sitosol selama endositosis. Badan Golgi berperan dalam banyak proses selular yang berbeda tetapi yang utama adalah dalam hal sekresi (Sheeler and Bianchi, 1987). Badan Golgi menerima produk sel tertentu dari RE dan membawa produk ini ke dalam vesikula sekretori yang akan meneruskan lintasannya menuju ke bagian luar membran plasma sel, dan berdiffusi dengan membran. Bagian ini dapat terbuka untuk membebaskan isi vesikula keluar. Proses ini disebut eksositosis (Lehninger, 1993). Protein yang disintesis oleh RE dipindahkan ke dalam badan Golgi. Disini karbohidrat tambahan dapat dibubuhkan kepadanya. Protein-protein ini terkumpul di dalam vesikula tadi sampai penuh. Vesikula-vesikula ini dapat berpindah ke permukaan sel dan mengeluarkan isinya ke bagian luar. Vesikula-vesikula berprotein yang lain pada badan Golgi dapat disimpan di dalam sel sebagai lisosom (Kimbal, 1983). Pemrosesan protein dimulai pada RE dan dilanjutkan di dalam sisterna badan Golgi. Protein ditransfer ke bagian cis diktiosom. Semua glycoprotein dari RE yang sampai pada cis badan Golgi memiliki cincin oligosakarida. Sebelum melewati satu sisterna Golgi ke sisterna berikutnya, protein akan mengalami pemrosesan. Misalnya di dalam sisterna cis, kelompok fospat ditambahkan pada akhir cincin oligosakarida dari protein untuk lisosom, sekresi protein dan protein untuk membran plasma yang akan menjalani pengolahan ekstensif (Sheeler and Bianchi, 1987). Di samping peranannya di dalam sekresi, badan Golgi berperan dalam mempersiapkan elemen-elemen membran untuk organel seperti lisosom dan membran plasma. Protein yang ditujukan sebagai komponen membran lisosom atau membran plasma ditambatkan pada membran RE. Pada saat sintesis, protein kemungkinan bergerak dari RE ke bagian cis, dan dari bagian cis melalui sisterna medial ke bagian trans sebagai komponen membran. Membran dari pembuluh ini keluar dari permukaan trans yang mengandung protein. Pembuluh ini mengandung protein sekresi yang digabungkan dengan membran plasma dan mengosongkan isinya diluar sel (Sheeler and Bianchi, 1987) Beberapa vesikula yang berada di dekat membran plasma yang bersebelahan dengan dinding sel, melebur antara vesikula dengan membran plasma hingga menambah luas permukaan membran sewaktu sel tumbuh (Salisbury and Ross, 1995). Badan Golgi juga bertindak memilih protein. Protein yang ditujukan untuk granular sekresi, lisosom dan membran plasma dikirimkan ke cis dari diktiosom sepanjang adanya kelebihan protein membran RE. Protein RE diyakini kembali ke retikulum endoplasma oleh pembuluh kecil yang dibebaskan dari cis sisterna. Rothman (Sheeler and Bianchi, 1987) menyatakan bahwa diktiosom terdiri dari tiga kompartemen, yaitu kompartemen cis, kompartemen medial dan kompartemen trans. Kompartemen cis menyortir dan melepaskan protein RE serta menambahkan phosfat pada terminal gula dari protein lisosom. Kompartemen medial (bagian tengah sisterna) adalah tempat dimana N-acetyglucosamine ditambahkan. Penambahan galaktosa terminal dan asam N-acetylneuraminik terjadi dalam kompartemen trans dan juga di mana berbagai protein akan diurutkan berdasarkan tujuan akhir. Peranan lainnya dari badan Golgi selain mempersiapkan elemen-elemen membran plasma yang baru, juga terlibat dalam pemrosesan kembali membran plasma yang memasuki sitosol selama endositosis. Komponen-komponen membran yang memasuki badan Golgi menyusul endositosis dapat diproses dan digunakan kembali dalam sekresi, dan pada pembentukan lisosom atau perbaikan membran plasma itu sendiri (Sheeler and Bianchi, 1987). PENUTUP 3.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat di ambil dari isi makalah yaitu sebagai berikut: badan golgi disebut juga aparatus Golgi, kompleks Golgi atau diktiosom adalah organel yang dikaitkan dengan fungsi ekskresi sel dan Struktur badan Golgi berupa berkas kantung berbentuk cakram yang bercabang menjadi serangkaian pembuluh yang sangat kecil di ujungnya sedangkan fungsi dari badan golgi antara lain: membentuk kantung ( vesikula ) untuk sekresi, membentuk membrane plasma, dan membentuk dinding sel tumbuhan. 3.2. Saran Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini, penulis banyak berharap para pembaca yang budiman berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis, demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA Ardiyanto.Taufik. (2011). Badan Golgi.[terhubung berkala] ( http: // taufik-ardiyanto. blogspot. com/2011/07/makalah-badan-golgi.html, 02 September 2011). Kimbal, J. W. (1990). Biologi. Terjemahan dari Biology oleh Hj. Siti Sutarmi dan N. Sugiri. IPB. Bogor. Bumi Aksara. Jakarta. Lehninger, A. L. (1993). Dasar-dasar Biokimia. Terjemahan dari Principles of Biochemistry oleh Thenawijaya, M. IPB. Bogor. Erlangga: Jakarta. Salisbury, F. B. dan C.W. Ross. (1995). Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Terjemahan dari Plant Physiology oleh D.R. Lukman dan Sumaryono. ITB. Bandung. Sativani.Riza. (2006). Badan Golgi. ( http://oryza -sativa135rsh .blogspot. com/search/label/badangolgi, 02 september 2011 ). Sheeler, P. and D. E. Bianchi. (1987). Cell and Molecular Biology Third Edition. John Wesley and Sons, Inc. New York.