Senin, 02 Januari 2017

PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA TERNAK UNGGAS

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor peternakan terhadap pembangunan pertanian cukup signifikan, dimana industri perunggasan merupakan pemicu utama perkembangan usaha di sub sektor peternakan. Permintaan pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu) dari waktu kewaktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambanan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran gizi, dan perbaikan tingkat pendidikan. Sehingga pengembangan peternakan mempunyai harapan yang baik dimasa depan karena permintaan bahan – bahan berasal dari ternak akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan yang bergizi tinggi. (Sudarmono, 2003) Produk unggas memberikan kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan nutrisi. Daging dan telur unggas umum dikonsumsi masyarakat karena mudah diperoleh dan harga lebih terjangkau dibandingkan dengan produk ternak besar serta siklus produksi unggas yang cepat menjadikan unggas sebagai ternak yang sangat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat. (Akil dkk, 2009). Pengembangan usaha ternak ayam akan berhasil apabila peternak mampu mengelola usaha ternaknya dengan baik. Pengelolaan usaha ternak ayam harus ditunjang dengan kemampuan manajemen yang baik, mulai dari manajemen produksi, keuangan, sumberdaya manusia, dan manajemen pemasaran. Peternak sebagai pengambil keputusan bisnis harus memiliki kompetensi yang baik untuk mengelola seluruh perusahaan, yang akan berpengaruh besar terhadap keberhasilan usahanya. Pengelolaan usaha ternak khususnya ayam broiler selalu dihadapkan pada risiko, karena itu pelaku bisnis ini harus disertai dengan pengetahuan dan kemampuan dalam meminimalkan risiko, sehingga usaha ini dapat memberikan keuntungan sesuai yang diharapkan peternak. Manajemen yang diterapkan oleh peternak haruslah efektif agar tujuan peternakan dapat tercapai. (Murtidjo. 1987) 1.2. Tujuan Member informasi mengenai manajemen pemeliharaan ternak unggas yang baik, sehingga bisa mendapatkan hasil produksi yang bagus 2.1. Penyakit Yang Sering Menyerang Ternak Unggas A. Penyakit Marek’s Penyakit Marek adalah suatu penyakit neoplastik dan neuropathic pada unggas, terutama ayam, disebabkan oleh virus sangat infeksius dari herpesvirus cell-associated (Venugopa, 2000). Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh seorang ahli patologi dari Hungaria bernama Jozsef Marek pada tahun 1907 yang menemukan ayam menderita paralisis berhubungan dengan polineuritis. Penyakit ini kemudian diketahui tersebar luas di berbagai negara dan mengakibatkan kerugian yang sangat besar, seperti tercatat di Amerika kerugian akibat penyakit per tahunnya sebelum adanya program vaksinasi mencapai 150 juta dollar (Fenner dkk, 1987). Penyakit Marek disebabkan oleh herpesvirus serotipe 1 yang bersifat onkogenik (dapat menimbulkan tumor), sangat menular dan limfoproliferatif (Calnek dan Witter, 1997). Virus ini bersifat cell-associated karena sulit bertahan di luar sel induk semangnya, kecuali pada sel epitel folikel bulu dimana dapat ditemukan virus terbebas dari sel. Di luar negeri, pada periode antara tahun 1950 hingga 1960, kejadian Marek dilaporkan di banyak negara sehingga banyak sekali penelitian yang dilakukan pada periode tersebut. Infeksi buatan berhasil dilakukan pada tahun 1962 dan agen penyebabnya diisolasi dan diidentifikasi pada tahun 1967. Pada tahun-tahun selanjutnya kejadian Marek (mortalitas 30−60%) dapat ditekan secara drastis dengan ditemukannya vaksin Marek pada tahun 1971. Meskipun demikian, penyakit ini tetap ditakuti oleh peternak komersial karena sejak tahun 1980 kejadian Marek secara sporadis masih dapat terjadi pada ayamayam yang telah divaksinasi. Hal ini disebabkan oleh adanya evolusi virus yang dapat memunculkan galurgalur virus baru yang lebih virulen (Payne dan Venugopal, 2000). Klasifikasi agen penyebab Menurut Komite Internasional Taksonomi Virus (ICTV) virus Marek dimasukkan ke dalam genus Herpesvirus, subfamili Gammaherpesvirinae dari famili Herpesviridae (Francki dkk., 1990). Virus Marek bersifat cell-associated, tetapi pada sel epitel folikel bulu virusnya dapat bersifat bebas. Sifat-sifat lymfotropiknya serupa dengan yang dimiliki oleh Gammaherpesvirus, namun struktur molekuler dan organisasi genomiknya serupa dengan yang dimiliki oleh Alphaherpesvirus. Morfologi Bentuk partikel virus Marek serotipe 1 adalah khas seperti herpesvirus lainnya. Virion umumnya terlihat di dalam inti sel, jarang terlihat pada sitoplasma ataupun pada rongga antar sel. Pengamatan bentuk dan ukuran virus pada biakan sel memperlihatkan nukleocapsid (tanpa amplop) berbentuk heksagonal dengan diameter berukuran 85 − 100 nm, sedangkan partikel beramplop memiliki diameter berukuran 150-160 nm. Sementara itu pengamatan virus pada epitel folikel bulu yang diwarnai dengan pewarnaan negative virus beramplop berukuran 273 − 400 nm dan tampak dalam bentuk amorphous yang tidak teratur dan dalam jumlah yang banyak dalam sitoplasma sel-sel berkeratin (Calnek dan Witter, 1997). DNA virus Calnek dan Witter (1997) merangkum tentang agen penyebab penyakit Marek bahwa virus Marek memiliki asam inti deoxyrybonucleic acid (DNA) berbentuk linear, double stranded dengan buoyant density 1.706 g/mL. Komposisi dasar DNA adalah guanine + cytosin ratio 46%. Berat molekul DNA adalah 108 − 120 x 106 dalton, atau setara dengan 166 -184 kilo basepair. Struktur genom serotipe-serotipe virus Marek memiliki kesamaan yaitu strukturnya terdiri atas satu daerah unik yang panjang (long unique region) dan daerah unik yang pendek (short unique region) dimana masing-masing daerah itu diikat oleh ulangan-ulangan terbalik (inverted repeats). Meskipun dijumpai adanya perbedaan kecil dari genomnya, ternyata perbedaan ini memiliki nilai potensil yang sangat berarti. Ukuran genomnya berbeda; genom virus Marek serotipe 1 adalah terbesar; genom virus Marek serotipe 2 pertengahan; serta genom virus Marek serotipe 3 (HVT) adalah terkecil. Serotipe-serotipe ini berbeda secara substansi pada pola digesti dengan enzim restriksi endonuklea, tetapi memberikan kesamaan secara nyata pada tingkat DNA terutama pada gen tertentu secara individu, seperti gen gB, gC, dan gH. Selanjutnya ada tiga kelompok gen penting, yaitu gen yang berhubungan dengan onkogenisitas (oncogenicity-related gen); gen glikoprotein (glycoprotein genes) dan gen lainnya (other genes). Gen onkogenisitas terdiri dari 132 bpr, pp38 dan meq. Gen glikoprotein terdiri dari gC, gB, dan gD, gE, gH, gK dan gL. Sementara itu gen-gen lainnya seperti gengen penghasil enzim, penghasil protein tegumen dan lain sebagainya juga telah diidentifikasi. Protein/antigen virus Dengan uji imunopresipitasi telah teridentifikasi sebanyak 46 polipeptida spesifik virus dari hasil eksraksi sel terinfeksi oleh virus Marek serotipe 1 atau serotipe 3 (HVT). Namun demikian sampai saat ini hanya beberapa polipeptida yang dianggap memiliki sifat antigenik penting, yaitu antigen A, B dan Phosphoprotein 38 (pp38). Antigen A adalah glikoprotein dengan berat molekul 57-65 kD atau disebut juga gp57/65. Protein ini dijumpai pada permukaan sel dan di dalam sitoplasma dari sel produktif terinfeksi. Protein ini secara aktif disekresi oleh sel terinfeksi, tetapi tidak berhubungan dengan onkogenisitas. Protein ini yang paling mungkin dianggap bertanggungjawab untuk merangsang antibodi (antibodi presipitin) dalam serum konvalesen yang dideteksi dengan uji Agar Gel Presitasi (AGP). Produksi antigen A menurun seiring dengan jumlah pasase seri dari virus Marek pada biakan sel. Penyebabnya kemungkinan besar adalah menurunnya transkripsi gen antigen A. Antigen B merupakan suatu ikatan kompleks dari tiga glikoprotein dengan berat molekul masing-masing 100 kD, 60 kD, dan 49 kD (gp100, gp60, gp49). Antigen B sangat penting karena berhubungan dengan respon kekebalan protektif. Antigen B dijumpai pada permukaan sel dan di dalam sitoplasma sel produktif yang terinfeksi virus. Antigen ini tidak disekresikan oleh sel, dan antigen ini merangsang antibodi netralisasi. Antigen phosphoprotein 38 (pp38) adalah suatu ikatan kompleks phospho-protein spesifik virus mengandung polipeptid-polipeptid dengan berat molekul mulai dari 39-36 kD dan 24 kD. Antigen ini dapat dijumpai secara tidak konsisten dalam sitoplasma sel yang ditransformasi oleh virus MD, dalam sel-sel limfosit terinfeksi secara latent seperti halnya sel terinfeksi lainnya termasuk sel epitel folikel bulu. Antigen pp38 dapat didemonstrasikan pada sel-sel yang terinfeksi secara latent serta sel-sel tumor MD. Meskipun pemunculannya tidak konsisten pada sel-sel terinfeksi tersebut, adanya antigen pp38 pada sel-sel tumor tadi dapat memberikan arti diagnostik yang berharga (Calnek dan Witter, 1997). Patogenesis Penyakit Marek Patogenesis penyakit Marek sangat kompleks. Untuk memudahkan pemahamannya maka para ahli melakukan pendekatan-pendekatan dengan meninjau dari berbagai aspek secara terpisah-pisah, meliputi faktor patogenesis; jenis infeksi; serta patogenesis itu sendiri. Faktor patogenesis Menurut Payne (1985) ada 4 faktor yang mempengaruhi patogenesis dari penyakit Marek yaitu: Galur dan dosis virus. Struktur molekuler virus Marek ternyata berkaitan langsung dengan potensi onkogenesitas, sehingga semakin tinggi tingkat onkogenesitas virus maka semakin parah kerusakan yang dapat ditimbulkannya (Gimeno dkk, 1999). Selain itu dosis virus juga akan mempengaruhi hasil akhir infeksi (Payne, 1985). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa virus Marek mempunyai kemampuan untuk bermutasi menjadi lebih virulen. Menurut Witter (2001b) beberapa faktor lingkungan yang mendukung hal ini antara lain pemakaian vaksin dengan dosis subprotektif, dan sistem manajemen yang hanya mengutamakan target produksi. Beberapa galur ayam diketahui ada yang lebih peka dan lebih resisten terhadap penyakit Marek (Gimeno, 1999). Galur yang lebih resisten memiliki alel B-21 pada sistem major histocompatibility complex (MHC) (Allan dkk, 1982). Sementara itu umur ayam yang lebih muda terbukti lebih peka terhadap infeksi (Hungerford, 1969). Ayam betina lebih peka terhadap infeksi, ovarium merupakan tempat pembentukan limfoma yang paling sering ditemukan (Calnek dan Witter, 1984). Tanpa antibodi maternal ternyata ayam yang berumur 1 hari dari galur yang lebih resisten tetap dapat terinfeksi penyakit Marek dan resistensi baru berkembang beberapa minggu kemudian (Payne dan Venugopal, 2000). Status kekebalan ayam Kekebalan dapat diperoleh secara pasif dari antibodi maternal atau secara aktif dari infeksi alamoleh virus Marek dengan patogenesitas rendah atau dari vaksinasi. Adapun antibodi yang diperoleh secara pasif biasanya dapat bertahan sekitar 3 minggu dan mempunyai efek sebagai berikut: menekan infeksi sitolitik akut pada jaringan limfoid, menghambat pembentukan limfoma, memperpendek onset penyakit dan menurunkan angka mortalitas (Payne, 1985). Witter (2001b) menambahkan bahwa infeksi intercurrent, stress dan dosis vaksin yang tidak tepat juga dapat mempengaruhi kekebalan ayam. Stres Ayam dalam keadaan stres ditandai dengan meningkatnya kadar hormon kortikosteron sehingga memicu keadaan imunodepresi dan ayam lebih peka terhadap infeksi virus Marek (Witter, 2001b). Jenis infeksi Payne (1985) secara sistematis membagi patogenesis penyakit Marek menjadi 4 jenis infeksi yaitu: 1. Infeksi yang sangat produktif, yang ditandai dengan produksi virion yang amat infeksius pada epitel folikel bulu. 2. Infeksi semi produktif, merupakan infeksi yang lebih terbatas pada organ limfoid dan organ parenkim dimana virus dan inti virion dalam kondisi cell associated. 3. Infeksi neoplastik yang non produktif, merupakan suatu keadaan dimana genom virus bertahan pada sel limfoid dengan ekspresi antigenik yang terbatas. Infeksi ini kemudian akan menghasilkan limfoma dan pada tahap inilah Marek Disease Tumour-Associated Surface Antigen (MATSA) biasanya muncul dan dapat dideteksi pada limfoma atau lymphoblastoid cell line asal limfoma (Calnek dan Witter, 1997). 4. Infeksi laten yang non produktif, dimana genom virus bertahan di dalam sel limfoid tanpa menunjukkan aktifitas antigen. Walaupun demikian virus tetap dapat diisolasi pada tahap ini baik secara in vivo maupun in vitro. Patogenesis Sebenarnya patogenesis penyakit Marek tergolong kompleks dengan rute infeksi melalui inhalasi udara yang terkontaminasi masuk ke saluran pernapasan (Hungerford, 1969). Adapun menurut Payne dan Venugopal (2000) terdapat 4 tahap kejadian yang melandasinya yaitu: infeksi sitolitik awal, infeksi laten, infeksi sitolitik akhir dengan imunosupresi dan transformasi neoplastik. Secara kronologis infiltrasi selular terjadi mulai 5 hari setelah infeksi dan terus berlangsung sekitar 3 minggu, diikuti dengan lesi neural yang khas, dengan maupun tanpa disertai pembentukan limfoma (Calnek dan Witter, 1997). Virus Marek bersifat limfotropik dengan target utama limfosit yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Pada tahap sitolitik awal sel B yang memproduksi antibodi adalah sel yang pertama kali diserang (Payne dan Venugopal, 2000). Selanjutnya infeksi sitolitik terjadi pada sel T yang diaktifasi dan terlibat dalam respon yang dijembatani oleh cell mediated immunity (CMI). Dalam hal ini dapat dibuktikan bahwa sel T tersebut didominasi oleh fenotip CD4 dan sedikit CD8 (Okada dkk, 1997; Venugopal, 2000). Reaksi ini berdampak pada atropi bursa Fabrisius dan timus sehingga menyebabkan imunosupresi. Sementara itu virus menyebar ke folikel bulu yang diduga keras merupakan tempat yang paling produktif dalam menyebarkan infeksi. Setelah infeksi sitolitik awal, infeksi beralih ke tahap laten pada sel T yang infektif sehingga menimbulkan regresi organ limfoid. Hal ini diikuti oleh pembentukan limfoma pada berbagai organ jeroan. Sejauh ini penyebab lesi neural pada penyakit Marek diduga kuat dikontrol oleh gen MHC dan sel B (Calnek dan Witter, 1997). Masa inkubasi Oleh karena rumitnya pola patogenesis penyakit Marek yang berhubungan dengan berbagai faktor tersebut di atas, maka masa inkubasi penyakit sangat bervariasi, dari beberapa minggu sampai beberapa bulan (Payne dan Venugopal, 2000). Namun demikian Fenner dkk. (1987) menyatakan pada ayam umur sehari yang sangat peka (tanpa kekebalan maternal dan peka secara genetik) infeksi virus virulen mengakibatkan lesi mikroskopik yang dapat terdeteksi paling cepat 1 − 2 minggu setelah infeksi. Lesi makroskopik mulai tampak 3 − 4 minggu setelah infeksi. Sementara itu maksimum pengeluaran virus terjadi pada 5 − 6 minggu setelah infeksi. Hewan karier Allan dkk. (1982) menyatakan bahwa meskipun penyakit Marek tidak selalu berakhir dengan kematian namun sekali ayam terinfeksi maka viremia akan tetap berlangsung sehingga ayam menjadi karier yang berpotensi untuk menyebarkan infeksi. Cara penularan penyakit Hewan yang sakit ataupun hewan yang sembuh dari Marek dan menjadi karier akan mengeluarkan virus ke lingkungan. Penyakit Marek menular secara horizontal, tetapi tidak secara vertikal (Calnek dan Witter, 1997). Penularan penyakit secara horizontal dapat secara langsung maupun tidak langsung secara per inhalasi ke saluran pernafasan. Folikel bulu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang paling produktif dalam perkembangan virus infeksius dan sangat potensil menyebarkan infeksi, meskipun virus Marek dapat berada dalam darah, pada mulut, hidung, mukosa trakhea dan kloaka. Shane (1998) menyatakan virus MD ini kemudian menkontaminasi lingkungan (udara, litter, debu, peralatan kandang, petugas kandang, dan lain-lain). Penularan penyakit dari sumber infeksi potensial (folikel bulu dan debu kandang terkontaminasi virus MD, dan lain-lain) paling efektif terjadi melalui inhalasi ke saluran pernapasan (Allan dkk, 1982). Calnek dan Witter (1997) menyatakan penularan penyakit melalui vektor serangga dan koksidia tidak terjadi, kecuali sejenis kumbang (darkling beetles/Alphitobius diaperinus) yang dapat membawa virus secara pasif. B. Chronic Respiratory Disease (CRD) Chronic respiratory disease (CRD) pada ayam merupakan penyakit endemik patogen yang sangat merugikan industri perunggasan tidak saja di Indonesia (Romindo, 2007) tetapi juga di banyak negara di dunia (Ley, 2003). Menurut OIE (2007), CRD masuk dalam notifiable diseases, artinya jika terjadi kasus CRD di lapang harus segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera ditanggulangi. Kejadian CRD sudah lama terjadi di dunia (Van Roekel dan Olesiuk, 1953), di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Richey dan Dirdjosoebroto (1965). Sekarang penyakit ini sudah tersebar di seluruh Indonesia (Soeripto, 2000). Belum banyak peternak yang menyadari bahwa CRD selain merugikan secara ekonomi dari hulu ke hilir (Kleven, 1990), CRD juga menyebabkan tekanan (suppression) terhadap kekebalan tubuh (immunosuppressive). Hal ini mengakibatkan tubuh gagal memperoleh imunitas yang diperoleh dari vaksinasi (Szathmari dan Stipkovits, 2006). Selain itu, ayam yang terinfeksi menjadi karier sehingga wilayah dimana peternakan itu berada menjadi daerah endemik. Mekanisme Infeksi Mekanisme infeksi, MG masuk melalui rongga hidung kemudian melekat pada reseptor epitel yang disebut sialoglycoprotein (Patron recognition receptors sites) yang dimediasi oleh adhesin dan protein yang disebut bleb (Pathogen associate molecular patrons) yang terletak pada ujung organ sel mikoplasma (Tajima dkk, 1982). Selanjutnya, sel mikoplasma melakukan penetrasi dan merusak mukosa epitel sambil memperbanyak diri. Dengan perantaraan gerakan silia epitel dan bleb, sel mikoplasma bergerak menuju kantong membran udara abdominal (Szathmary dan Stipkovits, 2006). Mekanisme infeksi MG sampai masuk ke indung telur atau oviduct dan menyebabkan penyebaran vertikal sampai saat ini belum diketahui. Peradangan yang terjadi pada jaringan epitel bukanlah akibat dari toksin mikoplasma tetapi lebih disebabkan karena respons imun dari induk semang berupa reaksi peradangan (Razin dkk, 1998). Peradangan ini menyebabkan terhambatnya perkembangan sel T helper 1 (Th1 cell) sehingga sel T sitotoksik (killer cytotoxic T cell) menjadi tidak aktif yang mengakibatkan infeksi patogen menjadi persisten (Reddy dkk, 1998). Akibat lain yaitu terjadi peningkatan produksi Tumor necrosis factor (TNF) yang mengakibatkan respon sel Th2 menurun, yang mengakibatkan respon netralisasi antibody terhadap infeksi bakteri atau virus juga menurun drastic (Szathmary dan Stipkovits, 2006). Kondisi ini menjelaskan kenapa infeksi mikoplasma menyebabkan imunosupresif terhadap ayam yang terinfeksi MG. Gejala Klinis Masa inkubasi infeksi berkisar antara 6 – 21 hari (Ley, 2003). Tetapi pada kondisi alam sulit diprediksi karena faktor-faktor lingkungan yang dapat berkontribusi terhadap derajat infeksi. Makin buruk kondisi lingkungan dan atau manajemen kesehatan, kandang dan sebagainya maka masa inkubasinya dapat lebih cepat (Ley, 2003). Predileksi atau tempat bersarangnya infeksi MG terletak pada jaringan epitel organ pernafasan (Tajima dkk., 1979) dan pada conjunctiva mata (Nunoya dkk, 1995). Jarang sekali MG bersarang pada jaringan internal organ, kecuali pada kalkun yang dilaporkan dapat menyebar ke otak (Thomas dkk, 1966). Gejala klinis bervariasi dari subklinis sampai kesulitan pernafasan tergantung dari derajat keparahan infeksi. Gejala klinis diawali dengan keluarnya cairan eksudat bening (catarrhal) dari rongga hidung, bersinbersin, batuk, ngorok dan radang conjunctiva (conjunctivitis). Ayam jantan biasanya memperlihatkan gejala klinis yang lebih jelas (Ley, 2003). Jika infeksi berlanjut dan disertai infeksi sekunder maka eksudat hidung yang keluar menjadi agak kental. Gejala pernafasan ini kemudian diikuti dengan turunnya nafsu makan, berat badan dan produksi telur, sedangkan konversi pakan naik (Mohammed dkk, 1987). Gejala pernafasan ini tidak spesifik karena bisa dikelirukan dengan penyakit pernafasan lain seperti Infectious coryza (Snot), Newcastle disease (ND) atau Infectious bronchitis (IB). Pada infeksi yang kompleks dengan infeksi lain seperti infeksi Escherichia coli atau viral maka gejala klinis menjadi lebih parah (Ley, 2003). Patologi Perubahan patologi yang paling spesifik untuk CRD yaitu adanya peradangan pada trakhea dan kantong membran udara khususnya pada rongga perut yang disebut dengan airsacculitis, oleh karena itu penyakit ini disebut juga dengan Airsac disease (Ley, 2003). Faktor predisposisi yang memperparah terjadinya infeksi yaitudewasa), sex (ayam jago lebih peka dibandingkan dengan ayam betina), stres, bau amoniak, lingkungan yang berdebu serta perubahan suhu yang mendadak (Kleven, 1990). Perubahan histologi infeksi MG spesifik ditandai dengan penebalan membran mukosa yang diakibatkan oleh infiltrasi sel mononuklear dan hiperplasia glandula mukosa (Whithear dkk., 1996). Fokal hiperplasia sel limpoid ditemukan pada submukosa alat pernafasan. Pembengkakan sel epitel dan kerusakan silia pada trakhea sering terlihat. Penebalan mukosa trakhea biasanya digunakan sebagai indikasi infeksi MG (Ley, 2003). Diagnosis Diagnosis dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis dan perubahan patologi anatomi yaitu berupa airsacculitis mulai dari penebalan kantong udara rongga perut sampai terlihat adanya perkejuan di satu atau kedua sisi rongga perut, tergantung dari derajat keparahan infeksi (Ley, 2003). Akurasi diagnosis harus dilakukan dengan isolasi atau deteksi kuman penyebab. Isolasi MG biasanya memerlukan waktu yang panjang, karena pertumbuhannya memakan waktu 5 – 7 hari atau lebih lama (pengamatan pribadi). Untuk identifikasi cepat dapat digunakan teknik immunofluorescent (GardelaA dkk, 1983) atau immunoperoxidase (Bencina dan Bradbury, 1992). Teknologi PCR yang sangat peka dapat juga digunakan untuk identifikasi antigen MG (Raviv dkk, 2008). Serologi seperti uji serum aglutinasi cepat (SAC), inhibisi hemaglutinasi (IH), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dapat digunakan untuk monitoring antibodi MG (Soeripto, 1993). Pengobatan Pengobatan terhadap CRD sudah sering dilakukan tetapi sampai saat ini CRD masih tersebar di seluruh dunia. MG diketahui tidak memiliki dinding sel sehingga pengobatan tidak bisa dilakukan dengan menggunakan penisillin dan derivatifnya karena daya kerja antibiotika ini pada dinding sel (Pugh, 1991). Pengobatan biasanya dilakukan dengan menggunakan antibiotika makrolid seperti tiamulin, tylosin, lincomycin, oxytetracyclin dan enrofloxacin yang memiliki daya kerja menghambat sintesis protein (Soeripto, 2008). Pengobatan yang terus menerus dengan obat yang sama tidak disarankan, karena dapat menyebabkan resistensi serta meninggalkan residu yang berbahaya bagi konsumen produk ayam (Wahyuwardani dan Soeripto, 1998). C. Infeksius Coryza (SNOT) Infeksius coryza (Snot) merupakan penyakit pernafasan bagian atas pada unggas, terutama ayam, yang bersifat akut. Penyakit ini telah menyebar luas di seluruh dunia, dan kejadiannya sering pada musim dingin atau udara jelek. Penyebaran penyakit dalam kandang sangat cepat, baik secara kontak langsung dengan ayam-ayam sakit, maupun tidak langsung melalui air minum, udara, dan peralatan yang tercemar (Hinz, 1981). Gejala-gejala klinis penyakit ini ditandai dengan keluarnya eksudat dari hidung, muka bengkak karena edema di bawah kulit, konjungtivitis, anoreksia, dan kadang-kadang sulit bernapas. Biasanya penyakit ini merupakan komplikasi dengan penyakit lain, seperti Fowl pox, Mycoplasma (CRD), New castle disease (ND), Infectious bronchitis (IB), Infectious laryngotracheitis (ILT) dan lain-lain (Gordon dan Jordan, 1982). Agen Penyebab Infeksius coryza merupakan salah satu penyakit pernafasan pada unggas, khususnya ayam, yang disebabkan oleh bakteri gram negatif, dengan ukuran kecil + 0,3 μm, bersifat mikroaerofilik dan tidak bergerak/non motil (Gordon dan Jordan, 1982). Penyebab penyakit ini pertama kali ditemukan oleh De BlieckLIECK (1932), seorang Belanda pada tahun 1931-1932, yang diberi nama Bacillus Haemoglobinophilus coryza gallinarum. Atas usul para peneliti dari Amerika, maka nama bakteri tersebut diganti menjadi Haemophilus gallinarum (Eliot dan Lewis, 1934). Pada awalnya bakteri ini diduga memerlukan hemin (faktor x) dan nocotinamide adenine denucleotide/NAD (faktor v) untuk pertumbuhannya (Schalm dan Baech, 1936). Kemudian Page (1962) membuktikan bahwa Haemophilus penyebab Infeksius coryza pada unggas hanya memerlukan faktor v (NAD) dan tidak faktor x (hemin). Pada tahun 1969, Biberstein dan White (1969) menemukan spesies lain kuman penyebab Infeksius coryza khusus pada ayam, H. paragallinarum, dan bakteri ini juga hanya memerlukan faktor v untuk pertumbuhan in vitro. Sementara itu, Haemophilus penyebab Infeksius coryza pada unggas, selain ayam, yang memerlukan NAD dan hemin untuk pertumbuhan in vitro dinamakan H. avium (Reid dan Blackall, 1984). Page (1962) mengklasifikasikan Hpg penyebab Infeksius coryza pada ayam ke dalam 3 serotipe, yaitu A, B, dan C dengan metode Plate Aglutination Test (PAT). Dalam penelitian yang terpisah Blackall dkk. (1997) mengklasifikasikannya ke dalam 3 serotipe, yaitu I, II, dan III, tetapi selanjutnya dikatakan bahwa serotipe II dan III merupakan varian dari serotipe I. Kemudian Sawata dkk. (1979) mengembangkannya lebih lanjut dengan metode Rapid PAT dan Cross Absorption Test (CAT), dan mengidentifikasi 2 serotipe, yaitu 1 dan 2. Di mana, serotipe 1 dan 2 dari SAWATA identik dengan serotipe A dan C dari Page (Kume dkk, 1980). Epidemiologi Sampai sejauh ini belum penah dilakukan survai atau penelitian mengenai epidemiologi Infeksius coryza pada ayam di Indoneisa secara lengkap dan terarah. Informasi yang dimaksud terbatas hanya pada data yang diambil sebagai pelengkap atau pendukung dalam rangka penelitian lain. Walaupun demikian data yang ada ini setidaknya dapat memberikan informasi yang berguna. Seperti yang telah diuraikan terdahulu bahwa Infeksius coryza di Indonesia menyerang berbagai jenis ayam, seperti ayam Kampung, ayam ras petelur, dan ayam ras pedaging (Takagi dkk, 1991). Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil survai di Kabupaten Bogor, Tangerang, Sukabumi, Bekasi, dan Cianjur diketahui bahwa dalam 1 flok ayam petelur, angka kesakitan berkisar antara 30-40% dengan penurunan produksi telur antara 10-50%, dan perjalanan penyakit berkisar antara 1-3 minggu. Setelah ayam-ayam tersebut sembuh dari sakit, produksi telur akan kembali normal (recovery) dalam waktu + 1 bulan. Angka kesakitan seperti yang dilaporkan di atas, lebih rendah dari angka kesakitan yang dilaporkan dalam penelitian sebelumnya yang berkisar antara 80-100% (Gordon dan Jordan, 1982). Perbedaan ini kemungkinan karena sekarang ini para peternak di lapangan telah melakukan program vaksinasi secara teratur, baik terhadap penyakit Infeksius coryza maupun untuk penyakit kain. Khusus untuk penyakit Infeksius coryza, vaksinasi pada ayam petelur dan pembibitan dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada umur 6-9 minggu dan ulangannya dilakukan pada umur 12-18 minggu. Vaksin yang dipakai adalah vaksin mati (killed) bivalen serotipe A dan C. Baru-baru ini telah dipasarkan vaksin Infeksius coryza trivalen serotipe A, B, dan C. Gejala klinis Gejala-gejala klinis dari penyakit ini ditandai dengan keluarnya eksudat dari hidung yang mula-mula berwarna kuning dan encer (sereous), tetapi lama-lama berubah menjadi kental dan bernanah dengan bau yang khas (mucopurulent). Bagian paruh di sekitar hidung tampak kotor atau berkerak oleh sisa pakan yang menempel pada eksudat. Sinus infraorbitalis membengkak, yang ditandai dengan pembengkakan sekitar mata dan muka. Kadang-kadang suara ngorok terdengar dan ayam penderita agak sulit bernafas. Penurunan nafsu makan dan diare sering terjadi, sehingga pertumbuhan ayam menjadi terhambat dan kerdil (Gordon dan Jordan, 1982; Blackall dkk, 1997). Pengobatan Infeksius coryza Untuk pengobatan diberikan antibiotika melalui suntikan atau air minum selama 3-7 hari berturut-turut, tergantung ringan beratnya serangan penyakit. Dengan intensifnya pemakaian antibiotika untuk pencegahan dan pengobatan penyakit, telah dilaporkan adanya kuman Hpg yang resisten terhadap beberapa antibiotika dan preparat sulfa secara in vitro (Takagi dkk, 1991). Takagi dkk. (1991) melaporkan bahwa hasil uji sensitifitas antibiotika terhadap tiga isolat Hpg asal Bogor adalah 3 isolat resisten terhadap dihidrostreptomisin; 2 isolat resisten terhadap ampisilin; 1 isolat resisten terhadap kanamisin, spiramisin, eritromisin, dan kolistin; 1 isolat resisten terhadap novobiosin; dan 1 isolat lain resisten terhadap oksitetrasiklin. Sementara itu, Poernomo dkk. (1997) melaporkan bahwa dari 23 isolat Hpg asal Kabupaten Bogor, Bandung, Ciamis, Subang, Surakarta, dan Lampung ternyata urutan obat yang resisten adalah kolistin 13 isolat, streptomisin 11 isolat, neomisin 8 isolat, eritromisin 7 isolat, oksitetrasiklin 5 isolat, ampisilin 4 isolat, doksisiklin 2 isolat, dan sebanyak 6 isolat resisten terhadap sulfametoksazol-trimetoprin 3.1. Faktor Penyebab Penyakit Pada Unggas Kesehatan ternak merupakan kunci penentu keberhasilan suatu usaha peternakan. Motto klasik tetap berlaku sampai saat ini, yaitu pencegahan lebih baik daripada pengobatan, sehingga tindakan-tindakan seperti sanitasi, vaksinasi dan pelaksanaan biosekuritas di lingkungan peternakan secara konsisten harus dilaksanakan. Arti sehat bagi ternak adalah suatu kondisi dimana di dalam tubuh ternak berlangsung proses-proses normal, baik proses fisis, kimiawi , biokimiawi dan fisiologis yang normal. Sebaliknya sakit adalah kondisi ternak yang sebaliknya. Seringkali pengobatan terhadap suatu penyakit tidak membuahkan hasil, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain harus dimengerti bahwa tidak semua penyakit dapat diobati, seperti penyakit virus. Penyakit-penyakit non infeksius harus diatasi dengan memperbaiki tatalaksana budidaya yang baik dan benar. Berdasarkan pemikiran tersebut sangat perlu untuk diketahui adanya faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit pada ternak, sehingga dapat dilakukan metode penanggulangan penyakit yang efisien dan efektif. Timbulnya penyakit pada ternak merupakan proses yang berjalan secara dinamis dan merupakan hasil interaksi tiga faktor, yaitu ternak, agen penyakit (pathogen) dan lingkungan. Lingkungan memegang peran yang sangat penting dalam menentukan pengaruh positif atau negatif terhadap hubungan antara ternak dengan agen penyakit. Interaksi ketiga faktor yang normal dan seimbang sebagaimana akan menghasilkan ternak yang sehat dan tidak ada wabah penyakit. Keseimbangan ketiga faktor di atas tidak selalu stabil, pada keadaan tertentu akan berubah. Jika hal ini terjadi maka ternak yang dipelihara akan sakit dan menunjukkan tampilan (performance) yang tidak memuaskan. Terdapat beberapa kondisi yang mampu menciptakan perubahan keseimbangan ketiga faktor tersebut. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah (1) perubahan-perubahan yang terjadi pada ternak, misalnya penurunan kondisi tubuh yang mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : kualitas dan kuantitas zat-zat gizi dalam pakan yang kurang, faktor-faktor yang mampu menekan timbulnya kekebalan (immunosupressif) dalam tubuh ternak, sehingga akan terjadi kegagalan dalam program vaksinasi. Di lain pihak terjadi peningkatan tantangan terhadap ternak oleh mikroorganisme yang hidup dan berkembang di sekeliling ternak akibat sistim biosekuritas yang tidak konsisten, waktu istirahat kandang yang minim, kegagalan program vaksinasi dan pengobatan (2) terjadi perubahan hanya pada aspek lingkungan, sedangkan kondisi hewan ternak dan mikroorganisme tidak berubah. Perubahan lingkungan ini mungkin disebabkan oleh perubahan iklim, perubahan suhu dan kelembaban lingkungan yang ekstrim, ketinggian tempat, kesalahan menejemen, seperti : kepadatan kandang yang tinggi, ventilasi yang jelek, intensitas cahaya yang terlalu tinggi, kegaduhan suara dan tingginya tingkat polusi. Kondidi-kondisi lingkungan demikian akan berdampak negatif bagi ternak yang berakibat penurunan kondisi tubuh ternak, sebaliknya menguntungkan bagi mikroorganisme untuk berkembang biak, baik jumlah maupun jenisnya. Tiga aspek usaha penting harus dilakukan guna mencegah wabah penyakit di lingkungan peternakan, yaitu (1) usaha-usaha mengurangi jenis dan jumlah mikroorganisme, terutama yang patogen di sekeliling ternak yang dipelihara (aspek mikroorganisme) (2) usaha-usaha mencegah terjadinya kontak antara ternak yang dipelihara dengan mikroorganisme patogen (aspek lingkungan) dan (3) usaha-usaha meningkatkan daya kebal tubuh ternak yang dipelihara (aspek ternak). (Rahayu, 2000). Agen penyebab penyakit pada ternak unggas dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu a) penyebab fisik, b) penyebab kimiawi, dan c) penyebab biologis. Penyebab Fisik Penyakit ternak yang disebabkan oleh agen fisik antara lain luka akibat benturan, terjatuh dan terjepit. Penanganan kasar dan tidak bagus oleh anak kandang sering kali menyebabkan luka-luka pada tubuh ternak. Penyebab Kimiawi Penyakit yang disebabkan oleh agen penyakit yang bersifat kimiawi antara lain : penyakit defisiensi dan keracunan. Penyakit defisiensi mineral, seperti kalsium menyebabkan pertumbuhan terhambat, konsumsi pakan turun, laju metabolik basal meningkat, dan aktivitas menurun. Contok penyakit akibat keracunan adalah Turkey Diseases merupakan penyakit akibat keracunan oleh mikotoksin yang mencemari bahan pakan pernah terjadi di Inggris dan menyebabkan kematian sampai 10.000 ekor kalkun. Mikotoksin adalah sejenis racun yang dihasilkan oleh sejenis jamur. Mikotoksin terkenal yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus disebut aflatoksin bersifat sangat toksik bagi ternak, baik unggas maupun ruminansia. Keracunan bisa juga disebabkan oleh bahan-bahan anorganik, seperti : H2S, NH3, CH4, merkaptan dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut sebagai kontaminan yang dibebaskan dari kotoran ternak. Amoniak memiliki arti penting pada peternakan ayam oleh karena gas tersebut tersebar luas di peternakan dan memberikan andil yang cukup besar dalam mempengaruhi kesehatan ternak maupun dan manusia. Toleransi maksimal manusia terhadap amoniak sebesar 5 – 10 ppm dan pada unggas sebesar 15 – 20 ppm. Pada manusia, kadar amoniak 20 ppm menyebabkan iritasi mata dan saluran pernapasan. apabila terjadi kontak dalam waktu yang lama menyebabkan ternak tersebut terserang pneumonia maupun penyakit pernapasan yang lain. Pada kadar tersebut broiler akan terganggu pertumbuhannya sampai 7%. Pada kadar amoniak antara 50 –100 ppm akan mengganggu pertumbuhan broiler dan pulet sebesar 15%. Penyebab Biologis Penyebab penyakit yang berupa agen biologis antara lain : bakteri, virus, jamur, protozoa dan metazoa. Penyakit akibat agen biologis ini bersifat menular (infeksius), sedangkan agen kimiawi maupun fisik bersifat tidak menular (non infeksius). Pada umumnya penyakit virus bersifat sangat akut karena menimbulkan angka kematian yang tinggi bagi ternak dan penyakit ini tidak dapat diobati, hanya dapat dicegah dengan sanitasi dan vaksinasi. Pengobatan pada penyakit virus dengan antibiotik dimaksudkan tidak untuk membunuh virus, namun hanya bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri yang memperburuk kondisi ternak. Demikian pula pemberian vitamin dan cairan elektrolit pada penyakit virus bertujuan untuk mempertahankan kondisi tubuh ternak supaya tetap baik. Penyakit bakterial pada ternak tidak selalu bersifat kronis. Tingkat keparahan penyakit sangat tergantung pada jenis dan jumlah bakteri yang menginfeksi. Penggunaan antibiotik yang tepat sesuai dengan jenis bakteri yang menyerang bisa menghasilkan angka kesembuhan yang memuaskan, namun penggunaan antibiotik yang kurang tepat akan menyebabkan terjadinya resistensi dan meningkatkan residu antibiotik pada produk-produk ternak. (Unandar, 2001) 1.4. Pengendalian Dan Penanggulangan Penyakit Pada Unggas Yang Disebabkan Mikroorganisme A. Pengendalian Penyakit Penyakit Marek tidak dapat diobati dengan efektif baik secara individual maupun pada flok secara keseluruhan, meskipun kesembuhan spontan dapat terjadi (Calnek dan Witter, 1984; Charlton dkk, 2000). Namun demikian kejadian penyakit penyakit dapat dicegah dengan melakukan berbagai cara, antara lain: vaksinasi, pemilihan galur ayam yang lebih resisten terhadap penyakit serta sistem manajemen untuk meningkatkan sanitasi dan biosekuritas. Vaksinasi Sampai saat ini vaksinasi masih dianggap sebagai strategi utama dalam mencegah penyakit pada ayam. Vaksin dapat berbentuk monovalen atau bivalen (Calnek dan Witter, 1997). Vaksin monovalen biasanya berasal dari serotipe 1 yang diatenuasi (misalnya Rispen) atau serotipe 3 (HVT), sedangkan vaksin bivalen biasanya berupa gabungan serotipe 3 (HVT) dan serotipe 2 (misalnya SB-1 atau 301B) (Charlton dkk, 2000). Vaksin bivalen ini dianggap lebih bagus, akan tetapi menurut Allan dkk. (1982) dan Venugopal (2000) vaksin monovalen berisi serotipe 1 adalah yang paling banyak dipakai karena mampu melawan vvMDV dan vv+MDV. Jika vaksinasi sudah diberikan tetapi wabah tetap terjadi maka revaksinasi oleh vaksin sejenis percuma untuk dilakukan karena ini pertanda bahwa ayam terserang oleh virus penyakit dari jenis yang lebih virulen (Calnek dan Witter, 1997; Charlton dkk, 2000). Hal ini memperlihatkan suatu kegagalan vaksinasi. Payne dan Venugopal (2000) menyatakan beberapa hal yang dapat mengakibatkan kegagalan program vaksinasi, yaitu (1) ayam terinfeksi oleh virus ganas sebelum vaksin bekerja sempurna dalam tubuh ayam; (2) pembentukan respon kekebalan akibat vaksinasi terhambat karena adanya antibodi maternal dalam tubuh ayam; (3) ketidak sesuaian dalam aplikasi vaksin; (4) vaksin yang digunakan berasal dari strain yang tidak protektif. Oleh karena adanya mutasi virus Marek terjadi secara perlahan namun terus menerus maka pengembangan vaksin diarahkan untuk memproduksi vaksin rekombinan DNA (Payne dan Venugopal, 2000). Pendekatan immunomodulatory untuk meningkatkan respon vaksin dan usaha untuk memanfaatkan sifat mutagenesis dari galur virus Marek yang diatenuasi terus diupayakan karena beberapa gen (terutama area U) dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi pertumbuhan virus (Venugopal, 2000). Biosekuriti Pada Peternakan Biosekuriti mencakup tiga hal utama : yaitu 1) Meminimalkan keberadaan penyebab penyakit, 2) Meminimalkan kesempatan agen penyakit berhubungan dengan induk semang dan 3) Membuat tingkat kontaminasi lingkungan oleh agen penyakit seminimal mungkin. Selanjutnya bila biosekuriti dilihat dari segi hirarki terdiri atas tiga komponen yakni biosekuriti konseptual, biosekuriti struktural dan biosekuriti operasional (Sudarisman, 2000). Biosekuriti konseptual merupakan biosekuriti tingkat pertama dan menjadi basis dari seluruh program pencegahan penyakit, meliputi pemilihan lokasi kandang, pemisahan umur unggas, kontrol kepadatan dan kontak dengan unggas liar, serta penetapan lokasi khusus untuk gudang pakan atau tempat mencampur pakan. Biosekuriti struktural, merupakan biosekuriti tingkat kedua, metiputi hal hal yang berhubungan dengan tataletak peternakan (farm), pernbuatan pagar yang benar, pembuatan saluran pembuangan, penyediaan peralatan dekontaminasi, instalasi penyimpanan pakan, ruang ganti pakaian dan peralatan kandang. Sedangkan biosekuriti operasional adalah biosekuriti tingkat ketiga, terdiri dari prosedur manajemen untuk mencegah kejadian dan penyebaran infeksi dalam suatu farm. Biosekuriti ini harus ditinjau secara berkala dengan melibatkan seluruh karyawan, berbekal status kekebalan unggas terhadap penyakit. Biosekuriti operasional terdiri atas tiga hal pokok, yakni a) pengaturan traffic control, b) pengaturan dalam farm dan, c) desinfeksi yang dipakai untuk semprot kandang maupun deeping seperti golongan fenol (atkohol, lisol dan lainnya); formatin; kaporit; detergen, iodine dan vaksinasi. (Sudarisman, 2000). Program Pengendalian Penyakit Tujuan pengendatian penyakit menular adalah untuk mengurangi kejadian penyakit menjadi sekecil mungkin, sehingga kerugian yang bersifat ekonomi dapat ditekan. Unsur utama pengendalian penyakit metiputi: 1. Menjauhkan ternak ayam dari kemungkinan tertular penyakit yang berbahaya, antara lain dengan memperhatikan beberapa hal: (a) Tidak menggunakan tempat atau lokasi peternakan yang pernah mengalami serangan penyakit, (b) Lokasi peternakan dipilih berdasarkan pertimbangan teknik peternakan, dan tidak menempatkan pada lokasi yang sudah cukup padat peternakan, (c) Kawasan peternakan dipasang pagar agar tidak ada ternak atau hewan lain yang keluar-masuk, (d) Kunjungan tamu ke lokasi peternakan harus dilakukan desinfeksi lebih dahulu, (e) Pemasukan bibit dimulai dari DOC agar lebih terjamin dari ancaman penyakit, (f) Ayam yang mati karena penyakit, dikubur dan dibakar, (g) Ayam yang sudah keluar kandang tidak boleh kembali masuk. Bila hal tersebut harus dilakukan maka ayam harus dikarantina sedikitnya selama 5 hari, (h) Secara berkala harus dilakukan sanitasi kandang dan peralatan yang sering keluar masuk kandang. 2. Meningkatkan daya tahan tubuh ayam dengan vaksinasi, serta pengelolaan dan pengawasan yang baik, dengan memperhatikan hal-hal: (a) Vaksinasi dilakukan secara teratur dan berkala untuk pencegahan penyakit ND (tetelo), Avian influenza, Mareks, Khotera Ayam, dan Gumboro (Infectious Bursal Disease), (b) Memberi obat cacing setiap 2 bulan sekali, dan coccidiostat sampai usia 3 bulan, (c) Menambahkan vitamin kedalam makanan dan air minum terutama pada masa pertumbuhan (periode starter), (d) Tidak memberi pakan yang sudah berjamur atau tengik. 3. Mengurangi kerugian akibat penyakit dengan memperhatikan: (a) Pemeriksaan untuk diagnosis sedini mungkin secara tepat dan cepat. Untuk penguatan diagnosis dapat dikirim contoh sampel ayam sakit ke. Laboratorium Kesehatan Hewan, (b) Setiap timbut kejadian penyakit, pertama kali yang harus dicurigai adalah penyakit menutar, sebelum bisa dibuktikan secara laboratoris, (c) Ayam yang tidak memberikan harapan hidup, sebaiknya dibunuh dengan cara tidak mengeluarkan darah, (d) Isolasi ayam yang sakit pada kandang terpisah. Bila di peternakan terjadi penyakit, petugas yang menangani ayam sakit tidak diperkenankan merawat ayam sehat, (e) Bila terjadi wabah penyakit menular, kandang dan semua peralatan harus disucihamakan, (f) Bila terjadi wabah, petugas yang menangani tidak diperkenankan mengunjungi peternakan lain dalam waktu 24 jam setelah mandi. (Unandar, 2001) B. Penanganan Penyakit Usaha penanganan penyakit adalah pengendalian dan sekaligus pembasmian. Tujuan penanganan penyakit adalah untuk mengurangi kejadian penyakit menjadi sekecil mungkin, sehingga kerugian yang bersifat ekonomi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam penanganan penyakit diperlukan program pengelolaan kesehatan (health management), meliputi usaha untuk mencegah timbulnya penyakit dan mengurangi kerugian akibat serangan penyakit. Unsur yang termasuk dalam program pengelolaan kesehatan menyangkut pemberian pakan yang layak, penggunaan bibit yang baik dan sehat, pengelolaan serta pengamanan penyakit. Keempat unsur tersebut saling mempengaruhi, misalnya penyakit yang dapat mempengaruhi kemampuan bibit, juga dapat mempengaruhi efisiensi pakan. Demikian juga pemberian pakan yang tidak layak akan mempermudah timbulnya penyakit dan membahayakan kesehatan ternak. Tujuan utama pembasmian penyakit adalah untuk menghilangkan secara tuntas penyebab penyakit. Ayam yang sehat tidak memerlukan obat, tetapi sebagai pencegahan perlu ditakukan vaksinasi, pemberian obat cacing secara berkala dan pemberian vitamin. Bila terjadi penyakit tindakan pertama yang dilakukan adalah diagnosis dan untuk menguatkan harus dikirim ke laboratorium kesehatan hewan. Metode pembasmian penyakit pada ayam lokal dapat dilakukan dengan cara: 1 Test and Slaughter. Bila hasil diagnosis dengan uji serologik terhadap ayamayam -yang dicurigai positif menderita penyakit pullorum (berak putih), CRD dan lainnya ayam reaktor tersebut harus dibunuh. 2 Test and Treatment. Bila diketahui ada ayam yang menderita penyakit protozoa, seperti koksidiosis (berak darah) dan penyakit cacing, segera diobati. 3 Stamping Out. Bila terjadi kasus penyakit menular yang menyerang seluruh ayam dipeternakan, dan pengobatan tidak memberi harapan, maka seluruh isi peternakan baik berupa ayam dan peralatan harus dimusnahkan. (Unandar, 2001) PENUTUP 5.1. Kesimpulan Penerapan sistem manajemen yang baik akan peningkatan produksi ayam sehingga dapat memperoleh hasil yang baik dengan memperhatikan pada sistem manajemen biosekuriti, vaksinasi, pemberiakan pakan dan manajemen pengelolaan lingkungan peternakan. DAFTAR PUSTAKA Akil, S., W.G. Piliang, C.H. Wijaya, D.B. Utomo dan I.K.G. Wiryawan. 2009. Pengkayaan Selenium Organik, Inorganik dan Vitamin E dalam Pakan Puyuh terhadap Performa serta Potensi Telur Puyuh sebagai Sumber Antioksidan. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB. Bogor. Allan, W.H., D.J. Alexander, P.M. Biggs, R.F. Gordon, F.T.W. Jordan, and J.B. Mcferran. 1982. Viral Diseases. In. Poultry Diseases. 2nd Ed. Bailliere Tindall,London. pp.76-96. Bencina, D. and J.M. Bradbury. 1992. Combination of immunofluorescence and immunoperoxidase techniques for serotyping mixtures of Mycoplasma species. J. Clin. Microbiol. 30: 407 – 410. Biberstein, E.L. and D.C. White. 1969. A proposal for the establishment of two new Haemophilus species. J. Med. Microbiol. 2: 75-78. BlackallL, P.J., M. Matsumoto, and R. Yamamoto. 1997. Infectious coryza. In: Diseases of Poultry. 10th. ed. Calnek, B.W. et al. (ed). The Iowa State University Press. Iowa. USA. Calnek, B.W. and R.L. Witter. 1997. Marek’s Disease. In. Diseases of Poultry. 10th Ed. Iowa State University Press. Ames, Iowa. USA. pp369-398. Charlton, B.R., A.J. Bermudez, M. Bodianne, D.A. Halvorson, J.S. Jeffrey, L.J. Newman, J.E. Sander, and P.S. Wakenel. 2000. Avian Viral Tumor. In. Avian Disease Manual. 5th Ed. pp.22-31. Eliot, C.P. and M.R. Lewis. 1934. A Haemophilic bacterium as the cause of Infectious coryza in the fowl. J. Am. Vet. Med. Ass. 84: 878-888. Francki, R.I.B., C.M. Fauquet, D.L. Knudson, and F. Brown. 1990. Classification and Nomenclature of Viruses. Fifth Report opf the International Committee on Taxonomy of Viruses. Archives of Virology supplementum. Springer-Verlag Wien New York. Fenner, F., P.A. Bachmann, E.P.J. Gibbs, F.A. Murphy, M.J. Studdert, dan D.O. White. 1987. Veterinary Virology. Academic Press. Inc. Orlando. Gardella, R.S., R.A. Del Giudice and J.G. Tully. 1983. Immunofluorescence. In: Methods in Mycoplasmology, Vol. I. Razin, S. and J.G. Tully (Eds.). Academic Press: New York pp. 431 – 439. Gimeno, I.M., R.L. Witter, W.M. Reed, and L.D. Bacon. 1999. An acute form of transient paralysis induced by highly virulent strain of Marek’s Disease virus. Avian Disease 43:721-737 Gordon, R.F. and F.T.W. Jordan. 1982. Infectious coryza (Haemophilus gallinarum; H. paragallinarum). In: Poultry Disease. 2th. ed. Bailliere Tindal. London. 48-50. Hinz, K.H. 1981. Serological differentiation of Haemophilus paragallinarum strains by their heat stable antigens. In: Haemophilus, Pasteurella and Actinobacillus. M. Kilian, W. Fredicksen and E.L. Biberstein (ed.). Academic Press. London. 1-10. Hungerford, T.G. 1969. Diseases of Poultry. 4th Ed. Angus And Robertson. Sydney. London. Melbourne. pp.178-188. Kleven. S.H. 1990. Summary of discussions of avian mycoplasma team. Avian Pathol. 19: 795 – 800. Kume, K., A. Sawata, and Y. Nakase. 1980. Immunogenic relatoinship between Page’s and Sawata’s serotype strains of Haemophilus paragallinarum. Am. J. Vet. Res. 41: 759-760. Ley, D.H. 2003. Mycoplasma galisepticum infection. In: Diseases of Poultry. 11th Ed. Saif Y.M., H.J. Barnes, A.M. Fadly, J.R. Glisson, L.R. Mcdougald and D.E. Swayne (Eds.). CD Rom version produced and distributed by Iowa State Press. A Blackwell Publishing Company. pp. 722 – 744. Nunoya, T., T. Yagihashi, M. Tajima and Y. Nagasawa. 1995. Occurrence of keratoconjunctivitis apparently caused by Mycoplasma gallisepticum in layer chickens. Veterinary Pathol. 32: 11 – 18. Mohammed, H.O., T.E. Carpenter and R. Yamamoto. 1987. Economic impact of Mycoplasma gallisepticum and M. synoviae in commercial layer flocks. Avian Dis. 31: 477 – 482. Murtidjo. 1987. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Okada, K., Y. Tanaka, K. Murakami, S. Chiba, T. Morimura, M. Hattori, M. Goryo, dan M. Onuma. 1997. Phenotype analysis of lymphoid cell in Marek’s disease of CD4 + or CD8 + T cell deficient chickens: occurrence of double negative T-cell tumour. Avian Pathology 26:525-543. OIE. 2007. World Organisation for Animal Health (OIE). Quarterly Epidemiology Report. October – December 2007 (Asian and Pacific Region). Published by the OIE Regional representation for Asia and the Pacific in Collaboration with the Secretariat of the Pacific Community. Sanseido BLDG., 4F, 2-4-10 Kojimachi, Chiyoda-ku, Tokyo 102-0083, Japan. Page, L.A. 1962. Haemophilus infection in chicken. I. Characteristic of 12 Haemophilus isolates recovered from diseases chickens. Am. J. Vet. Res. 85-95. Payne, L.N. 1985. Marek’s Disease: Scientific Basis and Methods of Control. Martinus Nijhoff Pub. Boston. Dordrecht. Lancaster. Payne, L.N. dan K. Venugopal. 2000. Neoplastic diseases: Marek’s disease, avian leucosis and reticuloendotheliosis. Rev. Sci. Tech.off Int. Epiz. 19(2):544-564. Poernomo, S., Sutarma, dan S.A.K.D. SilawatriI. 1997. Haemophilus paragallinarum pada ayam di Indonesia. III. Uji sensitifitas Haemophilus paragallinarum dari ayam penderita Snot terhadap obat anti mikroba. J. Ilmu Ternak Veteriner. 2(4): 267-269. Pugh, D.M. 1991. Principles of antibiotic theraphy. Part III. The control of infectious diseases: Chemotheraphy. In: Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics. Fifth Ed. Brander, G.C., D.M. Pugh, R.J. Bywater and W.L. Jenkins (Eds.). ELBS with Bailliere Tindall. Educational Low-priced Book Scheme. Funded by the British Government. pp. 415– 429. Rahayu, ID. 2000. Kunci Sukses Mengatasi Kegagalan Program Vaksinasi. Poultry Indonesia Raviv, Z., S. A. Callison, N. Ferguson and S.H. Kleven. 2008. Strain differentiating real-time PCR for Mycoplasma gallisepticum live vaccine evaluation studies. Vet. Microbiol. 129: 179 – 187. Richey, D.J. and S. Dirdjosoebroto. 1965. Chronic respiratory disease of chickens in West Java, Indonesia. I. Preliminary serologic studies. Com. Vet. 9: 1 – 5. Reddy, S.K., S. Pratik, S. Amer, J.A. Newman, P. Singh and A. Silim. 1998.Lymphoproliferative responses of specific pathogen-free chickens to Mycoplasma gallisepticum strain PG31. Avian Pathol. 27: 277 –283. Reid, G.G. and P.J. Blackall. 1984. Phatogenicity of Australian isolates of Haemophilus paragallinarum and H. avium in chicken. Vet. Biol. 9: 77-82. Romindo. 2007. Pengamatan penyakit bakterial pada unggas di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2004 – 2006. PT Romindo Primavetcom, Jakarta. Sawata, A., K. Kume, and Y. Nakase. 1979. Antigenic structure and relationship between serotype 1 and 2 of Haemophilus paragallinarum. Am. J. Vet. Res. 41: 1450-1453. Schalm, O.W. and R.J. Beach. 1936. Cultural requirements of the fowl Coryza bacillus. J. Bact. 31: 161-169. Shane, M.S. 1998. Buku Pedoman Penyakit Unggas. American Soybean Association. pp.66-69 Soeripto. 2000. Penyakit pernafasan menahun pada ayam. Kumpulan Makalah Poultry Refresher Course. Bogor, April 2000. hlm. 42 – 53. Soeripto. 1993. The use of ELISA for the detection of Chronic Respiratory Disease in chickens. Penyakit Hewan 46A: 11 – 14. Sudarmono, A.S. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Kanisius. Yogyakarta. Szathmary, S. and L. Stipkovits. 2006. Interaction of mycoplasma and the chicken immune system. International Novartis Poultry Symposium, Puerto Vallarta, Jalisco, Mexico. pp. 1 – 24. Tajima, M., T. Yagihashi and Y. Miki. 1982. Capsular material of Mycoplasma gallisepticum and its possible relevance to the pathogenic process. Infect.Immun. 36: 830 – 833. Takagi, M., T. Takahashi, N. Hirayana, Istianingsih, S. Mariana, K. Zarkasie, Sumadi, M. Ogata, and S. Ohta. 1991. Survey of Infectious coryza of chicken in Indonesia. J. Vet. Med. Sci. 53(4): 637-642. Thomas, L., M. Davidson and R.T. Mcclusky. 1966. The production of cerebral polyarteritis by Mycoplasma gallisepticum in turkeys; the neurotoxic property of the mycoplasma. J. Exp. Med. 123: 897 – 912. Unandar, T., 2001. Lingkungan dan Kesehatan Ayam. Poultry Indonesia. Van Roekel, H. dan O.M. Olesiuk. 1953. The etiology of chronic respiratory disease. Proc. 90th Ann. Meet. Am. Vet. Med. Assoc. pp. 289 – 303. Venugopal, K. 2000. Marek’s disease: an update on oncogenic mechanism and control. Res. in Vet. Sci. 69:17-23. Wahyuwardani, S. dan Soeripto. 1998. Kepekaan beberapa isolat Mycoplasma gallisepticum terhadap antibiotika. JITV 3: 47 – 51. Whithear, K.G., K.E. Harrigan and S.H. Kleven. 1996. Standardized method of aerosol challenge for testing the efficacy of Mycoplasma gallisepticum vaccines. Avian Dis. 40: 654 – 660. Witter, R.L. 2001b. The Bart Rispen Memorial Lecture at the Marek’s Sympossium, WPSA Congress Montreal, August 2000. Part II: Marek’s disease vaccine – how the virus fight’s back. World Poultry 2(17):38-39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar