Senin, 02 Januari 2017

CAMPYLOBACTER

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Jaminan akan keamanan pangan merupakan hak asasi konsumen. Kita perlu mewaspadai makanan yang mengandung bakteri patogen dan zat-zat beracun yang dijual dan beredar di pasaran. Keracunan pangan atau foodborne disease (penyakit bawaan makanan), terutama yang disebabkan oleh bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius di berbagai negara termasuk Indonesia. Produk pertanian sebagai sumber pangan, baik pangan segar maupun olahan, harus selalu terjamin keamanannya agar masyarakat terhindar dari bahaya mengkonsumsi pangan yang tidak aman. Dengan menghasilkan produk pertanian atau bahan pangan yang aman dan bermutu maka citra Indonesia di lingkungan masyarakat internasional akan meningkat pula (Rahayu, 2005). Campylobacter seperti diketahui merupakan masalah kesehatan hewan sejak awal abad 20, ketika dilakukan isolasi, kemudian dikenal sebagai Vibrio fetus, hal ini dihubungkan dengan adanya aborsi pada domba dan sapi. Tahun 1931 spesies Vibrio jejuni merupakan penyebab terjadinya disentri anak sapi pada saat musim dingin dan pada tahun 1946 organisme yang sama diisolasi dari kultur darah penderita wabah milk borne dengan diare akut. Kemudian King mengisolasi darah manusia, dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan suhu optimum pertumbuhan. Satu kelompok berhubungan dengan Vibrio fetus dan yang kedua adalah kelompok termofilik dengan pertumbuhan optimum 42°C, berasal dari pasien yang menderita diare (Adams dan Moss, 2008). Kedua kelompok ini secara biokimia, serologis serta rasio mol % G+C berbeda dengan kolera dan halofilik vibrio dan pada tahun 1963 diklasifikasikan lagi menjadi genus yang baru yaitu Campylobacter. Pada tahun 1970 dengan memakai media selektif diidentifikasikan sebagai Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli sebagai penyebab utama kasus diare, melampaui kejadian Salmonella di beberapa negara. Campylobacter jejuni subs jejuni dan C. coli bertanggung jawab sampai 95% terhadap terjadinya Campylobacteriosis pada manusia (Lastovica dan Skirrow, 2000). Genus Campylobacter hampir sama dengan Arcobacter seringkali dihubungkan dengan kejadian aborsi dan enteritis pada sapi dan babi. Dua spesies Arcobacter butzleri dan A. Cryaerophilus juga menginfeksi manusia menyebabkan diare, bakterimia dan infeksi ekstra enterik (Adams dan Moss, 2008). 1.2. Tujuan Dengan mempelajari tentang Campylobacter, kita dapat mengetahui karakteristi, epidemiologi, dan bahayanya campylobacter terhadap kesehatan ternak dan manusia Selain itu, kita juga dapat mengetahui bagaimana penularan campylobacter melalui makanan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakterisitik Organisme Kingdom : Bacteria Phylum : Proteobacteria Class : Epsilon Proteobacteria Order : Campylobacterales Family : Campylobacteraceae Genus : Campylobacter Species Campylobacter fetus, Campylobacter jejuni, Campylobacter coli, Campylobacter sputorum, Campylobacter mucosalis, Campylobacter concisus, Campylobacter nitrofigilis, Campylobacter laridis, Campylobacter pyloridis, Campylobacter hyointestinalis, Campylobacter cryaerophila. Campylobacter bersifat mikroaerofilik, sehingga pertumbuhannya lambat. Oleh karena itu apabila mengkultur di dalam media, perlu ditambahkan antibiotika untuk mencegah mikroflora lainnya tumbuh lebih cepat, sehingga mengalahkan campylobacternya. Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli dapat tumbuh dengan baik pada suhu 42°C dalam suasana atmosfer dengan 5- 10% CO2 dan oksigen yang sama banyak. Kultur kemudian diinkubasi selama 48-72 jam. Koloni akan tumbuh bulat, meninggi, tembus sinar tetapi tidak transparan (translucent), dan kadang-kadang bersifat mukoid. Bakteri dapat diidentifikasi dengan serangkaian uji biokimia yang saat ini telah ada (Dharmojono, 2001). Adams dan Moss (2008) menyebutkan Campylobacter tidak membentuk spora, oksidasi positif, gram negatif. Sel berbentuk pleomorfik dengan panjang 0,5 – 8 µm dan tebal 0,2 – 0,5 µm. Karakteristik fase log sebentar, bentuk melengkung atau spiral dan satu atau lebih polar atau flagel ampitrikus yang bergerak dengan cepat, sangat motil dan bersifat patogen. Campylobacter tidak dapat memfermentasi atau mengoksidasi gula dan sensitif terhadap oksigen (mikroaerofilik), tumbuh maksimum pada kondisi yang mengandung 5-10% karbon dioksida dan 3-5% oksigen. Semua spesies Campylobacter tumbuh pada suhu 37°C, C.jejuni dan C.coli mempunyai suhu optimum 42-45°C tetapi tidak tahan pada saat pemasakan atau suhu pasteurisasi (minimal D55 2,5 – 6,6). Tidak dapat tumbuh pada suhu 30°C dan lemah pada suhu ruang. Meskipun viabilitas menurun selama disimpan di suhu dingin atau beku, namun tetap dapat bertahan pada kondisi ini untuk periode yang lama, dapat bertahan hidup di susu dan air dengan suhu 4°C selama beberapa minggu disimpan dan daging unggas beku selama beberapa bulan. Sensitif pada kondisi yang merugikan seperti pengeringan atau penurunan pH. Resevoir lingkungan yang penting untuk Campylobacter yang patogen adalah saluran pencernaan hewan liar dan hewan peliharaan termasuk unggas dan biasanya ditemukan pada rodensia, anjing, kucing, sapi perah, domba, babi, unggas dan burung liar. Suhu optimum pertumbuhan dari C.jejuni dan C.coli dapat beradaptasi terhadap suhu yang lebih tinggi. Pada manusia bisa terjadi tanpa ada gejala. (Park dkk, 1983). Meskipun tidak nampak dapat bertahan hidup di luar tubuh inang, Campylobacter biasanya dapat diisolasi dari permukaan air. Ketahanan hidup dapat ditingkatkan dengan suhu yang rendah dan suatu studi yang dilakukan di Norwegia menunjukkan bahwa strain C. jejuni, C. coli dan C. laridis tetap bertahan hidup pada air kran yang tidak terklorinasi pada suhu 4°C selama 15 hari (12°C selama 10 hari). Juga dapat bertahan hidup selama 10-15 hari di air sungai yang terkontaminasi pada suhu yang sama (12°C selama 6-12 hari). (Panner dan Hannessye, 1980). 2.2. Epidemiologi Campylobacter Hampir semua makanan dari hewan dan unggas bertanggung jawab terhadap terjadinya food borne diseases pada manusia yang disebabkan oleh Campylobacter spp. Infeksi berasal dari makanan atau kontak langsung dengan hewan (Studahl dan Anderson, 2000). Kejadian enteritis pada manusia menurun menjadi 40% saat perunggasan Belgia dihilangkan dari pasar selama ketakutan tentang dioxin pada tahun 1999 (Wallace, 2003). Sapi perah dianggap sebagai carier yang penting dalam membawa organisme ini. Menyebabkan penyakit pada manusia melalui kontak langsung, susu mentah yang terkontaminasi feses atau mengonsumsi daging yang tidak dimasak. Babi bersifat carier terhadap C.coli dan tidak menyebabkan penyakit pada manusia. Namun sekarang babi juga membawa C.jenuni dengan tingkat yang tinggi (Kaneene dan Potter, 2003). Kontrol terhadap Campylobacter sangat sulit karena epidemiologi yang kompleks. Organisme sangat sulit diisolasi dengan metode yang tradisional. Kedepannya kontrol dilakukan dengan pendidikan dan campur tangan berbagai pihak. Strategi pada peternakan seharusnya ditujukan untuk identifikasi lebih lanjut mengenai faktor resiko, melakukan higiene yang baik dan mengontrol hama untuk membatasi masuknya Campylobacter spp. Konsumen memerlukan edukasi mengenai penanganan dan cara memasak daging yang tepat, menghindari konsumsi susu mentah dan melakukan higiene yang baik pada saat kontak dengan hewan (Kaneene dan Potter 2003). Suatu penelitian menunjukkan adanya kesamaan genetik antara suatu isolate campylobacter pada sapi dan manusia dari daerah geografis yang sama (Fitzgerald, 2001). Menurut Salaun (2007) musim beternak dan pengelolaan lingkungan sekitar kandang unggas berpengaruh terhadap jumlah Campylobacter pada flock ayam broiler. Tindakan yang dilakukan untuk mencegah masuknya organisme ini ke peternakan ayam dengan kandang tertutup antara lain dengan desinfeksi, kandang hanya untuk ayam saja dan memberi pagar dengan udara terbuka. Menzies (2008) melakukan studi tentang identifikasi sejumlah faktor resiko penting untuk infeksi Campylobacter pada peternakan ayam broiler konvensional dalam suatu periode hingga depopulasi pertama, faktor yang diidentifikasi termasuk kemungkinan peningkatan infeksi dengan meningkatnya usia unggas yang sampling, peternakan ayam pedaging dan burung dipelihara saat musim panas. Faktor risiko yang berhubungan dengan langkah - langkah kebersihan di peternakan, termasuk asosiasi dengan frekuensi perubahan disinfektan dan dengan standar kemasan / kebersihan kandang. Terdapat hubungan yang signifikan antara infeksi Campylobacter dan adanya rodensia di tanah peternakan. Sebelum tahun 1970 Campylobacter ditetapkan sebagai penyebab terjadinya gastroenteritis pada manusia. Di Amerika Serikat telah dilaporkan 99% dari penyakit yang disebabkan Campylobacter spp pada manusia adalah C. jejuni dan 1% sisanya adalah C. coli (Wallace, 2003). 2.3. Patogenesa Rute penularan Campylobacter melalui oral, susu mentah yang tidak dipasteurisasi dan konsumsi daging unggas, dan ditularkan melalui air (misalnya, melalui pasokan air yang tercemar). Campylobacter spesies sensitif terhadap asam klorida dalam lambung dan pengobatan antasida dapat mengurangi jumlah inokulum yang diperlukan untuk menyebabkan penyakit (Blaser dkk, 1984). Campylobacter memiliki dua gen flagellin bersamaan untuk motilitas yaitu flaA dan flaB. Gen ini mengalami rekombinasi antargen, memberikan kontribusi bagi virulensinya, (Mahmud, 2010). Gambar 1. Sumber dan hasil infeksi Campylobacter jejuni Gambar 2. Permukaan Campylobacter jejuni dan Strukturnya. 2.4. Gejala Klinis Enteropatogenik Campylobacter menyebabkan enterokolitis akut tanpa ada gejala dan sulit dibedakan dengan penyakit yang disebabkan oleh patogen yang lain. Masa inkubasi 1-11 hari, paling sering 3-5 hari dengan gejala utama malaise, demam, nyeri abdominal dan diare. Diare menghasilkan feses yang mengandung 106-109 sel g-dengan bau yang busuk, diare profus, berak darah dan disentri. Gejala gastrointestinal didahului dengan demam, sakit kepala dan malaise. Diare akan sembuh sendiri dan tahan selama satu minggu meskipun sering kali kambuh (Adams dan Moss 2008). Campylobacter pada penderita muda dapat menyebabkan diare hebat. Pada anjing gejala yang khas adalah diare seperti air atau dengan bercak oleh cairan empedu dengan atau tanpa darah sampai selama 3-7 hari, kurang nafsu makan disertai muntah dan demam. Dalam kasus tertentu diare terjadi intermiten selama > 2 minggu, dalam kasus lain dapat terjadi sampai berbulan-bulan (Dharmojono, 2001). Produksi Cytotoxin telah dilaporkan pada pasien penderita strain Campylobacter dengan gejala diare berdarah. Dalam sejumlah kecil kasus, infeksi dikaitkan dengan sindrom hemolitik-uremik dan purpura thrombocytopenic trombotik (Mahmud, 2010). 2.5. Campilobacter pada Ayam Campylobacter jejuni secara alami ada dalam saluran pencernaan ayam. Sumber terjadinya infeksi pada ayam dapat terjadi dengan beberapa cara yaitu dari infeksi day of chick (DOC) dari ayam dewasa, kontaminasi pakan, dan kontaminasi air. Selama proses pemotongan bakteri C. jejuni akan menyebar ke karkas ayam. Kontaminasi C. jejuni pada ayam telah dilaporkan di beberapa negara berkisar 22-78% pada produk ayam (Harris dkk, 1986). Di USA mayoritas karkas ayam yang dijual di pasaran terkontaminasi oleh C. jejuni (Grant, 1980). Survey menunjukkan bahwa C. jejuni telah berhasil diisolasi dari retail market sebanyak 92% dari karkas ayam dan 85-89% dari hati dan ampela ayam. Sebanyak 50% dari hati dan ampela ayam yang terkontaminasi mengandung kuman lebih dari 1100 C. jejuni per gram (Butzler, 1984). Rekoveri C. jejuni pada karkas dapat dipengaruhi oleh proporsi dari flock yang terinfeksi, faktor musim dan cuaca, peralatan untuk memproses karkas, teknik sampling dan isolasi (Menzies, 2008). Level C. jejuni pada karkas dan produknya sangat dipengaruhi oleh penanganan dan penyimpanan (Palumbo, 1984). Penyimpanan karkas ayam pada suhu -200C dengan level bakteri 103 – 105 CFU/g, jumlah bakteri akan berkurang log 0,5 – 2,0 dalam waktu 2 minggu. Infeksi C. jejuni dengan tingkat kontaminasi 103 CFU pada karkas sangat sensitif apabila dipanaskan pada suhu 1900C selama 90 menit (Menzies, 2008). 2.6. Kontaminasi Campylobacter pada Karkas Campylobacter jejuni pada ayam tidak menyebabkan penyakit tetapi kejadian kontaminasi karkas ayam oleh bakteri ini cukup tinggi yang mengakibatakan campylobacteriosis pada manusia. Sekitar 70% kasus campylobacteriosis pada masuisa disebabkan oleh adanya kontaminasi C. jejuni pada karkas ayam (Menzies, 2008). Jumlah Campylobacter banyak pada karkas ditemukan cukup tinggi yaitu 10.000 CFU per karkas ayam (Park dkk, 1983). Hasil survey di Australia menunjukkan hasil bahwa 94% karkas ayam segar terkontaminasi Campylobacter dengan jumlah 105 per karkas (Sahin dkk, 2003). Hasil survey oleh Balitvet menunjukkan bahwa kontaminasi Campylobacter jejuni di Jakarta, Bogor, Sukabumi dan Tangerang cukup tinggi, C. jejuni secara umum mengkontaminasi pada ayam mentah. Hasil survey menunjukkan bahwa 20-100% ayam yang dipasarkan terkontaminasi bakteri ini. Susu juga merupakan media yang bisa tercemar dengan bakteri ini. Cara untuk mencegahnya yaitu dengan cara memasak ayam dengan baik, pasteurisasi susu, dan memasak air sebelum diminum. (Poloengan dkk, 2005). 2.7. Campylobacteriosis pada Manusia Angka kejadian campylobacteriosis pada pasien penderita diare hampir sama dengan kejadian salmonellosis atau shigellosis (Blaser, 1984). Hasil penelitian di negara Amerika menunjukkan angka kejadian salmonelosis berkisar 300-1500 kasus/100.000 penduduk (Angulo and Swerdlow, 1998), infeksi Escherichia coli 30 kasus/tahun (Titiek dan Rahayu, 2007) dan campylobacteriosis 1/1000 orang (Altekruse, 1998). Laporan dari Inggris dan Wales, lebih dari 1% populasi terinfeksi setiap tahunnya dengan kerugian ekonomi mencapai 12 million, sebaliknya di Indonesia hanya sedikit informasi mengenai infeksi Campylobacter jejuni. pada manusia, salah satunya adalah yang dilaporkan oleh BALITVET, Bogor pada tahun 1984 yaitu tentang kasus keracunan susu C. jejuni. di Jawa Barat (Poernomo, 1984). Masa inkubasi campylobacteriosis pada manusia umumnya 2 – 4 hari ketika bakteri mengalami multiplikasi dalam usus dan mencapai jumlah 106 – 109 per gram feses. Untuk terjadinya infeksi hanya diperlukan sekitar 800 bakteri C. jejuni dengan gejala klinis berupa demam, diare, muntah dan sakit perut. C. jejuni menghasilkan enterotoksin yang mirip dengan penyakit kolera dan toksin. Banyak kejadian Campylobacteriosis pada manusia bersifat sporadik. Kejadian dari penyakit ini memiliki karakteristik epidemiologik yang berbeda dari infeksi sproradik. Penyakit umumnya terjadi pada musim semi dan gugur. Konsumsi susu mentah sebagai sumber infeksi pada 30 dari 80 kejadian luar biasa Campylobacteriosis pada manusia, seperti yang dilaporkan oleh CDC antara tahun 1973 dan 1992 terjadinya penyakit ini disebabkan oleh mengkonsumsi susu mentah pada saat kunjungan anak sekolah ke peternakan. Sebaliknya puncak Campylobacter sporadik terjadi selama musim panas. Faktor resiko lainnya yang proporsinya lebih kecil dari penyakit sproradik diantaranya minum air yang tidak dimasak dengan baik, mengkonsumsi babi panggang atau sosis, minum susu mentah atau susu botol, kontak dengan anjing atau kucing, atau binatang kesayangan yang terkena diare. Penyebaran dari manusia ke manusia tidak umum terjadi. Pangan asal hewan merupakan faktor penting dalam penyebaran Campylobacter jejuni terhadap manusia (Altekruse, 1998). Di Amerika Serikat Campylobacter umumnya menyerang pada bayi, kurang lebih 14 per 100.000 per tahun terjangkit penyakit ini. Kejadian pada orang dewasa yaitu sebesar 8 per 100.000 orang pertahun. Diantara umur remaja dan dewasa, diperkirakan < 3 per 100.000 orang per tahun (Newell & Davison, 2003). 2.8. Isolasi dan Identifikasi Metode untuk deteksi Campylobacter antara lain yaitu dengan kultur media, secara imunologis dengan cara agglutination assays, enzyme immunoassays, colony blotting dan separasi imunomagnetik (Sahin, 2003). Sedangkan metode deteksi berdasarkan asam nukleat antara lain yaitu uji hibridisasi, PCR (Polymerase Chain Reaction). Metode deteksi dan identifikasi yang lain yaitu dengan MALTI-TOF MS (Matrix-Assisted Laser Desorption/Ionization Time Of Flight Mass Spectrometry) dan metode biosensor (Ivnitski, 2001). Penggunaan metode deteksi secara biomolekuler dan rapid deteksi sangat membantu identifikasi Campylobacter namun tidak dapat menggantikan metode kultur tradisional sebagai gold standar deteksi Campylobacter. Kenyataannya di beberapa studi epidemiologi alat molekuler sering dikombinasikan dengan metode kultur tradisional untuk meningkatkan akurasi dan kecepatan deteksi. Dengan rapid dapat menambah database genom bakteri, sangat memungkinkan menggunakan bioinformatika untuk mengidentifikasi marker genetik yang paling sesuai untuk mendeteksi genus atau spesies dari Campylobacter. Selain itu genom akan membantu mengidentifikasi antigen agar lebih spesifik. Kandungan antibodi yang tinggi dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi Campylobacter. Dengan kemajuan tehnik molekuler yang cepat dan penyempurnaan metode secara terus menerus berbasis kultur akan memudahkan deteksi Campylobacter spp dari hewan secara otomatis dan lebih cepat, inovasi ini akan meningkatkan kemampuan untuk memonitor dan mengontrol infeksi Campylobacter di hewan ternak (Sahin, 2003). 2.9. Pencegahan dan pengendalian Manusia dapat terinfeksi Campylobacter dengan cara kontak langsung lewat feses dan hewan yang terinfeksi atau secara fecal terkontaminasi produk hewan. Bisa juga terkontaminasi pada saat terjadi pemprosesan, penyiapan makanan atau keduanya. Hubungan patogenitas dari strain Campylobacter belum diketahui namun pencegahan harus dilakukan karena Campylobacter berpotensi zoonosis. Pemerintah dan lembaga antar pemerintah perlu mengurangi atau mengeliminasi Campylobacter dari rantai makanan untuk mengurangi terjadinya keracunan makanan pada manusia. Karena pada dasarnya Campylobacter merupakan flora normal pada saluran pencernaan, sehingga masih sedikit kegiatan surveilance terhadap organisme ini. Namun demikian tingkat masalah di level peternakan belum banyak diketahui. Hal ini membuktikan sangat sulit untuk mengurangi organisme ini pada hewan yang dipelihara dalam sistem produksi secara intensif dan ekstensif. Dengan mengarah ke peningkatan kesejahteraan hewan dan secara bersamaan terjadi peningkatan kegiatan peternakan, maka akan sangat sulit menghilangkan Campylobacter pada rantai makanan jika hanya dengan melakukan biosekuriti. Perlu dilakukan tindakan suportif seperti vaksinasi atau pemberian probiotik untuk mengurangi koloni di level peternakan terutama pada ternak unggas. Sangat penting untk mengurangi tingkat koloni dan pengendalian sektor hilir. Di Amerika Serikat pengurangan patogen dan pendekatan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) diterapkan di rumah pemotongan ayam dan pabrik pengolahan. Kampanye pendidikan juga dilakukan untuk mengurangi kontaminsai silang dari para pengecer makanan, restauran dan ruang dapur konsumen. Di seluruh dunia, instansi pemerintah memberi perhatian pada foodborne pathogen dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat. Untuk mencapai target tersebut, akan sangat penting melakukan strategi pengendalian pada rantai makanan (Newell dan Davison, 2003). 2.10. Pengobatan Erithromisin dapat dipilih untuk menganggulangi Campylobacteriosis pada hewan dan manusia. Antibiotika lainnya yang dapat digunakan adalah gentamisin, furazolidone, doksisiklin dan kloramfenikol. Pengobatan Campylobacteriosis pada ferret dengan kloramfenikol memberikan hasil yang baik. Ampisilin umumnya tidak efektif bagi umumnya Campylobacter terjadi resisten terhadap penisilin. Untuk menanggulangi Campylobacteriosis, pengobatan topikal dan pengobatan sistematik secara simultan akan menghasilkan tereupitik yang lebih baik. Misalnya penderita diberi suntikan subkutan dengan dihidrostreptomisin dengan dosis 25 mg/kg sekaligus melakukan infus dalam prepusium dengan 10 ml larutan dihidrostreptomisin 50%. Larutan ini diinfuskan (diirigasikan) ke dalam ruang prepusium dan dipertahankan selama 1 menit sambil dimasase, kemudian baru dilepaskan. Infus seperti ini dilakukan 2-3 kali dengan interval 48 jam (Dharmojono, 2001). BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Campylobacter merupakan bakteri gram negatif. Campylobacter tumbuh pada suhu 37°C, C.jejuni dan C.coli mempunyai suhu optimum 42-45°C tetapi tidak tahan pada saat pemasakan atau suhu pasteurisasi (minimal D55 2,5 – 6,6). Tidak dapat tumbuh pada suhu 30°C dan lemah pada suhu ruang. Meskipun viabilitas menurun selama disimpan di suhu dingin atau beku, namun tetap dapat bertahan pada kondisi ini untuk periode yang lama, dapat bertahan hidup di susu dan air dengan suhu 4°C selama beberapa minggu disimpan dan daging unggas beku selama beberapa bulan. Kontrol terhadap Campylobacter sangat sulit karena epidemiologi yang kompleks dan organisme sangat sulit diisolasi. Namun pemerintah dan lembaga antar pemerintah perlu mengurangi atau mengeliminasi Campylobacter dari rantai makanan untuk mengurangi terjadinya keracunan makanan pada manusia. Masyarakat memerlukan edukasi mengenai penanganan dan cara memasak daging yang tepat, menghindari konsumsi susu mentah dan melakukan higiene yang baik pada saat kontak dengan hewan. 3.2. Saran Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis, demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya DAFTAR KEPUSTAKAAN Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiology. Third Edition. RSC Publishing. Pages : 193-199. Altekruse, S.F. 1998: Campylobacter jejuni in foods, JAVMA 213 (12): 1734 - 1735. Angulo, F.J. and D.L. Swerdlow. 1998. Salmonella enteritidis infections in the United States, JAVMA 213 (12): 1729-1731. Blaser, M.J., D.N. Taylor, and R.A. Feldman. 1984. Epidemiological Campylobacter infections, pp. 144-156, Boca Raton, CRC Press. Butzler, J.P and M.B. Skirrow. 1979. Campylobacter enteritis. clinics in Gastroenterology. 8: 737-765. Dharmojono. 2001. Limabelas penyakit menular dari binatang ke manusia. Milenia Populer,Jakarta. Fitzgerald. 2001. C. Fitzgerald, K. Stanley, S. Andrew and K. Jones, Use of pulsed-field gel electrophoresis and flagellin gene typing in identifying clonal groups of Campylobacter jejuni and Campylobacter coli in farm and clinical environments, Appl. Environ. Microbiol. 67 (2001), pp. 1429–1436. Harris, N.V., D. Thompsin; D.C. Martin and C.M. Nolan. 1986. A. survey of Campylobacter and other bacterial contaminants of pre-market chicken and retail poultry and meats, King County, Washington. Am.J.Publ.Health. 76:401. Ivnitski, D., E. Wilkins, H. T. Tien, A. Ottova. 2001. Electrochemical biosensor based on supported planar lipid bilayer for fast detection of pathogenic bacteria. Electrochemistry Communications 2:457-460 Palumbo, S.A. 1984. Heat injury and repair in Campylobacter jejuni. Appl. Environ.Microbiol. 48: 477. Kaneene, J.B. & Potter, R.C. 2003. Epidemiology of Campylobacter spp. In animals. In: Microbial Food Safety in Animal Agriculture (Editors, M.E. Torrence & R.E. Isaacson). pp. 175 – 181. Iowa State Press, Iowa City. Lastociva, A.J., and M.B. Skirrow. 2000. Clinical significance of Campylobacter and related spesies other than Campylobacter jejuni and C. coli. In Campylobacter, 2nd ed. Irving Nachamkin and Martin J. Blaser, eds. Washington, D. C: ASM Press, 89. Mahmud H Javid, MD. 2010.Campylobacter Infections: Differential Diagnoses & Workup. http://emedicine.medscape.com/article/213720-diagnosis Menzies, D.F, McDowell, J.W.S, dan Oza, N.A. 2008. Campylobacter spp. In conventional broiler flocks in Northern Ireland: Epidemiology and risk factors. Preventive Veterinary Medicine Volume 84, Issues 3-4, 15 May 2008, Pages 261-276 Newell, D.G. & Davison, H.C. 2003. Campylobacter - control and prevention. Chapter 22, in: M.E. Torrence and R.E. Isaacson (editors). Microbial Food Safety in Animal Agriculture: Current Topics. Wiley-Blackwell Publ. 470 p. Palumbo, S.A. 1984. Heat injury and repair in Campylobacter jejuni. Appl. Environ.Microbiol. 48: 477. Park, C.E., Z.K. Stankiewicz, J. Lovett, J. Hunt and D.W. Francis. 1983. Effect of temperature, duration of incubation, and pH of enrichment culture on the recovery of Campylobacter jejuni from eviscerated marked chickens. Can. J. Microbiol. 29: 803. Penner, J.L., and J.N. Hannessey. 1980. Passive hemagglutination technique for serotyping Campylobacter fetus subs jejuni on the basis of soluble heat-stable antigens. J. Clin. Microbiol. 12:732 Poloengan, M., S.M. Noor, I. Komala, dan Andriani. 2005. Patogenosis Campylobacter terhadap hewan dan manusia. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 82−90 Sahin, O., Kobalka, P. & Zhang, Q. 2003. Detection and survival of Campylobacter in chicken eggs. Journal of Applied Microbiology, 95: 1070-1079. Salaun, H. A et al. 2007. Risk factors for Campylobacter spp. colonization in French free-range broiler-chicken flocks at the end of the indoor rearing period. Preventive Veterinary Medicine Volume 80, Issue 1, 15 June 2007, Pages 34-48 Studahl, A. and Y. Anderson. 2000. Risk factor for indigenous Campylobacter infection: Swedish case-control study. Epideniol. and Infect. 129:269-275 Rahayu, W.P. 2005. Jejaring Intelijen Pangan (JIP) dalam Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT). Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 3−5. Titiek F. Djaafar dan Siti Rahayu. 2007. Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian, Penyakit Yang Ditimbulkan Dan Pencegahannya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Jalan Rajawali No. 28, Demangan Baru, Yogyakarta 55281. Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 200. Wallace, R.B. 2003. Campylobacter in foodborne microorganisms of public health significance. 6th Ed. A.D. Hocking (Eds). Australian Institute of Food Science and Technology Incorporated (NSW branch). pp:314-332. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar