Selasa, 03 Januari 2017

ANTRAKS


PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai penyakit menular pada manusia yang bersumber dari hewan telah banyak mewabah di dunia.Istilah zoonosis telah dikenal untuk menggambarkan suatu kejadian penyakit infeksi pada manusia yang ditularkan dari hewan. Hal inilah yang dewasa ini menjadi sorotan publik dan menjadi objek berbagai studi untuk mengkaji segala aspek yang berkaitan dengan wabah tersebut yang diharapkan nantinya akan diperoleh suatu sistem terpadu untuk pemberantasan dan penanggulangannya. Kemunculan dari suatu penyakit zoonosis tidak dapat diprediksi dan dapat membawa dampak yang menakutkan bagi dunia, terutama bagi komunitas yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat dan veteriner. (Adjid dan Sani, 2006) Dari sejumlah 1.415 mikroba patogen pada manusia yang diketahui, 61,6% bersumber dari hewan. Sejumlah 616 mikroba patogen yang ditemukan pada hewan ternak, 77,3% diantaranya merupakan multiple spesies atau spesies yang memiliki kemampuan untuk menginfeksi lebih dari satu jenis hewan. Pada karnivora domestik, dari 374 mikroba patogen, 90% diantaranya diklasifikasikan sebagai multiple spesies. Emerging zoonosis dapat dilihat secara operasional sebagai proses dua tahap. Tahap pertama adalah pemaparan suatu agen penyakit ke suatu populasi host yang baru. Tahap kedua adalah proses penyebaran lebih lanjut dari agen penyakit dalam populasi host baru tersebut. Sebagian besar dari kemunculan suatu wabah penyakit berasal dari agen yang sudah berada di lingkungan dimana agen tersebut mendapatkan kesempatan atau waktu dan kondisi yang tepat untuk kembali menginfeksi host atau populasi yang baru. Beberapa contoh kasus emerging zoonosis dewasa yang menjadi sorotan dunia antara lain antraks. (Kurniawati, 2005) Kejadian antraks bersifat universal dimana dapat terjadi di seluruh wilayah dunia mulai dari negara yang beriklim dingin, subtropis dan tropis, pada negara yang miskin, negara berkembang hingga negara maju sekalipun.Kejadian antraks pada manusia di Indonesia hampir selalu berhubungan dengan wabah penyakit antraks pada hewan. Di Indonesia, sepanjang tahun 2001-2004, kasus antraks pada manusia dilaporkan terjadi setiap tahun. (Gde, 2006) 1.2. Tujuan 1. Mengetahui pengertian antraks. 2. Mengetahui cara penularan antraks di lingkungan. 3. Mengetahui cara penanggulangan TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Antraks Antraks adalah penyakit menular akut dan sangat mematikan yang disebabkan bakteri bacillus anthracis dalam bentuknya yang paling ganas. Antraks bermakna batubara dalam bahasa Yunani, dan istilah ini digunakan karena kulit para korbanakan berubah hitam. Antrak adalah penyakit bersifat zoonosis yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke manusia, Penyakit Antraks merupakan salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, sesuai dengan undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1501 tahun 2010. (Wahyuni, 2005) Spora bacillus anthrax tahan pada suhu panas di atas 43 derajat celcius. Di dalam tanah diketahui spora mampu bertahan sampai dengan 40 tahun. Apabila lingkungan memungkinkan, yaitu panas dan lembab maka spora dapat menjadi bentuk bakteri biasa (vegetatif) yang mampu berkembang biak (membelah diri) dengan sangat cepat. Itulah sebabnya, penyakit ini cenderung berjangkit pada musim kemarau.Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi yang tinggi di benua asia dengan sifat serangan sporadik. Kawasan endemik antraks di Indonesia meliputi jawa barat, jawa tengah, yogyakarta, nusa tenggara barat, nusa tenggara timur, sulawesi utara, sulawesi tengah dan sulawesi tenggara. (Nurhadi dkk, 1996) Penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu yang diserang pada umumnya pekerja peternakan, petani, pekerja tempat pemotongan hewan, dokter hewan, pekerja pabrik yang menangani produk-produk hewan yang terkontaminasi oleh spora antraks, misalnya pabrik tekstil, makanan ternak, pupuk, dan sebagainya. Antraks adalah penyakit yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis yang hidup di tanah. Sel bakteri tersebut seperti spora untuk bertahan dari ganasnya kondisi. Spora tumbuh subur secara berkoloni dalam tubuh binatang atau manusia. 2.2. Epidemiologi Penyakit antraks paling sering terjadi pada binatang herbivora akibat tertelan spora dari tanah. Spora dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama di dalam tanah. Burung gagak dikatakan dapat berperan dalam penyebaran mikroorganisme ini. Kejadian luar biasa epizootik pada herbivora pernah terjadi pada tahun 1945 di Iran yang mengakibatkan 1 juta domba mati. Program vaksinasi pada binatang secara dramatis menurunkan mortalitas pada binatang piaraan. Walaupun demikian spora antraks tetap ada dalam tanah pada beberapa belahan dunia. Pada manusia terdapat tiga tipe antraks yaitu: antraks kulit, antraks inhalasi, dan antraks gastrointestinal. Antraks inhalasi secara alamiah sangat jarang terjadi. Di Amerika Serikat dilaporkan 18 kasus antraks inhalasi dari tahun 1900-1976. Hampir semua kasus terjadi pada pekerja yang mempunyai risiko tertular antraks, seperti tempat pemintalan bulu kambing atau wool atau penyamakan kulit. Tidak ada kasus antraks inhalasi di AS sejak tahun 1976.6 Secara alamiah antraks kulit merupakan bentuk yang paling sering terjadi dan diperkirakan terdapat 2000 kasus pertahunnya di seluruh dunia. Pada umumnya penyakit timbul setelah seseorang terkontaminasi dengan hewan yang terinfeksi antraks. Di AS dilaporkan 224 kasus antraks kulit dari tahun 1944-1994. Centers for diseases Control and Prevention (CDC) melaporkan kejadian antraks kulit dari tahun 1984-1993 hanya tiga orang, dan satu kasus dilaporkan terjadi pada tahun 2000. Kejadian luar biasa terjadi di Zimbabwe pada tahun 1978-1980 yang mengakibatkan 10.000 orang terjangkit antraks kulit terutama pada pekerja perkebunan. Kejadian itu terjadi akibat perang yang menyebabkan terhentinya program vaksinasi, kerusakan infrastruktur medis dan veteriner. Walaupun jarang terjadi di Afrika dan Asia ledakan kasus antraks gastrointestinal masih sering dilaporkan. Kejadian luar biasa 24 kasus antraks gastrointestinal terjadi di Thailand pada tahun 1982. Kejadian itu terjadi akibat konsumsi daging kerbau yang terkontaminasi dan proses pemasakan yang tidak sempurna. Kejadian epidemi antraks pada manusia berhubungan langsung dengan epizootik pada ternak. (Muller dkk, 2004) 2.3, Diagnosis Penyakit Diagnosis antraks umumnya dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan di laboratorium untuk mengisolasi agen penyebab, uji serologis dan molekuler Gejala penyakit pada hewan : Hewan dapat tertular antraks melalui pakan (rumput) atau minum yang terkontaminasi spora. Spora yang masuk ke dalam tubuh melalui oral dan akan mengalami germinasi, multiplikasi di sistem limfe dan limpa, menghasilkan toksin sehingga menyebabkan kematian (biasanya mengandung ±109 kuman/ml darah) (OIE, 2000). Antraks pada hewan dapat ditemukan dalam bentuk perakut, akut, subakut sampai dengan kronis. Untuk ruminansia biasanya berbentuk perakut dan akut; kuda biasanya berbentuk akut; sedangkan anjing, kucing dan babi biasanya berbentuk subakut sampai dengan kronis. Gejala penyakit pada bentuk perakut berupa demarn tinggi (42°C), gemetar, susah bernafas, kongesti mukosa, konvulsi, kolaps dan mati. Darah yang keluar dari lubang kumlah (anus, hidung, mulut atau vulva) berwarna gelap dan sukar membeku. Bentuk akut biasanya menunjukan gejala depresi, anoreksia, demam, nafas cepat, peningkatan denyut nadi, kongesti membran mukosa. Pada kuda terjadi enteritis, kolik, demam tinggi, depresi dan kematian terjadi dalam waktu 48- 96 jam. Sedangkan pada bentuk subakut sampai dengan kronis, terlihat adanya pembengkakan pada lymphoglandula pharyngeal karena kumnn antraks terlokalisasi di daerah itu (OIE, 2000). Di Indonesia, kejadian antraks biasanya perakut, yaitu: demam tinggi, gemetar, kejang-kejang, konvulsi, kolaps dan mati Gejala klinis antraks pada manusia dibagi menjadi 4 bentuk yaitu antraks kulit, antraks saluran pencernaan, antraks paru dan antraks meningitis. 1. Antraks Kulit (Cutaneus Anthrax) Kejadian antraks kulit mencapai 90% dari keseluruhan kejadian antraks di Indonesia. Masa inkubasi antara 1-5 hari ditandai dengan adanya papula pada inokulasi, rasa gatal tanpa disertai rasa sakit, yang dalam waktu 2-3 hari membesar menjadi vesikel berisi cairan kemerahan, kemudian haemoragik dan menjadi jaringan nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi kerak berwarna hitam, kering yang disebut Eschar (patognomonik). Selain itu ditandai juga dengan demam, sakit kepala dan dapat terjadi pembengkakan lunak pada kelenjar limfe regional. Apabila tidak mendapat pengobatan, angka kematian berkisar 5-20%. 2. Antraks Saluran Pencernaan (Gastrointestinal Anthax) Masa inkubasi 2-5 hari. Penularan melalui makanan yang tercemar kuman atau spora misal daging, jerohan dari hewan, sayur- sayuran dan sebagainya, yang tidak dimasak dengan sempurna atau pekerja peternakan yang makan dengan tangan yang kurang bersih yang tercemar kuman atau spora antraks. Penyakit ini dapat berkembang menjadi tingkat yang berat dan berakhir dengan kematian dalam waktu kurang dari 2 hari. Angka kematian tipe ini berkisar 25-75%. Gejala antraks saluran pencernaan adalah timbulnya rasa sakit perut hebat, mual, muntah, tidak nafsu makan, demam, konstipasi, gastroenteritis akut yang kadang-kadang disertai darah, hematemesis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran kelenjar limfe daerah inguinal (lipat paha), perut membesar dan keras, kemudian berkembang menjadi ascites dan oedem scrotum serta sering dijumpai pendarahan gastrointestinal. 3. Antraks Paru-paru (Pulmonary Anthrax) Masa inkubasi : 1-5 hari (biasanya 3-4 hari). Gejala klinis antraks paru-paru sesuai dengan tanda-tanda bronchitis. Dalam waktu 2-4 hari gejala semakin berkembang dengan gangguan respirasi berat, demam, sianosis, dispneu, stridor, keringat berlebihan, detak jantung meningkat, nadi lemah dan cepat. Kematian biasanya terjadi 2-3 hari setelah gejala klinis timbul. 4. Antraks Meningitis (Meningitis Anthrax) Terjadi karena komplikasi bentuk antraks yang lain, dimulai dengan adanya lesi primer yang berkembang menjadi meningitis hemoragik dan kematian dapat terjadi antara 1-6 hari. Gambaran klinisnya mirip dengan meningitis purulenta akut yaitu demam, nyeri kepala hebat, kejang-kejang, penurunan kesadaran dan kaku kuduk. (Kurniawati dkk, 2005) 2.4. Kasus Antraks Keberadaan penyakit antraks di Indonesia pertama dilaporkan pada tahun 1884 di Teluk Betung dan penyebarannya sejak tahun 1930 sampai saat ini. Secara geografis penyakit ini pernah terjadi pada 17 propinsi Indonesia, antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat (Adjid dan Sani, 2005). Pada tahun 2005 – 2006 kejadian antraks tetap terjadi di Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sumatera Barat, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat sampai saat ini menjadi daerah endemik antraks, sehingga masih sering timbul kasus-kasus penyakit antraks (Siregar, 2002). Wabah besar juga pernah terjadi di Jawa Tengah, kasus kematian sapi perah karena antraks pada tahun 1990 di Kabupaten Boyolali (PT. NAA) baik di breeding farm maupun plasma sejak Januari–Juli 1990 berjumlah 1.296 ekor, meliputi 856 ekor (18,38%) dari 4.667 ekor sapi yang ada di breeding farm, dan 440 ekor (12,25%) dari 3.591 ekor sapi di lokasi peternak plasma. Kemudian laporan kasus antraks pada ternak masih dijumpai sampai tahun 1993 tetapi jumlahnya relatif kecil. Data penyakit antraks pada manusia di Jawa Tengah saat ada wabah di Kabupaten Boyolali yaitu 49 kasus, 18 orang meninggal dan di Kabupaten Semarang 48 kasus. Pada tahun 1991 kasus di kedua kabupaten menurun, yaitu 19 orang dan 1 orang, tahun 1992 dan 1993 hanya 5 dan 3 kasus (Nurhadi dkk, 1996). Pada tahun 2000 di wilayah Purwakarta antraks menyerang 32 orang secara klinis, tahun 2001 kejadian muncul di Hambalang, Bogor, Jawa Barat menyebabkan 2 orang meninggal, dan 22 orang menunjukkan gejala klinis. Tahun 2002 terjadi antraks di wilayah Bogor yang mengakibatkan 6 orang meninggal dunia, tahun 2004 kembali terjadi antraks di wilayah Bogor yang mengakibatkan 6 orang meninggal dunia. Laporan kasus pada manusia ada di 4 propinsi, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat, dari tahun 1999 sampai tahun 2004 telah dilaporkan 599 kasus pada manusia dan 22 orang telah meninggal dunia (Wahyuni, 2005). Tahun 2001 sampai tahun 2002 terjadi peningkatan CFR yang cukup tinggi, yaitu dari 6,45% menjadi 27,6%. Pada umumnya ledakan anthrax di Indonesia terjadi pada peralihan musim, yaitu dari musim kemarau ke penghujan (laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, 2005), bahwa kejadian anthrax dari tahun 2001 – 2004 yang paling tinggi kasusnya terjadi pada bulan-bulan Oktober, awal bulan penghujan (Kurniawati dkk, 2005) 2.5. Investigasi Investigasi merupakan salah satu langkah dalam cara pengendalian antraks, khususnya di daerah endemik untuk menekan kejadian penyakit itu berulang kembali. Untuk memprediksi kejadian penyakit, harus diketahui sejarah dan daerah-daerah endemik antraks serta diketahui kapan saja kasus antraks pernah muncul. Tindakan yang perlu dilakukan dalam investigasi adalah melakukan monitoring Tingkat kekebalan ternak hasil vaksinasi, tingkat kejadian dan tingkat cemaran spora pada tanah dan pakan di daerah tersebut (OIE, 2000). Kejadian antraks seringkali dipengaruhi musim, iklim, suhu dan curah hujan yang tinggi (WHO, 1998). Kasus antraks seringkali muncul pada awal musim hujan di mana rumput sedang tumbuh, hal ini yang menyebabkan terjadinya kontak dengan spora yang ada di tanah. Belum pernah ada laporan bahwa antraks dapat menular dari hewan ke hewan atau dari manusia ke manusia (WHO, 1998).Spora akan terbentuk jika terekspos oksigen(02), spora ini relatif tahan terhadap panas, dingin, pH. 2.6. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan atau pengujian specimen di laboratorium adalah untuk meneguhkan diagnose yang dibuat berdasarkan gejala klinis. Pengujian yang dilakukan pada dasarnya merupakan deteksi agen penyakit dan deteksi antibodi. Pengiriman spesimen dari suatu tempat ke laboratorium pemeriksaan juga perlu diperhatikan karena dapat mempunyai resiko penyebaran agen penyakit. Untuk itu, WHO (1998) juga telah merekomendasikan tentang cara pengemasan, pelabelan dan dokumentasi sehubungan dengan pengiriman barang-barang infeksiusMetode isolasi dan identifikasi dilakukan untuk menentukan agen penyebab telah direkomendasikan WHO (1998) dan Central for Disease Control and Prevention(CDC,2002). Metode ini dilakukan dengan berbagai teknik tergantung jenis spesimen, yaitu: 1. spesimen yang masih bare dan hewan atau manusia tanpa pengawet, (2) spesimen yang masih bare dan hewan atau manusia dengan pengawet, dan (3) spesimen yang sudah lama, karkas yang sudah membusuk, material yang sudah diproses dan lingkungan (termasuk tanah) Untuk sampel yang masih bare, hal yang biasa dilakukan adalah dengan melihat adanya kapsul maupun bentuk kuman dengan pewamaan polychrome methylene blue (M fahdeyan 's reaction). Bakteri berbentuk batang berantai dengan ujung siku berwarnabiro dengan kapsul berwama merah muda. Untuk sampel yang sudah lama, sudah busuk, yang sudah diproses atau sampel tanah, sampel terlebih dahulu hams dipanaskan pads 65°C selama 15 menit untuk kemudian ditanam pads media agar darah atau agar yang mengandung polymyxin, lysoryme, EDTA, thallous acetat (PLET), dan diinkubasikan 37°C selama16-48 jam (0IE, 2000; WHO, 1998). Uji Ascoli digunakan untuk mendeteksi adanya antigen yang terdapat dalam sampel. Prinsip teknik ini reaksi antara antibody (serum Ascoli) dengan antigen, di mana hasil positif akan terbentuk cincin warna putih di antara serum dan ekstrak sampel. Uji ini hanya baik digunakan untuk sampel dari hewan yang tersangka antraks dan tidak baik digunakan untuk sampel lingkungan, dan teknik PCR mulai digunakan secara luas untuk mendeteksi adanya gen faktor virulensi (kapsul dan toksin PA). Jadi dalam hal ini dapat dipastikan suatu isolat adalah virulen atau tidak. Metode ini relatif cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (OlE, 2000; WHO, 1998) 2.7. Pencegahan Dan Pengobatan 1. Langkah Pencegahan Langkah pencegahan dimaksudkan agar ternak-ternak yang ada tidak tertular penyakit antraks selama jangka waktu tertentu. Dengan meningkatkan kekebalan ternak setelah dilakukan suntikan pencegahan menggunakan vaksin tertentu secara periodik.Untuk kawasan endemik antraks, vaksinasi seharusnya diulang setiap tahun secara kontinyu. Keberhasilan langkah ini sangat ditentukan oleh kemudahan dan ketersediaan vaksin.Untuk itu, Dinas Peternakan atau Pertanian harus bertanggung jawab dalam pengadaan vaksin. Pencegahan dan pengendalian antraks di daerah endemik dilakukan dengan cara vaksinasi. Vaksin antraks yang digunakan di Indonesia sampai saat ini adalah vaksin aktif. Daya proteksi vaksin antraks pada ternak ditentukan oleh respon imun terhadap protective antigen (PA), sedangkan 2 komponen toksin lainnya yaitu LF dan EF hanya berperan kecil dalam memberikan proteksi. Antigen lainnya (kapsul dan dinding sel) belum diidentifikasi berperan dalam proteksi (WHO,1998). Vaksinasi pada ternak di Indonesia pada umumnya masih menggunakan vaksin spora hidup atauLive spora vaccine, yang mengandung anthracis galur 34F2, bersifat toksigenik, dan tidak berkapsul.Vaksin ini mengandung kira-kira 10 juta spora per mili liter yang disuspensikan dalam larutan50% gliserin NaCI fisiologis mengandung 0,5% saponin. Vaksin ini dibuat sesuai dengan Requirements for anthrax spore vaccine (live for Veterinary use); requirements for biological substance no. 13(WHO, 1967) Efikasi vaksin hidup lebih baik dibandingkan dengan vaksin mati, tetapi ada juga hal yang kurang baik dari vaksin hidup karena Anthracis galur 34F2 masih dapat mempertahankan virulensinya dan dapat memberikan efek samping yang buruk pada hewan yang divaksin. Sehubungan rentang waktu tanggap kebal sangat terbatas, yaitu antara 6-12 bulan dan pada hewan di daerah endemik harus divaksinasi tiap tahun dengan aplikasi vaksin harus diberikan secara parenteral (disuntik). Jika terjadi kesalahan kecil saat memproduksinya, maka dapat terjadi efek samping yang merugikan (WHO, 1998). Di Indonesia vaksin yang digunakan adalah vaksin spora yang diberikan dengan suntikan/parenteral dan memberikan durasi kekebalan selama ± 6-12 bulan sehingga vaksinasi Ulang dilakukan dengan interval 6-12 bulan. Pembuatan vaksin dengan kandungan spora Yang terlalu tinggi ataupun penggunaan vaksin yang tidak benar dapat menyebabkan efek proteolitik dan toksin yang dihasilkan tidak dapat dinetralisasi oleh tubuh sehingga dapat menyebabkan reaksi anaphilaksis dan shock. Vaksin antraks yang direkomendasikan WHO (1998) untuk masa depan, antara lain adalah vaksin subunit, vaksin rekombinan. deleted mutants, dan vaksin DNA.Vaksin subunit merupakan vaksin inaktif yang hanya mengandung PA. subtilis perlu dikembangkan untuk meminimalisasi kontaminasi toksin lain yang dihasilkan oleh B. Anthracis dan menghindari bahaya yang disebabkan oleh bakteri tersebut. Aplikasi vaksin ini dapat secara aerosol atau parenteral dengan pemilihan adjuvant yang baik, seperti alumunium hidroksida0,3% (WHO, 1998). Vaksinasi secara aerosol dengan rekombinan antigen protektif (rPA) dapat menginduksi kekebalan mukosal, kekebalan ini tidak didapatkan jika diberikan secara parenteral.Kekebalan mukosal ini sangat efektif melindungi jika infeksi B. Anthracis melalui pernafasan (Boyaka dkk, 2003). Langkah pengobatan Bacillus anthracis kerentanannya terhadap hampir semua antibiotika sangatlah tinggi, yang paling disukai adalah dengan clindamycin yang mempunyai aktivitas terhadap Bacillus anthracis dan potensi anti-eksotoksin. Pengalaman beberapa pasien menunjukkan respon yang lebih bagus ketika clindamycin 600 mg (iv)/ 8 jam atau 300 mg (po)/8 jam plus rifampicin 300 mg (po)/12 jam plus golongan quinolone (levofloksasin). Peniciline masih merupakan antibiotika yang paling ampuh, dengan cara pemberian tergantung tipe dan gejala klinisnya, yaitu: a. Antraks Kulit 1) Procain Penicilline 2 x 1,2 juta IU, secara IM, selama 5-7 hari 2) Benzyl Penicilline 250.000 IU, secara IM, setiap 6 jam, sebelumnya harus dilakukan skin test terlebih dahulu. 3) Apabila hipersensitif terhadap penicilline dapat diganti dengan tetracycline, chloramphenicol atau erytromicine. b. Antraks Saluran Pencernaan & Paru 1) Penicilline G 18-24 juta IU perhari IVFD, ditambahkan dengan Streptomycine 1-2 g untuk tipe pulmonal dan tetracycline 1 g perhari untuk tipe gastrointestinal. 2) Terapi suportif dan simptomatis perlu diberikan, biasanya plasma expander dan regimen vasopresor. Antraks Intestinal menggunakan Chloramphenicol 6 gram perhari selama 5 hari, kemudian meneruskan 4 gram perhari selama 18 hari, diteruskan dengan eritromisin 4 gram perhariuntuk menghindari supresi pada sumsum tulang. Langkah Pengawasan Langkah ini untuk memantau kesehatan ternak secara umum di suatu wilayah (dusun, desa, kecamatan), khususnya terhadap penyakit antraks. Petugas Dinas Peternakan/Pertanian harus mampu merangkul seluruh anggota kelompok tani ternak di wilayahnya agar mau melaporkan kondisi kesehatan ternaknya dari waktu ke waktu. Peternak harus diyakinkan bahwa ternak yang keluar (dijual) atau yang masuk (dibeli) benar-benar dalam keadaan sehat. Pengawasan lalu lintas ternak antar provinsi hendaknya lebih diperketat, agar ternak-ternak yang sakit tidak berpindah wilayah sehingga penyebaran penyakit dapat dicegah. Pemerintah hendaknya menerapkan dengan ketat pengawasan kesehatan masyarakat veteriner, dengan penyembelihan ternak dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan melalui pemeriksaan kesehatan pra penyembelihan dan pasca penyembelihan. Hanya daging yang berasal dari ternak yang sehat yang boleh diperdagangkan dan dikonsumsi. Pelanggaran dari larangan ini dapat dikenakan pidana berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. (Nurhadi dkk, 1996) Pembinaan dan Bimbingan Hubungan baik antara petugas atau tim pembina dan pembimbing dengan masyarakat peternak harus tetap dipelihara dan dipupuk, melalui kegiatan pendidikan atau pelatihan, penyuluhan maupun sarasehan secara berkala, utamanya di kawasan endemik antraks. Langkah pembinaan dan pembimbingan tersebut antara lain dengan mengadakan kegiatan: a. Sosialisasi Undang-undang Republik Indonesia No 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. Sosialisasi hendaknya dilakukan secara menarik sehingga hak dan kewajiban peternak dapat dipahami dan disadari dengan baik. b. Penyuluhan tentang manajemen zooteknis ternak potong (sapi, kerbau, kambing, domba dan babi) dengan tekanan pada manajemen pencegahan dan penanganan penyakit. c. Pelatihan usaha ternak potong guna meningkatkan keterampilan peternak, meliputi: sistem perkandangan, pakan, pemeliharaan, penyakit dan penanggulangannya, pengaturan produksi/panen serta analisis ekonomi. Dengan kegiatan ini maka peternak akan merasa diperhatikan dan menjadi lebih tahu sehingga lebih mudah dilibatkan dalam upaya pengendalian penyakit antraks. Langkah Penanganan terhadap Kawasan Penyakit Antraks: 1. Penutupan wilayah terhadap lalu lintas (keluar-masuk) ternak maupun lalu lintas umum. 2. Mengisolasi ternak yang sakit pada suatu tempat yang terpindah dari lalu lintas ramai. 3. Penyucihamaan ternak yang sakit, dengan cara: lantai ditaburi kapur, membuka atap kandang hingga sinar matahari dapat menjangkau seluruh luasan kandang selama pengistirahatan kandang dan gunakan desinfektan yang sesuai untuk seluruh permukaan dan bagian kandang. 4. Segera lakukan vaksinasi terhadap seluruh ternak yang masih sehat di seluruh kawasan. 5. Jangan melakukan otopsi atau bedah bangkai karena berisiko tinggi terhadap penyebaran 6. Yakinkan tidak ada ternak sakit yang disembelih dan dagingnya dikonsumsi oleh masyarakat. Bila ada, segera bawa konsumen ke rumah sakit untuk mendapat penanganan atau perawatan selanjutnya. 7. Bakar bangkai ternak yang mati sampai habis atau kubur pada kedalaman 2,50 m di dalam tanah. Sebelum bangkai ditimbun dengan tanah, tutuplah dengan kapur atau disiram dengan larutan formalin. 8. Dieliminasi segera ternak yang dalam keadaan sakit parah. 9. Obati ternak yang terserang pada gejala awal dan isolasikan. 10. Tutup padang atau lapangan penggembalaan dari aktivitas merumput. KESIMPULAN Program pengendalian antraks pada hewan dan manusia harus diawali dengan penggunaan teknik diagnosis cepat dan akurat, vaksinasi dan investigasi dan surveilans. Pengembangan teknik diagnosis cepat dan lebih akurat ditnaksudkan untuk melengkapi metode diagnosis yang sekarang masih digunakan sehingga dapat lebih cepat dalam diagnosis, penanganan dan pengendalian antraks di Indonesia. Untuk lebih meningkatkan hasil vaksinasi antraks, dibutuhkan pengembangan vaksin antraks yang lebihaman, mudah diaplikasikan dan protektif DAFTAR PUSTAKA Adji, R.M.A. dan Y. Sani. 2006. Ketersediaan teknologi veteriner dalam pengendalian penyakit strategis ruminansia besar. Workshop pengendalian penyakit strategis pada ruminansia besar , Gadjah Mada university Press: Yogyakarta Gde Putra, A. A. 2006. Situasi penyakit hewan menular strategis pada ruminansia besar . Surveilans dan Monitoring. pengendalian penyakit strategis pada ruminansia besar dalam rangka mendukung program kecukupan dagin, Bogor. Kurniawati, Y., H. Kusnoputranto dan G.M. Simanjuntak. 2005. Dinamika Penularan dan Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Anthrax pada Manusia di Wilayah Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Tahun 2004. Pros. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis, Bogor. Puslitbang Peternakan. Muller,J.D.,C.R. Wilk, K.J. Coneron, R. BULL and A. Mateczun. 2004. Specificty of an immunochromatographic test for anthrax. Aust. Vet.J. 82(4): 220-222. Nurhadi, A., E. Martindah dan S. Wahyuwardani. 1996. Studi antraks pada manusia dan ternak di Jawa Tengah. Pros. Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, Bogor 12 – 13 Maret 1996. Balai Penelitian Veteriner. Office International des Epizooties (OIE). 2000. Anthrax. In: Manual of Standards Diagnostic and Vaccines, World Health Organization. pp. 235-239. WOrld Health Organization (WHO). 1998. Guidelines for the surveillance and control of anthrax in humans and animals, 3`d Ed. Departement of Communicable Disease Surveillance and Response. TURNBULL,P.C.B.,R. BOHM, O. CosIvi.M. DoGANAY, M.E.HUGH JONES, D.D. Josw, M.K. LALITHA and V. DE VOS.(Eds.).World Health Organization. World Health Organization (WHO). 1967. Requirements for Anthrax Spore Vaccine (Live-for Veterinary Use) (Requirements for Biological Substances no.13). World Health Organization Technical Report Series 1967 No. 361 Siregar, E.A. 2002. Antraks : Sejarah masa lalu, situasi pada saat ini, sejarah diagnosa dan kecenderungan perkembangan ilmu di masa depan. Simposium Sehari Penyakit Antraks : Antraks di Indonesia, masa lalu, masa kini dan masa depan. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Wahyuni, A.E.T.H. 2005. Tinjauan hasil vaksinasi anthrax pada sapi dan kambing – domba di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis, Bogor. Puslitbang Peternakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar