Minggu, 01 Januari 2017

aspergilus sp dan kontaminasi aflatoksin pada pertanian

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan makanan selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuham mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi. Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan pangan.(Misgiyarta dan Suarni, 2006). Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain yang dapat menyebabkan penyakit. Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, dan disentri mudah tersebar melalui bahan makanan. Dengan demikian, intoksikasi pangan adalah gangguan akibat mengkonsumsi toksin dari bakteri yang telah terbentuk dalam makanan, sedangkan infeksi pangan disebabkan masuknya bakteri ke dalam tubuh melalui makanan yang telah terkontaminasi dan sebagai akibat reaksi tubuh terhadap bakteri atau hasil-hasil metabolismenya. (Syerief dkk, 2003) Selain oleh bakteri, kapang juga dapat menimbulkan penyakit yang dibedakan atas dua golongan, yaitu (1) infeksi oleh fungi yang disebut mikosis dan (2) keracunan yang disebabkan oleh tertelannya metabolik beracun dari fungi atau mikotoksikosis. Mikotoksikosis biasanya tersebar melalui makanan, sedangkan mikosis tidak melalui makanan tetapi melalui kulit atau lapisan epidermis, rambut dan kuku akibat sentuhan, pakaian, atau terbawa angin. Serangan cendawan Aspergillus flavus pada berbagai jenis pangan (jagung, gandum dan beras) mengakibatkan berbagai kerusakan meliputi kerusakan fisik, kimia, bau, warna, tekstur, dan nilai nutrisi, serta berakibat pada kesehatan manusia dan hewan. (Muhilal dkk, 1985) Menurut Noor, (2005) melaporkan bahwa Infeksi cendawan A. flavus pada berbagai jenis serealia dapat menyebabkan berbagai pengaruh yaitu timbulnya penyakit seperti hepatocarcinoma (aflatoksin akut), kwashiorkor, reyes syndrome, dan kanker hati. Selanjutnya Pang dkk., (1974) melaporkan bahwa sebanyak 71 penderita kanker hati di Jakarta terungkap bahwa sekitar 94% ditemukan berasal dari bahan pangan yang dikomsumsi sehari-hari terkontaminasi aflatoksin. Berbagai hasil penelitian mengenai efek biologik aflatoksin menunjukkan bahwa aflatoksin mempunyai kemampuan untuk menginduksi kanker pada hati ikan, burung, dan mamalia dibandingkan dengan bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan kanker hati. Hal ini menunjukkan bahwa mengkomsumsi bahan pangan yang telah terkontaminasi aflatoksin sangat berbahaya. Muhilal dkk.(1985) melaporkan bahwa di Uganda menunjukkan adanya hubungan antara jumlah penderita kanker hati dengan kandungan aflatoksin kacang tanah, karena masyarakat terpaksa mengkomsumsi makanan yang terkontaminasi dengan aflatoksin. Selanjutnya Heathcole dan Hibber, (1978); Bata dan Lasztity (1999) membedakan karsioma hati yang disebabkan oleh aflatoksin tidak diikuti oleh Sirosis hati, tetapi dengan bahan kimia selalu berhubungan dengan sirosis hati. Berbagai negara telah menentukan standar batas minimum mikotoksin pada jagung seperti China, Malaysia, dan Singapura, masing-masing 20 ppb, 35 ppb, 5 ppb (Misgiyarta dan Suarni, 2006). 1.2. Tujuan Member informasi tentang dampak yang ditimbulkan oleh aspergillus sp dan bahayanya pangan yang tercemar oleh alfatoksin yang bisa mengganggu kesehatan manusia dan ternak TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspergillus sp Aspergilus sp adalah salah satu jenis mikroorganisme yang termasuk jamur, dan termasuk dalam mikroorganisme eukariotik. Aspergilus sp secara mikroskopis dicirikan sebagai hifa bersepta dan bercabang. Aspergilus sp secara makroskopis mempunyai hifa fertil yang muncul dipermukaan dan hifa vegetatif terdapat dibawah permukaan. Jamur tumbuh membentuk koloni mold berserabut, smoth, cembung serta koloni yang kompak berwarna hijau kelabu, hijau coklat, hitam, putih. warna koloni dipengaruhi oleh warna spora misalnya spora berwarna hijau, maka koloni hijau. Yang semula berwarna putih tidak tampak lagi (Misgiyarta dan suarni, 2006). Aspergilus sp tumbuh cepat pada media SGA+ Antibiotik yang diinkubasi pada suhu 37°C - 40°C , tumbuh sebagai koloni berwarna hijau kelabu dari konidiofor (Syarief dkk, 2003). 2.2. Gambaran Morfologi Aspergillus sp dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan untuk memudahkan dalam identifikasi. Beberapa golongan tersebut antara lain: a.Aspergillus flavus Jamur dalam grup ini sering menyebabkan kerusakan makanan. Konidia grup ini bewarna kuning sampai hijau. Konidiofora tidak berwarna, kasar bagian atas agak bulat sampai kolumner, vesikel agak bulat sampai berbentuk batang pada kepala yang kecil, sedangkan pada kepala yang besar bentuk globusa. Konidia kasar dengan bermacam – macam warna. b.Aspergillus fumigatus Konidia atas berbentuk kolumner ( memanjang ) berwarna hijau sampai hijau kotor. Vesikel berbentuk piala, konidiofora berdinding halus umumnya berwarna hijau, Konidia glubusa, ekinulat berwarna hijau. c. Aspergillus niger Konidia atas berwarna hitam, hitam kecoklatan, atau coklat violet. Bagian atas membesar dan membentuk globusa. Konidiofora halus, tidak berwarna atas tegak berwarna coklat kuning. Vesikel berbentuk globusa dengan bagian atas membesar, bagian ujung seperti batang kecil, Konidia kasar menunjukkan lembaran atau pitan bahkan berwarna hitam coklat. d. Aspergilus terreus Bagian atas kolumner, kelabu pucat atau berbayang – bayang agak terang. Konidiofora halus tidak berwarna, vesikel agak bulat dengan bagian atas tertutup sterigmata. Konidia kecil halus, berbentuk globusa sampai agak elips. (Misgiyarta dan suarni, 2006). Gambar 1. Jenis Aspergillus sp 2.3. Faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jamur Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan jamur antara lain: a. Kebutuhan air Kebanyakan jamur membutuhkan air minimal untuk pertumbuhannya dan perkembangan pada semua jenis jamur. b. Suhu pertumbuhan Kebanyakan jamur bersifat mesofilik, yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan jamur adalah sekitar 25 - 30°C, tetapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 35 - 37ºC atau lebih tinggi, misalnya Aspergillus. Beberapa jamur bersifat psikrotropik yaitu dapat tumbuh baik pada suhu almari es dan beberapa bahkan masih dapat tumbuh lambat pada suhu dibawah suhu pembekuan, misalkan pada suhu - 5ºC sampai - 10ºC, beberapa jamur juga bersifat termofilik yaitu dapat tumbuh pada suhu tinggi. c. Kebutuhan oksigen dan pH Semua jamur bersifat aerobik yaitu membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Kebanyakan jamur dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu pH 2 – 8,5 tetapi biasanya pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah. d. Subtrat / media Pada umumnya jamur dapat menggunakan berbagai komponen makanan dari yang sederhana sampai komplek. Kebanyakan jamur memproduksi enzim hidrolitik misalnya amylase, pektinase, proteinase, dan lipase. Oleh karena itu dapat tumbuh pada makanan yang mengandung pati, protein, pektin dan lipid. e. Komponen penghambat Beberapa jamur mengeluarkan komponen yang dapat menghambat organisme lainnya. Komponen ini disebut antibiotik. Beberapa komponen lain bersifat mikostatik yaitu penghambat pertumbuhan jamur atau fungisidal yaitu membunuh jamur. Pertumbuhan jamur biasanya berjalan lambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan bakteri dan khamir. Jika kondisi pertumbuhan memungkinkan semua mikroorganisme untuk tumbuh, jamur biasanya kalah dalam kompetisi dengan khamir dan bakteri. Tetapi sekali jamur dapat mulai tumbuh, pertumbuhan yang ditandai dengan pertumbuhan miselium dapat berlangsung dengan cepat. (Muhilal dkk, 1985). 2.4. Patogenitas Diantara spesies – spesies Aspergillus sp dapat menghasilkan mikotoksin, yang disebut aflatoksin. Dalam pembentukan mikotoksin dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan (substrat, kelembaban, suhu, pH) dan lamanya kontak antara jamur dengan substrat. (Misgiyarta dan suarni, 2006). Mikotoksin diidentifikasikan sebagai zat yang diproduksi oleh jamur dalam bahan makanan, dan bersifat tahan terhadap panas sehingga dengan pengolahan, pemasaran tidak menjamin berkurangnnya aktifitas toksin tersebut. (Williams dkk, 2004). Fungi diketahui lebih tahan dalam keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan dari pada mikroorganisme lain. Fungi umumnya menghendaki oksigen sehingga bersifat aerob sejati, tetapi khamir (yeast) bersifat fakultatif yang artinya dapat hidup dalam keadaan anaerob maupun aerob. Suhu optimum pertumbuhan fungi lebih tinggi yaitu 30 - 37°C dari pada jenis yang saprofit yang hidup pada suhu 22 - 30°C. (Noor, 2005). Beberapa fungi diketahui ada yang mampu tumbuh pada suhu mendekati 0°C. Pada dasarnya fungi bersifat heterotrof, namun beberapa jenis fungi mampu memanfaatkan berbagai macam bahan untuk kehidupannya. Fungi tidak mampu mensintesis CO2 sebagaimana bakteri, maka sumber karbon harus tersedia dari luar dirinya, misalnya sebagai bentuk glukosa atau lainnya. (Lewis dkk, 2005). Penyakit akut yang disebabkan oleh mikotoksin dapat menyerang sistem saraf pusat, mempengaruhi hati, dan ginjal. Beberapa diantaranya bersifat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker pada hati apabila dimakan dalam jumlah kecil untuk jangka panjang yang cukup lama. (Muhilal dkk, 2006). Aspergillosis yaitu penyakit yang disebabkan oleh jamur Aspergillus sp, terutama Aspergillus fumigatus dengan menyebabkan radang granulomatosis pada selaput lender, mata, bronchus, telinga, kulit dan paru – paru. (Williams dkk, 2004). 2.5. Aflatoksin Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan. Aflatoksin diisolasi pertama kali pada awal tahun 1960 di Inggris dari kelainan atau penyakit yang disebut turkey disease yang menyebabkan kematian mendadak lebih dari 100.000 kalkun dengan kelainan nekrosis hepatik fulminant tanpa sebab-sebab yang jelas. Baru kemudian diketahui bahwa kematian ini terjadi karena makanan unggas tersebut terkontaminasi oleh toksin dari jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus ini terdapat di mana-mana dan dapat mencemari bahan makanan pokok seperti beras, jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, kacang tanah, cabe dan rempah-rempah. Aflatoksin adalah salah satu dari substansi yang paling toksik yang dapat dijumpai secara alamiah. Keracunan oleh aflatoksin terjadi oleh karena konsumsi dari racun ini yang mencemari bahan makanan dan aflatoksikosis pada manusia dilaporkan dijumpai di banyak tempat di dunia. Badan Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization) memperkirakan bahwa kontaminasi mikotoksin meliputi sekitar 25% dari hasil pertanian di seluruh dunia. (Lewis dkk, 2005). 2.6. Pengaruh aflatoksin terhadap kesehatan Aflatoksin adalah kumpulan dari senyawa-senyawa yang mempunyai kemiripan satu sama lain dengan sedikit perbedaan pada komposisi kimiawinya dan diproduksi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus, dikenal ada empat jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1 dan G2. Struktur kimia dari aflatoksin dimana nama-nama ini diberikan berdasarkan atas warna fluoresensi yang ditimbulkan pada medium agar dilihat di bawah sinar ultraviolet, seperti biru (blue atau B), atau hijau ( green atau G). Aflatoksin B2 dan G2 merupakan analog dari derivat dihidro dari B1 dan G1. Di antara keempat isomer yang ditemukan aflatoksin B1 (AFB1) merupakan yang paling toksik dan paling karsinogenik. Aflatoksin B2 bersifat karsinogenik ringan. Manusia dapat terpapar oleh aflatoksin dengan mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan sulit dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam makanan sulit untuk dicegah. Walaupun kontaminasi bahan makanan oleh aflatoksin dalam jumlah besar tidak diizinkan di Negara berkembang, namun diperlukan perhatian terhadap kemungkinan timbulnya efek samping pada paparan aflatoksin kadar rendah dalam bahan makanan. Gejala awal aflatoksikosis yang dapat dikenali pada konsentrasi rendah antara lain berupa menurunnya efisiensi makanan, menurunnya kecepatan pertumbuhan, rambut kasar dan kusam. Bila aflatoksikosis ini berlanjut maka dapat muncul sindrom penyakit yang ditandai dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang, koma, dan kematian akibat edema otak dan perlemakan hati, ginjal dan jantung. Keadaan-keadaan yang meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia meliputi terbatasnya ketersediaan makanan, kondisi lingkungan yang menguntungkan untuk berkembangbiaknya jamur di dalam hasil pertanian dan bahan-bahan dagangan, dan masih kurangnya sistem yang mengatur monitoring dan kontrol aflatoksin. Gejala aflatoksikosis yang paling menonjol pada beberapa spesies seperti burung dan mamalia antara lain hipolipidemia, hypercholesterolemia dan hypocarotenaemia di mana hal ini dihubungkan dengan steatosis hepatik berat dan kehilangan berat badan. AFB1 merupakan karsinogen yang poten pada binatang, sehingga timbul perhatian terhadap paparan aflatoksin konsentrasi rendah dalam jangka panjang pada manusia. Tahun 1988, International Agency for Research on Cancer (IARC) memasukkan AFB1 dalam golongan karsinogen pada manusia. Hal ini didukung oleh sejumlah studi epidemiologi yang dilakukan di Asia dan Afrika yang menunjukkan hubungan positif antara konsumsi aflatoksin dan karsinoma sel hati. Sebagai tambahan, penyakit-penyakit pada manusia yang berkaitan dengan paparan aflatoksin juga dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain usia, jenis kelamin, status nutrisi, dan infeksi bersamaan dengan agent penyebab lain seperti virus hepatitis. (Williams dkk, 2004). 2.7. Pencegahan Terhadap Paparan Aflatoksin Kasus-kasus keracunan aflatoksin didalam suatu keluarga atau di suatu daerah biasanya terjadi secara reguler dan terabaikan begitu saja tanpa terdeteksi. Oleh karena itu, upaya pencegahan harus dilakukan dengan menitik-beratkan kepada implementasi secara ekstensif terhadap penggantian bahan pangan (food replacement), tanpa hal ini epidemik aflatoksikosis akan terus terjadi. Langkah jangka panjang yang perlu dilakukan adalah mengetatkan surveilans, meningkatkan inspeksi bahan pangan untuk memastikan keamanan bahan pangan tersebut, pendidikan dan bimbingan untuk melakukan panen secara benar, mengeringkan dan menyimpan hasil panen secara tepat dan memenuhi syarat. Pendekatan tradisional untuk mencegah paparan terhadap aflatoksin adalah dengan menjamin konsentrasi aflatoksin serendah mungkin pada makanan yang dikonsumsi. Dinegara maju hal ini dicapai dengan mengatur konsentrasi terendah yang diperkenankan dari aflatoksin pada makanan yang diperjual-belikan. (Syerief dkk, 2003). 2.8. Media pertumbuhan dan uji sensitifitas terhadap jamur Media yang paling umum digunakan untuk menumbuhkan jamur/kapang/fungi adalah media PDA (Potato Dextrose Agar). Bahan baku utama media ini adalah ekstrak kentang dengan penambahan sumber karbon berupa dextrose. PDA adalah suatu medium yang berfungsi dalam pertumbuhan jamur dan potato dextrose agar (PDA) merupakan sumber karbohidrat dextrose gugusan gula baik itu monosakarida atau polisakarida. Sebagai tambahan nutrisi sedangkan agar merupakan bahan media atau tempat tumbuh bagi biakan yang baik karena cukup air. Fungsi bahan yang digunakan pada PDA adalah sebagai berikut : Kentang : sebagai sumber karbon (karbohidrat), vitamin dan energi. Dextrose : sebagai sumber gula dan energi. Agar : untuk memadatkan medium PDA (Hastowo, 1992). A. Uji daya hambat terhadap pertumbuhan koloni jamur. Sebanyak 10 ml media PDA yang masih encer dituangkan ke dalam piring Petri dan diamkan beberapa detik, kemudian masing-masing konsentrasi bahan yang diuji dibagi (0%, 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8%, dan 1%) ditambahkan sebanyak 1 ml dengan menggunakan mikropipet. Selanjutnya piring petri digoyang simultan sampai merata dan dibiarkan memadat. Jamur yang telah dibiakkan dalam piring petri (berumur 2 hari) dipotong dengan cork borer yang berdiameter 5 mm, kemudian dengan menggunakan jarum ose diletakkan tepat dibagian tengah media. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mengukur diameter jamur pada setiap perlakuan. Daya hambat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Daya Hambat % = Diameter Koloni Kontrol−Diameter Koloni Perlakuan ________________________________________ Diameter Koloni Kontrol x 100% B. Uji MIC (Minimum Inhibitory Concentration) Pengujian untuk mengetahui Minimum Inhibitory Concentration (MIC) atau konsentrasi minimum bahan yang diuji yang mampu menghambat pertumbuhan jamur. dilakukan dengan menggunakan perlakuan konsentrasi, yaitu: 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4%, 0,5%, 0,6%, dan kontrol 0%. Daya hambat minimum yang mampu menghambat pertumbuhan jamur. dihitung dengan rumus sebagai berikut: Daya Hambat % = Diameter Koloni Kontrol−Diameter Koloni Perlakuan ________________________________________ Diameter Koloni Kontrol x 100% C. Pengujian penghambatan pembentukan spora Pengujian pembentukan spora dilakukan dengan memanen spora yang terdapat pada masing-masing piring Petri pada uji pokok. Spora yang tumbuh pada piring petri dipanen menggunakan kuas halus yang steril kemudian ditambahkan 10 ml aquades agar seluruh spora terangkat. Selanjutnya larutan tersebut dipindahkan ke dalam tabung reaksi steril dan dikocok hingga homogen. Penghitungan jumlah spora yang terbentuk pada masing-masing perlakuan dilakukan dengan haemocytometer. Daya hambat pembentukan spora dihitung dengan rumus : Daya Hambat % = Kerapatan Spora Kontrol−Kerapatan Spora Perlakuan ________________________________________ Kerapatan Spora Kontrol x 100% (Ella dkk, 2013) PENUTUP 3.1. Kesimpulan Aflatoksin sering menyebabkan kontaminasi dari hasil-hasil pertanian. Sekitar 25% hasil panen di seluruh dunia mengalami kontaminasi dengan aflatoksin dan merupakan sumber morbiditas dan mortalitas di negara-negara berkembang seperti Afrika dan Asia. Untuk mencegah terjadinya wabah aflatoksikosis perlu dilakukan intervensi kesehatan masyarakat dengan fokus kepada peningkatan cara-cara produksi yang efektif, penyimpanan hasil panen secara benar dan memenuhi syarat. Juga upaya surveilans dan pemantauan kadar aflatoksin di bahan pangan dan insidens terjadinya penyakit. DAFTAR PUSTAKA Bata, A., and R. Lasztity. 1999. Detoxification of Mycotoxin Contaminated Food and Feed by Microorganisms. Trend in Food Science and Technology. Ella, M. U., K. Sumiartha, N. Suniti, I. P. Sudiarta, dan N. S. Antara. 2013. Uji Efektivitas Konsentrasi Minyak Atsiri Sereh Dapur (Cymbopogon Citratus (DC.) terhadap Pertumbuhan Jamur Aspergillus Sp. secara In Vitro. Program Studi Agro ekoteknologi, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Hastowo. Susyo. 1992. Mikrobiologi. Rajawali, Jakarta Heatchote, J. G. dan J. R. Hibbert. 1978. Aflatoxin: Chemical and Biological Aspect. Elsevier Sci. Pub. Co. Amsterdam. Lewis L, Onsongo M, Njapau H, Rogers HS, Luber G, Kieszak S, et al. 2005. Aflatoxin contamination ofcommercial maize products during an outbreak of acute aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya: Environ Health Perspect. Misgiyarta dan Suarni. 2006. Kontaminasi Aflatoksin Dihasilkan oleh Aspergillus flavus pada Jagung dan Penanganannya. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Dep.Pertanian. Muhilal, Shinta, R. Syarief, S. Saidin. 1985. Cemaran Aflatoksin pada Bahan Makanan serta Bahayanya untuk Manusia dan Hewan.Lokakrya Nasional Pasca Panen, Bogor. Noor, I. M. 2005. Mycotoxin: Economic Risk and control. Paper Presented on Symposium of Mycotoxin and Mycotoxicoses.Jakarta Pang, R.T.L., Husaini dan Darwin Karyadi. 1974. Aflatoxin and Primary Cancer of the Liver in Indonesia. Presented at the V World Congress of Gastroenterology, Mexico. Syarief, R., La Ega, C.C.Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. IPB Press. Williams JH, Phillips TD, Jolly PE, Stilles JK, Jolly CM, Aggarwal D. 2004. Human aflatoxicosis in developing countries: a review of toxicology, exposure, potential health consequences, and intervention. Am J Clin Nutr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar