Minggu, 01 Januari 2017

EFEK INFUSA DAUN DAN AKAR KATUK (Sauropus androgynus) TERHADAP AKTIVITAS KERJA FISIK MENCIT JANTAN

PENDAHULUAN Latar Belakang Katuk (Sauropus androgynus) termasuk famili Euphorbiaceae, merupakan tanaman yang telah lama dimanfaatkan untuk sayur-sayuran. Tanaman ini telah dimanfaatkan untuk neningkatkan dan memperlancar sekresi air susu. Hal ini disebabkan salah satu zat aktif pada daun katuk yang dapat merangsang sel-sel penghasil laktoferin pada air susu (Suprayogi dkk., 2004). Peningkatan sekresi air susu juga disebabkan meningkatnya jumlah alveoli (Pidada, 1999). Selain untuk meningkatkan sekresi dan memperlancar air susu daun katuk juga diduga mempunyai kemampuan meningkatkan kapasitas kerja fisik dan vitalitas pada hewan jantan. Dalam tubuh hewan jantan, senyawa aktif daun katuk akan merangsang pembentukan hormon androgen. Daun katuk mengandung senyawa aktif yang dapat merangsang sintesis hormon-hormon steroid (progesteron, estradiol, testosteron dan glukokortikoid) dan senyawa eikosanoid diantaranya prostaglandin, prostasiklin, tromboksan, lipoksin dan leukotrien (Anonimus, 2005a). Istilah androgenik digunakan secara kolektif untuk senyawa yang kerja biologisnya sama dengan hormon testosteron. Fungsi utama kelompok hormon ini adalah merangsang perkembangan dan aktivitas organ reproduksi dan sifat seks sekunder (Anonimus, 2007a). Selain daunnya yang mengandung sterol, protein, lemak, besi dan beberapa vitamin, akar katuk juga mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Anonimus, 1991). Melihat kandungan tersebut, kemungkinan terdapat zat aktif yang berkhasiat sebagai stimulan (Widowati dan Nuraini, 1999). Oleh karena itu, tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai penguat (tonik) dan penambah seksual seperti halnya tanaman ginseng (Anonimus, 2003). Tanaman obat yang bersifat tonik berarti tanaman tersebut mampu mendorong proses metabolisme di dalam tubuh sehingga dihasilkan energi (Anonimus, 2005b). Berdasarkan asumsi di atas diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui efek tanaman katuk terhadap peningkatan stamina pada mencit. Rumusan Masalah Kandungan senyawa sterol dan lemak dalam tanaman katuk akan merangsang pembentukan hormon androgen dan meningkatkan kekuatan otot serta energi sehingga diduga akan meningkatkan kapasitas kerja fisik. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui efek pemberian daun dan akar katuk terhadap aktivitas kerja fisik pada mencit. Hipotesis Penelitian Penggunaan daun dan akar katuk dapat meningkatkan aktivitas kerja fisik. Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi khasiat tanaman katuk sebagai stimulan. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Menurut Hieronymus dan Santoso (2006) tanaman katuk dalam bahasa latin Sauropus androgynus mempunyai klasifikasi sebagai berikut: Kingdom Plantae – Plants Subkingdom Tracheobionta – Vascular Plant Superdivision Spermatophyta – Seed plant Division Magnoliophyta – Flowering plant SClass Magnoliopsida – Dicotyledon Subclass Rosidae – Order Euphorbiales – Family Euphorbiaceae – Spurge Family Genus Sauropus_androgynus (L.) Merr, - chekkurmanis. Tanaman katuk tumbuh di dataran dengan ketinggian 0-2100 m di atas permukaan laut. Katuk termasuk tanaman berumpun, berbentuk perdu dengan ketinggian sekitar 3-5 meter, cabang-cabang agak lunak dan daun tersusun selang-seling pada satu tangkai, berbentuk lonjong sampai bundar dengan panjang 2,5 cm dan lebar 1,25-3 cm. Bunga tunggal/berkelompok tiga berwarna merah sampai kekuning-kuningan dengan bintik merah, buah kecil-kecil berwarna putih dan tiap buah berisi tiga bijik, keras dan putih (Anonimus, 1991). Tanaman katuk sesungguhnya sudah dikenal nenek moyang kita sejak abad ke 16 dan sampai sekarang di kenal dua jenis tanaman katuk yakni katuk merah yang masih banyak di jumpai dihutan belantara dan jenis yang ke dua adalah katuk hijau (Anonimus, 1992). Tanaman katuk dapat diperbanyak dengan stek dari batang yang sudah berkayu, panjang sekitar 20 cm disemaikan terlebih dahulu, setelah berakar sekitar 2 minggu dapat dipindahkan ke kebun, jarak tanam panjang 30 cm dan lebar 30 cm, setelah tinggi mencapai 50–60 cm dilakukan pemangkasan agar selalu didapat daun muda dan segar (Heyne, 1987). Daun katuk mengandung klorofil yaitu 8 persen dari berat kering. Klorofil mempunyai manfaat yang sangat baik bagi tubuh manusia. Klorofil dapat membersihkan tempat pembuangan sisa limbah metabolisme, mengatasi parasit, bakteri dan virus yang ada dalam tubuh manusia. Turunan dari klorofil (klorofil yang tergradasi) ternyata masih memiliki manfaat dan tak beracun bagi tubuh. Turunan klorofil feoditin (klorofil yang lepas pusat magnesiumnya) dapat berfungsi sebagai antioksidan. Turunan lainnya adalah kloropilid (yakni klorofil yang ekornya terlepas) dapat masuk ke dalam sel atau jaringan dan mengangkat senyawa hidrokarbon seperti pestisida, risidu obat, parasit, bakteri, bahkan virus dari dinding sel serta mengeluarkannya dari dalam tubuh. Daun katuk merupakan sumber vitamin A, vitamin C dan kadar kalsium yang sangat baik (Charity, 2007). Kandungan Zat Bedasarkan hasil analisis GCMS (gas chromatography-mass spectrometry) pada ekstrak heksana menunjukkan adanya beberapa senyawa alifatik. Pada ekstrak eter terdapat komponen utama yang meliputi: turbutol, 2-propagiloksan, 4H-piran-4on, 2-metoksi-6-metil, 3-peten-3-0n, 3-(2-furanil), dan asam palmitat. Pada ekstrak etil asetat terdapat komponen utama yang meliputi: sis-2-metil-siklopentanol asetat. Kandungan daun katuk meliputi protein, sterol, lemak, kalsium, fospor, besi, vitamin A, vitamin B dan vitamin C, pirolidinon dan metal piroglutamat serta p-dodesilfenol sebagai komponen minor. Analisis dengan komatografi gas dan spectrometry massa, ekstrak daun katuk mengandung monometil suksinat, siklopentanol asetat, asam benzoat, asam fenil malonat, 2-pyrolidinon dan metyl pyroglutamate (Andria dkk., 1997). Selanjutnya menurut Oei (1987) tiap 100 g daun katuk mengandung energi 59 kalori, 70 g air, 4,8 g protein, 10 g lemak, hidrat arang 9,9 g, serat 1,5 g, karoten 10020 mcg, vitamin B1 0,1 mg, 11 g karbohidrat, 0,1 mg vitamin B 6 dan 164 mg vitamin C. Sedangkan pada akar katuk mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Anonimus, 1991). Efek Farmakologis Menurut Sarjono (1996) penelitian efek farmakologi ekstrak daun katuk dosis 631,6 mg/kg berat badan menunjukkan efek laktagogum pada tikus. Sa’roni dkk. (2004) menyatakan pemberian ekstrak daun katuk pada kelompok ibu melahirkan dan menyusui bayinya dengan dosis 3 x 300 mg/hari selama 15 hari terus-menerus mulai hari ke-2 atau hari ke-3 setelah melahirkan dapat meningkatkan produksi air susu ibu (ASI) serta tidak menurunkan kualitas ASI, karena pemberian ekstrak daun katuk tidak menurunkan kadar protein dan kadar lemak ASI. Konsumsi daun katuk oleh ibu menyusui dapat memperlama waktu menyusui bayi perempuan secara nyata dan untuk bayi laki-laki hanya meningkatkan frekuensi dan lama menyusui (Elmy, 1997). Tanaman katuk dapat meningkatkan produksi ASI diduga berdasarkan efek hormonal dari kandungan kimia sterol yang bersifat estrogenik (Anonimus, 1992). Menurut Heni (2005) menyatakan bahwa daun katuk dikenal sebagai sumber vitamin A dalam bentuk karoten, pemberian tepung daun katuk dalam ransum dapat meningkatkan kadar vitamin A dalam hati dan karkas dan juga terjadi pertambahan bobot badan ayam. Daun katuk tidak beracun dan tidak menimbulkan kecacatan pada janin (Anonimus, 2008). Uji toksisitas akut dan sub akut pada tikus tidak menunjukkan tanda-tanda intoksikasi dan tidak menimbulkan kelainan-kelainan pada hati, ginjal, jantung, paru, limpa, otak dan usus serta tidak menunjukkan perbedaan SGPT, SGOT, kadar Hb dan kreatinin dengan kelompok kontrol (Sardjono, 1996). Pemakaian jus daun katuk mentah dengan dosis 150 mg/hari sebagai obat obesitas setelah 2 minggu sampai 7 bulan menimbulkan gejala susah tidur, makan tidak enak, sesak nafas dan batuk. Penggunaan lebih lama akan menimbulkan bronkiolitis konstriksi dan setelah 22 bulan terjadi bronkiolitis obliterasi permanen dan dengan proses pemanasan daun katuk dapat mengurangi sampai meniadakan sifat racun daun katuk (Muktiningsih, 2006). Aktivitas kerja fisik Secara garis besar kegiatan-kegiatan kerja manusia dapat digolongkan menjadi kerja fisik (otot) dan kerja mental (otak). Pemisahan ini tidak dapat dipisahkan secara sempurna, karena terdapatnya hubungan yang erat antara satu dengan lainnya. Apabila dilihat dari energi yang dikeluarkan kerja mental, relatif lebih sedikit mengeluarkan energi dibandingkan kerja fisik. Kerja fisik akan mengakibatkan perubahan pada fungsi alat-alat tubuh yang dapat dideteksi melalui perubahan yaitu konsumsi oksigen, denyut jantung, peredaran udara dalam paru-paru, temperatur tubuh, konsentrasi asam laktat dalam darah, komposisi kimia dalam darah dan air seni dan tingkat penguapan (Moeloek, 2004). Kegiatan yang melakukan kerja fisik memerlukan jenis makanan yang bergizi dan non vegetarian serta mentega, mereka yang melakukan kerja mental dan tidak mengerjakan banyak kerja fisik membutuhkan sangat sedikit makanan non vegetarian, manis dan berlemak (Pribedi, 2006). Dalam ilmu fisika manusia mempunyai energi dasar yang dihasilkan oleh makanan dan minuman yang dikonsumsi, misalnya manusia dapat melakukan kegiatan antara lain : bekerja, belajar, olahraga dan sebagainya (Anonimus, 2006). Stamina bisa berarti kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan pekerjaan tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti masih mempunyai cadangan tenaga, penyebab kelelahan adalah tubuh mengalami kekurangan cairan sehingga darah mengental, akibatnya aliran darah jadi lambat dan butuh waktu lebih bagi sel tubuh untuk mendapatkan oksigen (Anonimus, 2005d). Ketahanan kerja dipengaruhi oleh faktor genetik, jenis kelamin, umur, faktor lingkungan dan faktor psikis antara lain latihan dan makanan, semua faktor tersebut akan mempengaruhi pembentukan energi (Ismail, 1998). Heptamil Heptamil merupakan almino-alkohol alifatik yang ditemukan, dibuat dan dikembangkan oleh Delalance. Penggunaan heptamil adalah untuk mengatasi kelelahan dan astenia. Heptamil memiliki efek tingkat keamanan yang tinggi dan hampir tidak mempunyai efek toksik. (Anonimus, 2005c). Menurut Hardjasa dkk. (2002) heptamil (heptaminol HCl) adalah memperkuat dan menormalkan sistem neuromuskuler yang mengalami kronaksi saraf dan kronaksi otot yang menurun. Daya anti kelelahan heptamil secara preventif menunda terjadinya tanda-tanda kelelahan kronaksi pada saraf dan otot. Heptamil menormalkan kronaksi saraf dan otot yang terganggu kerena kelelahan, menekan ketidak seimbangan pada pusat-pusat pengaturan saraf yang terdapat di hipotalamus ataupun melindungi mereka terhadap penyebab-penyebab ketidakseimbangan dan penggunaan heptamil adalah untuk astenia, kelelahan, hipotensi, defisiensi kardiosirkulasi, resusitasi pada hipotensi mendadak, syok dan kolap. MATERIAL DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh pada bulan Oktober 2007. Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: pisau, timbangan, panci infusa, gelas ukur, kompor listrik, kain flannel, ember, sonde lambung, spuit, stop watch, timah, gunting dan benang. Bahan yang digunakan adalah daun dan akar tanaman katuk (Sauropus androgynus) yang diperoleh dari tanaman milik penduduk di Desa Tungkop Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit dengan kriteria mencit sebagai berikut berjenis kelamin jantan dengan bobot badan berkisar antara 20 – 25 g, umur + 3 bulan dan jumlah mencit yang digunakan sebanyak 20 ekor. Preparasi Infusa Daun Katuk dan Akar Katuk Pembuatan infusa daun dan akar katuk dilakukan sesuai dengan yang tertera dalam Farmakope Indonesia III (Anonimus, 1995). Daun katuk atau akar segar ditimbang sebanyak 7 g, dirajang halus (0,25 cm), rajangan tersebut dimasukkan ke dalam panci infusa ditambah aquades 100 ml, dipanaskan di atas pemanas air selama 15 menit terhitung sejak suhu mencapai 90oC, setelah dingin disaring dengan kain flannel. Apabila volumenya kurang maka ditambah aguades panas dengan suhu 90oC yang dilewatkan melalui kain flannel sampai volume infusa 100 ml. Uji Ketahanan Fisik Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL). Mencit dibagi ke dalam 4 kelompok secara acak, masing-masing terdiri atas 5 ekor. Tiap kelompok diberi perlakuan sebagai berikut: K1 : Kontrol, aquades 1 ml/ekor K2 : Infusa daun katuk 70 mg/ekor K3 : Infusa akar katuk 70 mg/ekor K4 : Heptamil 39 mg/kg bb Pemberian infusa daun dan akar katuk, aquades dan heptamil kepada mencit dilakukan melalui oral dengan menggunakan sonde lambung. Setelah diberikan perlakuan, mencit-mencit dikandangkan kembali selama empat puluh lima (45) menit. Pada setiap mencit diberi beban timah yang beratnya 2,5 g dengan cara mengikat timah tersebut pada pinggangnya. Setelah 45 menit kemudian mencit di masukkan ke dalam bak air untuk dilakukan uji ketahanan berenang. Ketahanan berenang (waktu lelah) diukur dari mencit berenang sampai tenggelam. Tanda tenggelam adalah mencit berada di bawah permukaan air 4-5 detik tanpa bernafas. Waktu mencit tenggelam dicatat. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan Analisis Varian (ANAVA) dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). HASIL DAN PEMBAHASAN Waktu lelah mencit pada tiap–tiap perlakuan setelah pemberian infusa daun dan akar katuk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Waktu lelah (dalam detik) mencit dengan pemberian infusa daun dan akar katuk Kelompok (X+SD) K1 (aquades 1 ml/ekor) 80,4+8,26a K2 (infusa daun katuk 70 mg/ekor) 194,6+25,74b K3 (infusa akar katuk 70 mg/ ekor) 93,8+16,60a K4 (Heptamil 39 mg/kg bb) 271,4+55,05c a, b, c Superskrips yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01) Dari Tabel 1 terlihat waktu lelah paling lama terdapat pada kelompok K4 (271,4+55,05) sedangkan rata–rata waktu lelah terendah terdapat pada kelompok K1 (80,4+8,26). Hasil analisis statistik berdasarkan waktu lelah menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara kelompok K2 dan K4 dibandingkan dengan kelompok K1 atau K3. Perbedaan ini mungkin disebabkan infusa daun katuk sudah mulai berefek pada dosis 70 mg untuk merangsang aktivitas kerja fisik. Namun peningkatan aktivitas tersebut masih di bawah kemampuan heptamil. Pada kelompok perlakuaan K3 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan K1 (P>0,05), hal ini menunjukkan bahwa pemberian infusa akar katuk dosis 70 mg belum menimbulkan peningkatan aktivitas kerja fisik. Keadaan ini kemungkinan disebabkan karena pada akar katuk tidak mengandung zat yang berkhasiat sebagai stimulan atau mengandung zat stimulan tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada daun katuk. Khasiat infusa daun dan akar katuk dosis 70 mg masih di bawah kemampuan heptamil. Peningkatan aktivitas kerja fisik terhadap mencit pada pengujian infusa daun katuk menunjukkan bahwa infusa tersebut mengandung zat yang berkhasiat stimulan. Senyawa aktif yang terdapat pada daun katuk yang berhubungan dengan aktivitas kerja fisik berhubungan dengan kemampuannya merangsang sintesis hormon-hormon steroid seperti progesteron, estradiol, testosteron, glukokortikoid dan senyawa eikosanoid diantaranya, prostaglandin, prostasiklin, tromboksan, lipoksin, leukotrien (Andrian dkk., 1997). Hormon steroid seperti testosteron memiliki peran non seksual yang mempunyai fungsi penting dalam biosintesa protein untuk mempercepat pembentukan otot dan memicu seluruh aktivitas metabolisme khususnya pada jalur metabolisme dan pembakaran lemak (Anonimus, 2007b). Energi dari lemak dan protein semuanya digunakan untuk membentuk sejumlah besar Adenosine Triposphate (ATP) dan selanjutnya ATP digunakan sebagai sumber energi bagi banyak fungsi sel (Marsidi, 1999). Kinerja fisik tergantung dari kemampuan sel otot marubah energi kimia dari makanan menjadi energi mekanik (Astrand dan Rodahl, 1986). Selanjutnya Ganong (1979) mengatakan sel otot mengubah energi kimia dari makanan tergantung dari kapasitas fungsi persediaan yang mengangkut bahan baku dan oksigen ke serabut otot yang tergantung dari status gizi, kebiasaan kualitas makanan dan frekuensi makan. Tenaga otot untuk berkontraksi berasal dari ATP yang mampu menyediakan tenaga selama 10 detik, sumber tenaga berikut diperoleh dari pemecahan glikogen otot melalui sistem aerob (Sofro, 1999). KESIMPULAN Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat di simpulkan bahwa pemberian 70 mg infusa daun katuk dapat meningkatkan aktivitas kerja fisik mencit jantan meskipun peningkatan aktivitas tersebut masih lebih rendah dari yang ditimbulkan oleh heptamil, sedangkan pada pemberian infusa akar katuk 70 mg belum menunjukan peningkatan aktivitas kerja fisik. Saran Mengingat keterbatasan dalam penelitian disarankan melakukan penelitian lanjutan dengan memakai dosis yang ber variasi dan dengan menggunakan bahan ekstraksi dari tanaman katuk dengan berbagai pelarut yang lain. DAFTAR KEPUSTAKAAN Astrand, P. dan K. Rodahl (1986). Text Book of Work Physiology (Phisiological Bases of Exercise). Third Edition, Mc Graw-Hill Book Company, Singapure. Andria, A., Marapini dan Chairu (1997). Analisis kandungan kimia ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus) L. Merr. dengan GCMS. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. 3 : 31-33. Anonimus, (1992). Daun Katuk dari Menghaluskan Kulit Sampai Meningkatkan Vitalitas Seksual. www.tabolidnova.com/articles.asp?=567.&no.2. Anonimus, (1991). Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid I, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta. Anonimus, (1995). Farmakope Indonesia. Direktorat Departemen Kesehatan R.I, Jakarta. Anonimus, (2003). Ginseng. http://www.phytochemicals.info/plants/korean-ginseng. php. Anonimus, (2005a). Daun Katuk dan Vitalitas. www.Asiamaya.com/jamu/isi/ katuk sanopusandrogynus.htm. Anonimus, (2005b). Obat Herbal. http://tokobuku-madinah.web.id/obat-herbal- Mawaddah-plus-tazakka-p-253.html Anonimus, (2005c). Heptamil. http://www.kimiafarmaapotek.com/heptamil/htm. Anonimus, (2005d). Stamina. http://www.indocina.net/2005/06/viewtopic.php Anonimus, (2006). Energi Manusia. http://nursyifa.hipermart.net/hmbi.htm Anonimus, (2007a). Fungsi Testosteron. http://www.deherbal.com/2007/04/ tongkat-ali-testosteron.htm Anonimus, (2007b). Lemak dalam Tubuh. http://madja.wordpress.com /2007/12/20/ lemak-dalam-tubuh.html Anonimus, (2008). Daun Katuk. http://inikan.890m.com/2008/07/daun-katuk-aktioksidan-potensial/htm Charity, C. (2007). Daun Katuk Jaga Mutu Sperma. http://www.indoforum.org/ archive/index.php/y-28331.html Elmy (1997). Penelitian pengaruh daun katuk terhadap frekuensi dan lama menyusui bayi. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. 3(3) : 41-2. Ganong, W.F. (1979). Review of Medical Physiology. Longe Medical Pub. Maruzen Asia Ltd, California. Hardjasa, P., G. Budipranoto, Sembiring dan I. Kamil (2002). Data Obat di Indonesia. Grafidian Medipress, Jakarta. Hieronymus dan B. Santoso (2006). Tanaman Katuk: Gampang Ditanam, Banyak Gunanya. www.taoloidnova.com/articles.asp?=567. Heyne, K. (1987). Tumbuhan berguna indonesia. Balitbang Kehutanan, Jakarta. Ismail, E., Nusys, Suheryanto dan Kustomo (1998). Evektivitas extra joss dalam memperbaiki kinerja kesehatan kerja. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Marsidi. (1999). Pengkajian potensi pemanfaatan pelatihan tenaga dalam ditinjau dari sisi ergonomi. Tesis S2. Teknik Industri ITB, Bandung. Moeloek, D. (2004). Uji kerja fisik menggunakan tredmill untuk deteksi iskhemia miokardium. Badan Ilmu Fall, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Muktiningsih, S.R. (2006). Studi manfaat daun katuk. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Nuraeni, H. (2005). Kandungan vitamin A dalam hati dan karkas ayam pedaging yang diberi daun katuk (Sauropus Androgynus) dalam ransum. Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan. IPB, Bogor. Oei, K.N. (1987). Daftar analisis bahan makanan. Unit Gizi Diponegoro. Badan Litbangkes, Departemen Kesehatan, Jakarta. Pidada, I.B.R. (1999). Perbandingan pemberian infus daun katuk dan daun lampes terhadap peningkatan berat badan anak dan jumlah alveolus kelenjar ambing pada mencit. Adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-res-1999-pidada2c-325-alveolus&PHPSESSID=e99ecec43aeb91.a. Pribedi ( 2006). Pengaruh suhu lingkungan dan kerja fisik menengah terhadap beban fisik. Studi Teknik Fisika. Departemen Teknik Fisika, ITB, Bogor. Safro, Z.M. (1999). Aplikasi fisiologi latihan pada latihan fisik cabang olah raga IKIP negeri. Yogyakarta. Sardjono, O.S., Hasanah, M. Yuliani dan Setiawati (1996). Produksi sediaan dari daun katuk (Sauropus Androgyn Merr) sebagai obat untuk meningkatkan produksi dan kualitas ASI. RUT. Kantor Menteri Negara Riset & Teknologi, Jakarta. Sa’roni, T. Sadjimin, Sja’bani dan M. Zulaela (2004). Effectiveness of tke sauropus androgynus (l.) merr leaf extract in increasing mother’s breast milk production. Media Litbang Kesehatan XIV. (3) : 20-24. Suprayogi, A., T. Wresdiyati dan S.A. Priyatno (2004). Deteksi secara imunohistokimia protein antimikro dan perangsang kekebalan laktoferin pada sel-sel ambing domba yang diberi pakan ekstra daun katuk. Lembaga Penelitian IPB, Bogor. Widowati, B. dan Nuratmi (1999). Efek stimulan susunan syaraf pusat infus akar som jawa pada mecit putih. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. 5(4) : 20-22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar